Rabu, 18 Agustus 2021

 

Konfrontasi Hegemoni Majalah Horison

S Prasetyo Utomo ;  Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes Semarang

KOMPAS, 15 Agustus 2021

 

 

                                                           

Penampilan majalah sastra Horison edisi khusus 55 tahun (1966-2021) yang dicetak pada akhir bulan Juli 2021 menampilkan beberapa kejutan. Pertama, ternyata majalah sastra ini masih menemui pembacanya dalam edisi cetak dengan tulisan-tulisan yang berkualitas. Kedua, budaya literasi yang selama ini dikembangkan majalah sastra ini tetap dipenuhi dengan kehadiran Kakilangit. Ketiga, Taufiq Ismail menyentuh empati hegemoni kekuasaan kita ketika menulis esai pendek Awal Mula Lahirnya Horison dengan mengisahkan kiprah majalah ini sebagai media utama pengembangan sastra dan pemikiran sastra Indonesia.

 

Wajah majalah sastra Horison edisi khusus 55 tahun masih seperti edisi cetak sebelumnya. Redaksi masih mempertahankan rubrik catatan kebudayaan, puisi, cerpen, esai, kritik, obituari, dan Kakilangit. Sastrawan yang menyumbangkan tulisannya pun dari generasi yang sudah sangat kita kenal dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia seperti Eka Budianta, Nenden Lilis A, Putu Wijaya, Aslan Abidin, Ari Pahala Hutabarat, Wa Ode Wulan Ratna, Wayan Jengki Sunarta, dan Yusri Fajar. Bahkan dihadirkan pula teks sastra Han Yong Un, penyair Korea, dan Isaac Bashevis Singer, penulis kelahiran Polandia.

 

Dalam bahasa salah seorang redaksi, Joni Ariadinata, edisi cetak majalah sastra Horison tetap diupayakan terbit, menandai bahwa “ia masih ada”. Meskipun majalah sastra ini dicetak dalam jumlah yang terbatas, antusias masyarakat untuk membacanya masih cukup banyak. Masyarakat pembaca merindukan majalah sastra ini tetap terbit, dan memenuhi selera literasi mereka untuk menikmatinya.

 

Kualitas tulisan yang dipublikasikan majalah sastra Horison dalam edisi khusus 55 tahun ini menjadi bagian yang diutamakan redaksi. Puisi, cerpen, esai, kritik, obituari, dan Kakilangit yang dihadirkan merupakan tulisan terpilih. Dihadirkan beberapa puisi balada yang panjang, dengan bahasa jernih, menyingkap mitos dan menyusupkan spiritualitas yang kental, nikmat untuk dibaca.

 

Disajikan empat cerpen, dan satu di antaranya ditulis Isaac Bashevis Singer. Diturunkan tiga esai, yang salah satunya ditulis Taufiq Ismail berjudul Awal Mula Lahirnya Horison. Ada satu kritik yang memikat, Jejak Pandemi dalam Puisi: Meneroka Peradaban Baru Corona, ditulis Yusri Fajar. Dihadirkan obituari Arief Budiman (Jamal D Rahman), Bur Rasuanto (Putu Wijaya), Umbu Landu Parangi (Wayan Jengki Sunarta), Sapardi Djoko Damono (Sastri Sunarti Sweeney), Ajib Rosidi (Joni Ariadinata), Toeti Heraty (Eka Budianta), dan Sori Siregar (Mirza Ahmad). Rubrik Kakilangit hadir sebagaimana edisi majalah sastra ini sebelumnya, berisi karya siswa berupa puisi dan cerpen yang disertai ulasan redaksi.

 

Kualitas estetika berbagai ragam tulisan yang termuat dalam majalah sastra Horison edisi khusus 55 tahun menunjukkan bahwa redaksi cukup tangguh berhadapan dengan hegemoni kekuasaan yang menempatkan teks sastra sebagai karya pinggiran. Redaksi ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya terjadi hubungan timbal balik yang signifikan antara sastra dengan perkembangan kebudayaan. Teks sastra memainkan peranan penting dalam pembentukan kebudayaan melalui aspek etika dan estetika.

 

Esai Taufiq Ismail dalam Awal Mula Lahirnya Horison memberikan gambaran kegigihan beberapa tokoh sastra menghadapi hegemoni kekuasaan ketika majalah itu didirikan. Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan Ras Siregar memasuki rumah tahanan politik di Jalan Keagungan menemui Mochtar Lubis, sastrawan yang sudah mendekam dalam tahanan Orde Lama selama sembilan tahun tanpa proses pengadilan.

 

Mereka bertiga meminta Mochtar Lubis untuk mendirikan sebuah majalah sastra baru, memimpinnya, dan mencarikan biayanya pula. Mochtar Lubis bersedia, dan dibentuklah dewan redaksi: Mochtar Lubis, PK Oyong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail. Saya menandai pada mulanya majalah sastra Horison didirikan dengan keberanian melakukan konfrontasi hegemoni kekuasaan.

 

Sejak itu majalah sastra Horison menjadi media utama pengembangan sastra Indonesia. Hampir semua sastrawan Indonesia terkemuka lahir dari majalah ini, dan banyak karya sastra penting pertama-tama diumumkan di majalah bulanan ini. Eksperimentasi Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Danarto berkembang di majalah ini. Selain itu, pemikiran di bidang sastra dan kebudayaan pada umumnya banyak disiarkan melalui majalah ini. Dalam pandangan Taufiq Ismail, sejak kelahirannya Horison merupakan barometer perkembangan sastra Indonesia modern.

 

Dalam usia setengah abad majalah sastra Horison berhenti cetak, dan baru kali ini dalam ulang tahun ke-55, muncul kembali dalam penerbitan yang ingin mengembalikan pamornya sebagai media utama sastrawan Indonesia dan perkembangan sastra Indonesia modern. Meskipun sesungguhnya, sudah sejak lama koran-koran mengambil alih peran yang dilakukan majalah sastra Horison, yang menyebabkan sastrawan dengan ekspresi kebaruan muncul di koran-koran. Begitu juga dengan pemikiran-pemikiran sastra dan budaya mulai bermunculan dan bertebaran di koran-koran dengan gagasan yang cemerlang. Perdebatan sastra kontekstual dan revitalisasi sastra pedalaman, misalnya, berkembang di koran-koran dengan intensitas pemikiran dan ketajaman gagasan.

 

Ketika penerbitan online (daring) mulai menjamur dan menyediakan ruang publikasi karya sastra dan pemikiran-pemikiran berupa esai serta kritik sastra, para sastrawan mulai melupakan peran majalah sastra Horison. Produktivitas menjadi obsesi para sastrawan dan pengamat sastra untuk mengisi ruang sastra di media online, bahkan kemudian mereka menerbitkan tulisan-tulisan terbaik dalam bentuk buku.

 

Kini para sastrawan menerbitkan buku mereka secara indie, memasarkannya sendiri, dan dalam jalan kreativitas yang lebih sederhana mereka turut serta dalam persaingan perkembangan sejarah sastra Indonesia. Ketika sebuah lembaga membuka kesempatan untuk memberi penghargaan karya terbaik, tidak sedikit teks sastra indie muncul sebagai pemenang.

 

Kini telah runtuh pusat-pusat hegemoni estetika karya sastra, dan bertebaran ruang kreativitas di seluruh pelosok wilayah Tanah Air, yang merebak dalam konfrontasi yang saling menandingi. Tak ada lagi oposisi biner: “pusat” estetika teks sastra dan “pinggiran” estetika teks sastra.

 

Kemunculan kembali majalah sastra Horison edisi khusus 55, menandakan konfrontasi hegemoni estetika yang ingin dibangkitkan kembali para awak redaksi. Setidaknya, mereka telah menghadapi krisis karena pemerintah menghindar untuk ikut terlibat menghidupi majalah sastra ini. Dua hal yang ingin dicapai para awak redaksi bahwa Horison menjadi media utama pengembangan sastra Indonesia dan perkembangan pemikiran mengenai sastra Indonesia memang sudah banyak direnggut koran-koran dan media online.

 

Peran majalah sastra Horison yang tak bisa diikuti koran-koran dan media online yang bertebaran di Tanah Air, terutama keberadaan Kakilangit, ruang tempat lahir dan berkembangnya para sastrawan muda. Mereka yang pernah mengisi ruang Kakilangit dan kemudian tumbuh berkembang sebagai sastrawan atau pemerhati sastra, berhutang budi pada majalah sastra Horison.

 

Pada sisi inilah kita layak berharap, majalah sastra Horison akan terus terbit secara online maupun dalam bentuk cetak, sebagai sebuah upaya melahirkan generasi baru sastrawan Indonesia di masa depan. Inilah peran konfrontasi hegemoni terhadap ruang sastra koran dan media online, yang bersikukuh dengan kriteria estetika yang telah mereka pancangkan.

 

Mereka tak memberi ruang bagi para calon sastrawan yang membutuhkan ruang publikasi teks sastra. Untuk hal inilah Taufiq Ismail dan redaksi majalah sastra Horison melakukan konfrontasi hegemoni terhadap kekuasaan yang mengabaikan generasi muda memacu kreativitas dengan estetika. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/15/konfrontasi-hegemoni-majalah-horison

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar