Rabu, 18 Agustus 2021

 

Kepingan Keindonesiaan

Max Regus ;  Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Flores, NTT

KOMPAS, 16 Agustus 2021

 

 

                                                           

Indonesia memasuki usia 76 tahun. Dia lahir dari kerelaan sosial dan pengorbanan politik tak ternilai. Dia tumbuh dengan cara mengumpulkan, bukan menceraikan. Dia hadir dengan mengajak, bukan mengecualikan. Setiap komunitas, baik suku, agama, bahasa, bahkan setiap warga adalah kepingan sahih dari kisah keutuhan keindonesiaan kita. Para bapak pendiri bangsa (founding fathers) sudah menegaskan kenyataan sejarah ini.

 

Sejak awal, Indonesia muncul sebagai sulaman atas kepingan-kepingan kepelbagaian sosial-politik. Dengan itu, kesatuan kita tak pernah monolitik. Dia memancarkan keindahan keragaman. Ini mesti jadi ingatan sejarah terpenting kita. Dan, keterarahan pada ingatan ini niscaya mengalirkan tanggung jawab sosial-politik bersama.

 

Paradoks sosial-politik

 

Kita memang tahu satu hal bahwa keindonesiaan kita adalah sebuah negosiasi kepentingan sekaligus perjuangan yang melampaui kepentingan partikularistik. Berangkat dari sudut pandang kekinian, kita masih berada dalam kerasnya proses pembangunan negara-bangsa.

 

Pembangunan dan penciptaan kembali identitas nasional tetap jadi isu hangat bahkan pertarungan yang hidup di Indonesia. Geliat proses ini sesungguhnya terikat erat pada segenap usaha membangun Indonesia yang kian adil, demokratis, dan manusiawi.

 

Pemikir Juan J Linz (1993), mengingatkan kita dilema dan jebakan pembangunan negara-bangsa modern. Singkatnya, kita sedang menemukan kesulitan bagaimana nilai-nilai agung kebangsaan nampak dalam tindakan politik negara.

 

Sebaliknya, ikhtiar kebangsaan belum cukup solid jadi wadah negara dalam pelembagaan nilai-nilai keindonesiaan. Kita mendapati kenyataan orang-orang semakin sulit hidup berbaur. Peminggiran sosial-politik terhadap kelompok-kelompok lemah menjadi kisah murah sehari-hari.

 

Pada penampang semacam itu, kita masih terus melewati tikungan-tikungan maut di ranah politik dan sosial. Keindonesiaan kita sebagai kristalisasi pembangunan negara-bangsa kian sering memperlihatkan paradoks sosial-politik.

 

Negara sebagai bagian dari institusionalisasi nilai-nilai demokrasi tak hadir sebagai pendukung inklusivitas sosial. Demokrasi kemudian berhadapan dengan kecenderungan homogenisasi plus hegemonisasi sosial-politik yang meremukkan kepingan-kepingan kecil keragaman sebagai entitas keindonesiaan kita.

 

Kita memang tak sedang berada dalam cangkang romantisme masa lalu. Pada kenyataannya, sebagaimana bangsa lain (Dinnen, 2007), kita berhadapan dengan dua sisi panggilan. Pertama, panggilan politik. Aspek ini merujuk langsung pada pembangunan negara agar dapat berfungsi sesuai tujuan asasinya.

 

Dimensi ini berkait erat pada konsistensi dan inti pemihakan Indonesia sebagai negara modern. Pembangunan negara, dengan fokus pada penguatan lembaga-lembaga kunci, mesti bermuara pada kemampuan menjamin layanan dasar bagi warga.

 

Kedua, panggilan sosial. Aspek ini mengacu pada makna yang lebih luas. Sisi ini berhubungan dengan pengembangan rasa kebersamaan Indonesia sebagai suatu bangsa. Ikatan ini niscaya mengalir langsung pada ruang kewargaan dalam suatu wadah komunitas sosial-politik.

 

Di titik ini, sementara negara juga memiliki peran kunci, pembangunan bangsa sesungguhnya membutuhkan mobilisasi berbagai pemangku kepentingan.

 

Dua simpul panggilan ini salah satunya menuju pembangunan identitas nasional. Namun, kita juga mesti sadar, kemajuan pembangunan negara-bangsa kita tak boleh dianggap unilinear. Artinya, tak boleh ada komunitas yang secara sengaja dipaksa memberi jalan atau tunduk pada pengucilan sosial-politik demi kepentingan kekuatan dominan.

 

Risiko konstruktifnya, kita seharusnya berani membuka diri semakin dewasa dalam proses interaksi terbuka dan adil, meski jalan itu mungkin jauh lebih menantang. Arus ini mesti dilewati karena dinamika ini kian berkembang di antara segmen-segmen sosial politik baru—misalnya yang muncul dari digitalisme demokrasi.

 

Cetak biru keindonesiaan

 

Dengan ingatan akan dua sisi panggilan ini, kita mesti menatap keindonesiaan sebagai cetak biru sosial-politik kita (bdk. Grotenhuis, 2016). Keindonesiaan adalah bagian dari kanalisasi kerinduan bersama mencecap kesejahteraan sosial.

 

Pesannya, fragmentarisme pembangunan negara-bangsa tak pernah boleh jadi bagian dari proses ini. Sebab, setiap elemen bangsa niscaya menggenggam hak yang sama untuk menyuntikkan nilai-nilai agung ke dalam ruang keindonesiaan.

 

Dari perspektif ini, kita juga kemudian bersua dengan kesadaran bahwa pembangunan negara-bangsa bukan proses teknis yang terpisah dari mimpi-mimpi terdalam dan terbaik dari setiap anak bangsa.

 

Kita perlu menaruh perjalanan pembangunan keindonesiaan kita sesuai maksud dan titik mula kehadirannya. Peniadaan satu kepingan sosial-politik adalah sebuah tabrakan yang menghancurkan keindonesiaan kita. Seharusnya ini tak akan lagi mencuat sebagai tragedi keindonesiaan pada usianya yang semakin lanjut. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/kepingan-keindonesiaan

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar