Rabu, 18 Agustus 2021

 

Negeri di Awan

Alissa Wahid ;  Aktivis dalam Bidang Sosial dan Keagamaan

KOMPAS, 15 Agustus 2021

 

 

                                                           

Bulan Agustus biasanya menjadi bulan perayaan Indonesia, di mana rakyat berkumpul di sentra-sentra lingkungannya, merayakan keberagaman dan persatuan. Berbagai seseruan menjadi tradisi bersama, mulai dari parade, gotong royong kampung, acara tirakat kemerdekaan, lomba-lomba, hingga panggung gebyar kemerdekaan di seluruh penjuru Tanah Air.

 

Agustusan juga menjadi momen untuk menyelami kembali tentang sebuah gagasan bernama Indonesia, di mana negerinya gemah ripah loh jinawi, rakyatnya adil makmur sentosa dengan negara yang melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta berkonstribusi aktif di tingkat dunia.

 

Sukacita Agustusan ini tentu meredup bersama pandemi. Tahun 2021 menjadi tahun kedua kita memperingati kelahiran negara bangsa ini dalam aura penuh keprihatinan. Setahun ini, pandemi ini telah menjungkirbalikkan kehidupan bersama.

 

Per 13 Agustus 2021, sejumlah 3,8 juta orang terkonfirmasi positif di Indonesia. Resmi tercatat lebih dari 115.000 orang meninggal dunia. Yang cukup menyesakkan, laman Pusara Digital laporcovid19.org menyebutkan, 1.834 tenaga kesehatan di Indonesia ikut menjadi korban jiwa.

 

Data ini pun belum ditambah data anekdotal yang tidak tercatat resmi, entah karena data kasus tercatat Covid-19 yang tidak dikonsolidasikan dalam data resmi negara maupun data yang tidak dicatat sebagai kasus Covid-19. Jumlah warga yang menolak pandemi dengan sikap abai prokes maupun menghindar dari sistem layanan kesehatan sangat besar, berimbas data yang tidak ter-cover. Kata dr Pandu Riono, yang terjadi adalah herd stupidity, menunjukkan kegagalan kita mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal pemahaman pandemi.

 

Para epidemiolog memperkirakan, angka faktualnya berkisar 5 sampai 8 kali lebih besar. Kawasan-kawasan pemakaman baru yang dalam waktu cepat tertutup pusara menjadi saksi tak terbantahkan, betapa akbar jumlah kematian akibat pandemi ini.

 

Pandemi ini memberikan pukulan besar kepada keluarga-keluarga Indonesia. Kementerian Sosial mencatat lebih dari 11.000 anak kehilangan orangtua akibat Covid-19. Penduduk miskin meningkat, menjadi 27,4 juta jiwa pada Maret 2021. Kelompok pekerja informal menjadi lapisan pertama yang terpukul oleh hilangnya pendapatan harian, akibat ketiadaan mitigasi berupa perlindungan sosial yang malangnya justru sempat dikorupsi.

 

Sebagai dampak ikutannya, tantangan kehidupan berkeluarga pun meningkat. Angka perceraian meningkat. Kasus kekerasan terhadap anak meningkat, terutama terkait pembelajaran daring yang melibatkan orantua. Begitu juga kekerasan terhadap perempuan. Dalam jangka panjang, kecenderungan baru ini berpotensi menyulut kebiasaan kekerasan berulang. Cita-cita membangun kesejahteraan umum kembali mundur selangkah.

 

Sejatinya, kita sedang berada pada situasi perang, memperjuangkan keselamatan kita bersama sebagai bangsa. Apabila di tahun 1945 kita berperang melawan pasukan kolonial, di masa ini kita melawan pasukan virus yang jauh lebih kuat daripada manusia.

 

Di masa perjuangan kemerdekaan, kita mencatat para pahlawan dari berbagai lapisan bangsa kita yang rela memberikan jiwa raganya untuk mewujudkan kedaulatan bangsa. Setahun ini, kita mencatat para pahlawan dengan tujuan yang sama, dengan senjata yang berbeda.

 

Terdepan dalam barisan adalah para tenaga kesehatan yang berjibaku dalam keterbatasan sarana prasarana serta risiko pribadi yang sangat tinggi. Di baris setelahnya, para petugas pemakaman yang bekerja nonstop untuk menggali dan menguburkan jenazah para korban Covid-19.

 

Mereka diikuti para sukarelawan garis kritis yang mengantar para pasien mencari RS yang penuh atau mengurus jenazah, para sukarelawan gerakan kemanusiaan, seperti Sonjo Jogja, Gusdurian Peduli, Gerakan Islam Cinta, yang mengantar bantuan dari rakyat yang terus bergotong royong, sebagaimana perang kemerdekaan.

 

Sebagaimana masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita sedang menghadapi situasi genting. Republik Indonesia diproklamirkan dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dalam situasi penuh ketidakpastian, ketidaksiapan, ketidaknyamanan, dan di tengah perbedaan pandangan, para pemimpin kita ikhlas bersepakat untuk melahirkan Republik Indonesia, lalu bahu-membahu merawat bayi republik.

 

Bagaimana dengan para pemimpin saat ini? Sebagian besar elite bangsa setahun ini sepertinya memiliki prioritas yang berbeda dengan para pemimpin bangsa tahun 1945. Alih-alih memusatkan sumber dayanya untuk berkontribusi menghadapi pandemi, kita justru disuguhi berbagai aksi yang menuai komen julid dari publik.

 

Misalnya pernyataan pejabat yang meremehkan pandemi atau saling menegasikan, kebijakan pemerintah daerah yang tidak selaras dengan pemerintahan di atasnya, kehebohan parlemen menuntut perlakuan istimewa misalnya RS khusus bagi wakil rakyat dan fasilitas isolasi mandiri di hotel.

 

Yang  paling epik adalah munculnya baliho-baliho wajah-wajah tokoh nasional. Pragmatisme terhadap kepentingan politik membuat mereka takut rakyat lupa wajah mereka di tahun 2024 nanti. Sebagaimana disampaikan lugas oleh Buya Syafii Maarif, negeri ini surplus politisi, minus negarawan.

 

Situasi setahun ini menunjukkan mandat membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, masih belum terjangkau.

 

Tahun 2021 ini, kita tidak pantas merayakan kemerdekaan kita dengan pesta. Keprihatinan ini tidak hanya demi menghormati jutaan jiwa yang terdampak pandemi ini.  Lebih dari itu, pesta kemerdekaan tidak pantas kita lakukan karena tahun ini kita belajar lebih banyak tentang pekerjaan rumah kita yang masih jauh dari cita-cita membangun negeri yang adil makmur sentosa.

 

Agaknya, negeri yang kita cita-citakan masih berada di atas awan. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/15/negeri-di-awan

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar