Rabu, 18 Agustus 2021

 

Mengenang Bung Karno, Mengenang Bung Hatta

Ahmad Syafii Maarif ;  Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005

KOMPAS, 16 Agustus 2021

 

 

                                                           

Dalam rangka merayakan hari ulang tahun kemerdekaan kita yang ke-76  pada 17 Agustus 2021 ini,  izinkan saya sebagai warga sepuh menulis kenangan akan dua tokoh  besar Bung Karno (1900-1970) dan Bung Hatta (1902-1981).

 

Bung Karno  dan Bung Hatta punya posisi yang sangat penting dan krusial dalam membingkai  sejarah modern Indonesia.

 

Bung Karno yang berapi-api adalah salah satu orator  terbesar abad ke-20 di muka bumi dan Bung Hatta tipe manusia  tenang,  tetapi menghanyutkan. Keduanya hasil tempaan kekejaman  kolonialisme di negeri ini dengan kepribadian khas masing-masing.

 

Coba buka kembali IM (Indonesia Menggugat, 1930) Bung Karno dan  IM (Indonesia Merdeka, 1928) Bung Hatta, dua bentuk pembelaan sebagai protes  keras dan berani terhadap sistem penjajahan yang mengisap bangsa ini. Satu  disampaikan di Bandung, satu lagi di Den Haag, Belanda.

 

Dengan  membaca ulang dua warisan sejarah ini, semakin sadarlah kita betapa  dahsyatnya ruh kedua tokoh bangsa di saat kritikal itu.

 

Simaklah kutipan di bawah  ini bagaimana Bung Karno mengentak untuk menjelaskan tujuan pembelaannya.

 

"Dan jikalau nanti kami uraikan segala kami punya keyakinan politik, jikalau  nanti kami beberkan segala sifat-sifat PNI dan segala penglihatan atau  ideologi kami, jikalau nanti kami masukkan ‘politik’ di dalam gedung  mahkamah ini, maka itu bukan untuk mempropagandakan kebenaran kami  punya keyakinan itu, melainkan hanya supaya Tuan-tuan bisa mengetahui  asas, sifat, dan aksinya PNI, dan bisa menakar, bisa mengerti, bisa begrijpen  [memahami] kami punya penglihatan politik dan karena itu, mengerti isi  dan maksud segala perkataan dan tindakan kami yang Tuan-tuan periksa  dalam proses ini". (Ir Soekarno, Indonesia Menggugat. Yogyakarta: Aditya Media, 2004, hlm 11).

 

Lagi: “Siapa yang masih mengharapkan pertolongan dari sistem imperialisme,  siapa yang masih percaya akan ‘anugerah’ yang akan dianugerahkan olehnya, siapa  yang masih menurut akan omongan ‘mission sacree’, siapa yang masih  mengarahkan mukanya ke Barat. Ini adalah sama sekali buta akan kenyataan yang  sebenarnya, buta akan realiteit.”

 

Seru, kan? Itu baru dua kutipan.  Seluruh isi pidato pembelaan sekitar 200 halaman itu bagi saya sungguh dahsyat  menggelegar, menciutkan nyali hakim kolonial. Sekarang, simak pulalah cara Bung Hatta dalam pembelaannya di Den Haag  yang membuat hati ini terenyuh.

 

"Kalau mahasiswa Belanda, Perancis dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda mereka yang serba menggembirakan, maka pemuda Indonesia  harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat  lain. Tidak ada jalan yang siap dirintis baginya; tidak ada lowongan  pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya, dia harus membangun  mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan  kemerdekaan yang berat membayang di depannya, dan membuat dia  menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya". (Mohammad  Hatta, Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 13). Aslinya  dalam Bahasa Belanda, diterjemahkan oleh Drs Hazil).

 

Betul, kan, Bung Hatta tenang menghanyutkan? Dalam usia begitu belia  saat menyampaikan pembelaannya.  Bagian akhir pidatonya, Bung Hatta mengingatkan penjajah akan  hukum besi sejarah.

 

"Nederland let op uw saeck" (Nederland, jaga baik-baik kepentinganmu)  sering diucapkan oleh mereka yang mendorong pemerintah kolonial untuk  melanjutkan terus politik tangan besinya. Dari tempat ini saya mau melontarkan kembali kata-kata yang sama kepada mereka itu, sambil  memperingatkan bahwa kepentingan Nederland tidaklah tertolong oleh  kesewenang-wenangan dan pameran kekuatan dalam menghadapi arus  pasang nasionalisme Indonesia, bahkan sebaliknya! Bahkan penjajahan  Belanda di Indonesia akan berakhir, buat saya telah merupakan suatu  kepastian. Tinggal persoalan waktu saja lagi, cepat atau lambat, bukan ya  atau tidak. Bangsa Belanda harus menerima hukum besi sejarah ini, terlepas dari apakah dia mau menerimanya atau tidak. Dan janganlah Nederland  memukau diri, bahwa kekuasaan kolonialnya akan kokoh tegak sampai  akhir jaman". (Ibid, hlm 147).

 

Itulah empat kutipan heroik dari kedua tokoh bangsa yang berasal dari dua sumber  pidato pembelaan mereka dalam menghadapi sistem kolonial yang amat menghina  dan menyakitkan itu.

 

Kegamangan ke depan

 

Selanjutnya, mari kita tengok gerak sejarah berikutnya dalam kaitannya  dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Sebuah drama hubungan dua manusia hebat  yang pernah mengguncangkan Indonesia. Dua manusia pejuang yang cintanya terhadap negeri ini sampai ke tulang sumsum. Tetapi mengapa kita masih juga  gamang mengarahkan gerak sejarah bangsa ini ke depan?

 

Kalau ada bangsa yang masih sulit memetakan masa depannya dengan pasti,  Indonesia mungkin salah satunya. Padahal, bagi Bung Karno dan Bung Hatta,  corak masa depan itu cukup jelas. Modal kita secara kultural adalah bahwa  pembentukan bangsa mendahului pembentukan negara di Indonesia, yaitu sudah  dimulai sejak dasawarsa pertama abad ke-20 dan puncaknya pada dasawarsa ketiga  abad itu.

 

Sementara negara Indonesia sebagai konsep politik baru muncul melalui  proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Secara teori, fondasi bangunan  bangsa kita seharusnya sudah cukup kokoh, sekiranya kesalahan-kesalahan fatal  tak terjadi pada periode pasca-proklamasi.

 

Di antara kesalahan itu, tak dilaksanakannya Pancasila dalam  praktik kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata. Komitmen yang serba  verbalistik kepada kelima sila itu adalah dosa politik yang terbesar yang pernah  dilakukan bangsa ini, khususnya oleh beberapa pemimpin puncaknya, terutama  sejak 1950-an. Atau apakah karena dasar Pancasila itu terlalu mendahului zaman, para elite belum siap melaksanakannya?

 

Sekiranya Soekarno-Hatta tetap bergandengan tangan untuk waktu yang  agak lama, dapat diperkirakan Indonesia akan mengalami  perkembangan lain yang jauh lebih baik dan lebih bermartabat dibandingkan   yang kita saksikan kemudian.

 

Sebenarnya Soekarno secara  formal tak menginginkan Hatta melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden  pada Desember 1956, tetapi itu sudah tak mungkin. Dasar watak Hatta yang  kukuh, jika keputusan telah diambil, hampir tak mungkin ia akan surut,  sekalipun berbagai pihak membujuknya, termasuk sahabat  terdekatnya.

 

Ibarat sebuah mobil, Soekarno gasnya, sementara Hatta  remnya. Soekarno pasca-Hatta ibarat mobil tanpa rem. Mobil tanpa rem itu  akhirnya tabrak sini dan tabrak sana, kadang-kadang laju dengan persneling lima.  Yang kurang diperhitungkan oleh kedua tokoh itu waktu itu adalah bahwa  penumpang mobil itu sebuah bangsa besar yang baru merdeka, mendiami  sebuah rantai kepulauan yang ribuan banyaknya.

 

Perbedaan subkultur yang  melatarbelakangi Soekarno dan Hatta telah menyebabkan keduanya berpisah dalam  politik, sekalipun hubungan pribadi antara mereka tetap terjalin sampai akhir  hayatnya. Perpisahan Soekarno-Hatta ternyata punya dampak beruntun bagi  perjalanan sejarah modern Indonesia seperti tergambar di bawah ini.

 

Pertama, meledaknya pergolakan daerah yang langsung atau tak langsung  adalah karena Hatta meninggalkan posisi sebagai wapres. Hatta adalah  simbol orang sabrang (luar Jawa). Tetapi kita yang masih hidup ini tentu tak bisa  memutar jarum ke belakang. Semua sudah berlalu. Tak perlu  diratapi.

 

Bung Karno dan Bung Hatta sudah lama bersemayam di alam sana dalam  perjalanan masing-masing di alam barzah, menanti kiamat. Kenanglah segala  yang baik, lupakan dan maafkan kekurangan mereka. Perbedaan watak keduanya memang tajam, tetapi sekiranya dapat dikelola dengan bijak tentu   saling melengkapi.

 

Kedua, berkat kerja sama Presiden Soekarno dengan TNI, pembangkangan  daerah yang dipelopori perwira Angkatan Darat yang sakit hati ini berhasil  dipadamkan dengan meninggalkan luka berat bagi pihak yang dikalahkan. Bung  Hatta dalam kapasitasnya sebagai warga negara telah berusaha keras agar dicari  solusi damai antara Jakarta dan daerah bergolak. Tetapi sayang, semua upaya itu  berujung dengan jalan buntu.

 

Daerah bergolak terparah Sumatera  Barat, tempat asal Bung Hatta, karena proklamasi pemerintah tandingan dalam  bentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada 15 Februari 1958  dipusatkan di sana. Hanya dalam tempo tiga tahun PRRI sudah lumpuh.

 

Ketiga, dengan mundurnya Bung Hatta sebagai wapres, kian terbukalah peluang besar bagi PKI untuk memainkan kartu politik  kekuasaannya dengan berlindung di bawah payung Soekarno. Bung Hatta  dikenal sebagai tokoh yang tak percaya pada PKI. Partai Masyumi, lawan  tangguh PKI, dibubarkan Desember 1960 dengan alasan beberapa  tokohnya terlibat PRRI. Pembubaran ini tak bisa dipisahkan dari peran  PKI yang memang sudah lama ingin Masyumi menghilang dari  panggung politik nasional.

 

Keempat, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit dengan  membubarkan Majelis Konstituante dan menyatakan UUD 1945 berlaku  kembali. Maret 1960 parlemen dibubarkan. Situasi politik sangat  memanas. Bung Hatta menentang semua kejadian ini, tetapi dia tak berdaya.  Dengan payung UUD 1945 ini Soekarno kemudian menciptakan sistem politik baru dalam bentuk Demokrasi Terpimpin (1959-1966).

 

Sistem baru ini ternyata hanya berumur pendek, sesuatu yang sudah  diperkirakan Bung Hatta dalam artikelnya “Demokrasi Kita”, yang  muncul pertama kali Mei 1960. Dengan terjadinya prahara politik   G30S/PKI 1965, sistem Demokrasi Terpimpin runtuh dengan sendirinya. PKI pada 12 Maret 1966 dibubarkan oleh penguasa baru Jenderal Soeharto, sekalipun  Soekarno secara resmi baru diganti 1968 lewat sidang MPRS,  pimpinan Jenderal AH Nasution.

 

Kelima, setelah Presiden Soekarno diberhentikan, sebenarnya Bung Hatta  punya peluang menggantikannya sebagai presiden kedua RI. Tetapi pintu  untuk itu ditutup rapat oleh penguasa baru yang memang tak nyaman dengan  sistem demokrasi. Dan Hatta adalah demokrat sejati, dalam teori dan praktik.

 

Bangkitlah Indonesia

 

Demikianlah sketsa ringkas tentang hubungan Bung Karno dan Bung Hatta,  terutama di era pasca-proklamasi. Keduanya telah menempuh jalan hidup dan  kariernya masing-masing. Bung Karno lebih dulu wafat dalam keadaan yang  kurang elok diperlakukan oleh penguasa baru. Sebelas tahun kemudian Bung Hatta   menyusul sahabatnya itu menghadap penciptanya. Semoga Allah  memaafkan segala kesalahan dan kekurangan kedua tokoh yang fenomenal ini.  Amin!

 

Di saat Bung Karno sedang bergumul di atas pembaringan kematiannya,  Bung Hatta mengunjungi sahabatnya ini. Keduanya diam terpaku, air mata Bung  Hatta meleleh. Jam perpisahan itu sudah amat dekat.

 

Akhirnya, sambil tetap mengenang keduanya, dengan dasar Pancasila,  marilah kita bersepakat untuk terus mengucapkan: “Bangkitlah Indonesiaku!” Arwah Bung Karno dan Bung Hatta akan menangis di alam sana, jika  generasi yang datang kemudian melupakan cita- cita besar yang telah digagas  kedua pemimpin puncak ini, yaitu kemerdekaan bangsa yang berdaulat penuh!. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/mengenang-bung-karno-mengenang-bung-hatta

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar