Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Olimpiade dan Obsesi Amerika untuk Selalu Menjadi yang Pertama

R. A. Benjamin ;  Jurnalis TIRTO

TIRTO.ID, 13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Seluruh pejabat yang memberikan pidato mengenakan masker. Bendera Olimpiade dibawakan enam orang, tak hanya olympian tapi juga tenaga kesehatan. Itu dilakukan sebagai ucapan terima kasih kepada mereka yang berada di garis depan penanganan pandemi Covid-19--yang membuat kompetisi olahraga terbesar dunia ini molor satu tahun. Medali terakhir dibagikan. Emas untuk atlet maraton Peres Jepchirchir dan Eliud Kipchoge dari Kenya diserahkan di hadapan para atlet dari seluruh negara. Kontras dengan apa yang terjadi di lapangan, tribun penonton kosong.

 

Itulah beberapa pemandangan yang bisa dilihat pada upacara penutupan Olimpiade Tokyo 2020, Minggu (8/8/2021) lalu.

 

Banyak hal baru muncul di Olimpiade kali ini. Ada 93 negara yang membawa pulang medali, terbanyak sejak Olimpiade modern diselenggarakan pada 1896 di Athena, Yunani. Beberapa negara untuk kali pertama meraih medali, misalnya Turkmenistan, Burkina Faso, dan San Marino--yang luas wilayahnya kurang dari setengah Jakarta Selatan. Surfing dan skateboarding akhirnya mendapatkan panggung. Indonesia mencetak sejarah dengan membawa pulang emas dari cabang olahraga (cabor) ganda putri bulu tangkis berkat Greysia Polii dan Apriani Rahayu.

 

Di antara semua hal baru itu, ada satu yang tidak berubah, dan barangkali sudah diperkirakan sebelumnya: Amerika Serikat tetap menjadi juara umum.

 

Pencapaian ini sebenarnya tak begitu mengherankan karena AS-lah negara terbanyak yang mengirim atlet, 613 orang. Persentase kemenangan mereka jadi yang paling besar. Sebagai pembanding, tuan rumah Jepang hanya diperkuat 552 atlet, sementara rival utama, Cina, mengutus 406 atlet. Jumlah atlet yang dikirim tahun ini bahkan terbanyak kedua sepanjang sejarah. Posisi pertama juga ditempati AS pada Olimpiade Atlanta 1996, 648 atlet.

 

Mereka mengungguli perolehan emas Cina (38 medali) pada hari terakhir kompetisi usai Jennifer Valente meraih emas untuk nomor women's omnium di cabor balap sepeda, lalu dilanjutkan emas ke-39 dari tim voli putri yang mengalahkan Brasil dua set langsung. Meski jumlah emas berkurang dibandingkan Olimpiade Rio 2016 (46 medali), keunggulan satu emas atas Cina sudah cukup untuk memastikan kemenangan ketiga berturut-turut di Olimpiade.

 

Dalam tujuh Olimpiade terakhir, hanya Cina yang sanggup menggeser dominasi AS dalam urusan emas. Itu terjadi saat mereka menjadi tuan rumah pada 2008 silam. Meski demikian, ketika itu Cina tetap kalah dalam hal total medali. Karena itu AS mungkin tetap memandang diri sebagai juara umum tujuh Olimpiade terakhir.

 

Amerika Vs Dunia

 

We're all living in Amerika, Coca-Cola, sometimes war. We,re all living in Amerika. Amerika. Amerika.

 

Lirik lagu Rammstein berjudul "Amerika" tersebut langsung terlintas di kepala saya malam itu, dua hari menjelang penutupan Olimpiade, ketika Cina masih memimpin perolehan medali dengan 36 emas sementara AS 31. Video klip dari band industrial metal asal Jerman tersebut menampilkan satir yang menyinggung imperialisme budaya AS: Orang-orang Afrika dan berbagai sudut Asia bersenandung we're all living in Amerika sembari menikmati segala produk khas Paman Sam.

 

Ketika itu media-media AS memunculkan 'penghitungan alternatif' untuk menyusun klasemen. Bukan dengan mengurutkan berdasarkan perolehan emas melainkan dari total medali (emas, perak, dan perunggu). Hal ini misalnya dilakukan The New York Times. Mereka menempatkan AS di peringkat pertama dengan total 98 medali, mengungguli Cina yang mengumpulkan 79 medali. Unggahan di Twitter sontak menuai protes dan sindiran warganet. NBC, Washington Post, dan Yahoo Sports melakukan hal yang sama persis. (The New York Times baru kembali ke penghitungan konvensional saat AS berhasil menyusul Cina di hari terakhir Olimpiade).

 

Jejak digital bahkan menunjukkan NBC telah melakukan ini sejak Olimpiade Musim Dingin 2010 Vancouver, bahkan mungkin lebih lama sebelum ada media sosial. Warganet menuding media-media AS bakal menampilkan peringkat dengan metode penghitungan manasuka selama itu membuat AS tampak digdaya.

 

Sistem pengukuran AS memang kerap berbeda dengan mayoritas negara di dunia. Saat negara lain memakai "meter" untuk panjang dan "kilogram" untuk massa, panjang di AS diukur dengan "kaki" dan berat ditakar dengan "pound" yang merupakan sistem peninggalan Kerajaan Inggris. Belum lagi perbedaan dalam mengukur temperatur, Fahrenheit di AS versus Celsius di hampir seluruh negara lain.

 

Sekarang sistem pengukuran itu bertambah, total medali vs jumlah emas. Apa pun, yang penting Amerika pertama.

 

Medali yang Tak Pernah Setara

 

AS punya motif kuat untuk menyusun peringkat berdasarkan total medali. Mereka sejak lama telah menjadi kekuatan utama pada atletik dan renang, dua cabor Olimpiade yang memperebutkan masing-masing 48 dan 37 medali emas. Jika dikalikan tiga (bersama perak dan perunggu), maka medali yang tersedia dari dua cabor ini setara 2/3 dari total medali (339) yang tersedia di Tokyo.

 

Mereka memang masih merajai cabor renang dengan total 30 medali di Tokyo, tapi jumlahnya telah berkurang lima dibanding Rio 2016. Salah satu faktornya adalah perenang terhebat sepanjang masa Michael Phelps pensiun setelah menyumbang lima dari 16 emas di Rio 2016. Seorang diri, ia bisa mengumpulkan delapan emas dalam satu Olimpiade (rekor yang diraih pada Beijing 2008). Total emas yang dikumpulkan Phelps (23) melebihi pencapaian 161 negara selama berlaga di Olimpiade.

 

Format emas, perak, dan perunggu untuk tiga atlet teratas sudah ditetapkan sejak Olimpiade ketiga di St. Louis 1904. Medali-medali tersebut memang dibuat tidak setara. Penghitungan konvensional selalu menempatkan emas lebih berharga ketimbang yang lain. Lebih banyak emas berarti peringkat yang lebih tinggi.

 

Beberapa pihak menilai sudah sepantasnya penghitungan itu diubah. Yahoo Sports misalnya, melempar ide liar agar medali diberi poin. Emas dihitung tiga, perak dua, dan perunggu satu. Namun format itu rasanya akan tetap mengunggulkan negara dengan kekuatan atlet dan ekspektasi medali terbesar: AS.

 

Ada pula tawaran penghitungan lain yang lebih rumit. Formula Financial Times berangkat dari "ukuran populasi dan PDB per kapita" yang itu "dapat menjelaskan kira-kira 95 persen perbedaan antara penghitungan medali akhir negara, yang pada dasarnya menciptakan tolok ukur untuk menilai apakah suatu negara memenuhi, mengalahkan, atau gagal memenuhi ekspektasi." Dalam peringkat yang menyertakan aspek ekonomi, sosial, dan politik itu, ROC (Rusia) menempati peringkat teratas dengan poin +17, sementara AS berada di peringkat lima terbawah dengan poin -8.

 

Besar kemungkinan metode-metode ini tidak akan digunakan sebagai penghitungan resmi (bahkan mungkin dilirik oleh penyelenggara saja tidak). Untuk beberapa Olimpiade ke depan, sepertinya jumlah emas akan tetap menjadi tolok ukur, diikuti jumlah perak dan perunggu.

 

Siapa yang menjadi juara umum Olimpiade sama sekali tidak penting bagi saya yang hanya menonton beberapa cabor, plus satu laga bola tangan yang tidak ditonton sampai habis lantaran tidak tega melihat tugas berat sang kiper. Ia juga sama tidak pentingnya bagi para penggemar bulu tangkis Indonesia dan Malaysia, atau bagi orang-orang di negara yang atletnya bisa tampil di Olimpiade saja sudah bagus.

 

Kengototan beberapa negara mengerahkan sumber daya demi meraih medali sebanyak mungkin pun patut dipertanyakan. "Tanyakan kepada orang-orang Finlandia," ujar sejarawan Olimpiade David Goldblatt. Menurutnya, Finlandia telah lama meninggalkan obsesi mengejar medali dan memilih "membelanjakan uangnya untuk transportasi aktif dan fasilitas publik yang mudah diakses."

 

Di saat Britania Raya jorjoran mengalihkan sumber daya demi medali, Finlandia nyaris tak memenangkan apa pun lagi. Namun, negara Nordik ini memiliki para lansia yang paling aktif dan sehat di dunia. "Di Britania, kami memiliki sekarung emas dan krisis obesitas," keluh Goldblatt.

 

Ini memang soal pilihan. Bagi beberapa negara seperti Cina dan AS, menjuarai Olimpiade sangatlah penting. Ia bisa menumbuhkan nasionalisme rakyat sekaligus ajang unjuk kekuatan sebagai negara nomor satu dunia.

 

Namun, mengutip penggagas Olimpiade modern Pierre de Coubertin, "Hal terpenting dalam Olimpiade bukanlah menjadi pemenang, tetapi ambil bagian; hal penting dalam hidup bukanlah menaklukkan, tetapi berjuang dengan baik." Hal penting lain dan lebih terasa manfaatnya bagi rakyat mungkin kebijakan ala Finlandia, yang tak lagi mengejar medali demi transportasi dan fasilitas publik yang mudah diakses.

 

Sumber :  https://tirto.id/olimpiade-dan-obsesi-amerika-untuk-selalu-menjadi-yang-pertama-giy5

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar