Kamis, 12 Agustus 2021

 

Masyarakat Adat dan Covid-19

Ahmad Arif ;  Wartawan Kompas

KOMPAS ,11 Agustus 2021

 

 

                                                           

Wabah Covid-19 tak mengenal identitas suku dan batas wilayah. Masyarakat adat yang semula dianggap aman dari Covid-19 mulai melaporkan kasus dan korban jiwa. Semakin terbuka akses mereka dengan dunia luar, semakin rentan dari paparan wabah.

 

Alarm bahaya bagi masyarakat adat sebenarnya telah banyak dilaporkan di negara lain sejak tahun lalu, termasuk juga oleh lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, ancaman ini semakin nyata di tengah peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional pada tanggal 9 Agustus.

 

Masuknya wabah Covid-19 di masyarakat adat makin mengemuka seiring meluasnya varian Delta dalam beberapa bulan terakhir. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan adanya penularan Covid-19 di masyarakat adat Apau Kayan di Kalimantan Utara, Aru di Maluku, Kulawi dan Morowali di Sulawesi Tengah, Tana Toraja dan Toraja Utara di Sulawesi Selatan, Enggano di Bengkulu, di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, hingga Papua.

 

”Sejumlah kluster keluarga Covid-19 pada masyarakat adat juga telah menelan korban jiwa. Mayoritas penderita meninggal saat isolasi mandiri karena layanan kesehatan jauh dari jangkauan. Namun, detail jumlah kasus positif Covid-19 belum ada karena tes dan tracing tidak berjalan baik di wilayah terpencil,” sebut Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi (Kompas, 30 Juli 2021).

 

Sebagaimana dilaporkan Pan American Health Organization (Oktober 2020), masuknya wabah ke pedalaman terutama terjadi di wilayah adat yang berimpitan dengan kegiatan ekstraksi sumber daya alam dari korporasi tambang dan perkebunan yang tetap beroperasi selama pandemi. Mobilitas pekerja dari luar inilah yang juga membawa wabah.

 

Ketahanan dan kerentanan

 

Sejak awal wabah, sejumlah masyarakat adat di Indonesia sebenarnya telah merespons dengan memperketat pintu masuk mereka. Ini misalnya dipraktikkan masyarakat adat Badui di Banten. Penguncian ini membuat Badui bisa melewati gelombang pertama Covid-19, setidaknya hingga awal Juni 2020, walau belakangan benteng pertahanan itu mulai goyah.

 

Secara tradisional, masyarakat adat memiliki naluri pertahanan terhadap wabah dengan mengisolasi diri seperti Badui, selain menghindar dengan masuk ke hutan bagi yang memiliki tradisi berburu dan meramu. Misalnya, Orang Rimba di Jambi dan Punan Batu di Kalimantan Utara yang selalu berpindah tempat tinggal jika ada yang sakit parah dan meninggal walaupun tradisi ini sekarang makin sulit dijalankan seiring dengan menyempitnya hutan.

 

Dengan naluri serupa, Gubernur Papua Lukas Enembe pernah menutup pintu masuk ke Papua pada 24 Maret 2020. Namun, penguncian Papua ini kemudian dilonggarkan karena dianggap bertentangan dengan penanganan pandemi di Indonesia. Kini, Papua menjadi salah satu episenter wabah Covid-19.

 

Orang Papua seangkatan Lukas Enembe tentu mempunyai memori wabah flu yang—sekalipun tak terdata—telah membunuh banyak orang di kampung asal mereka di Pegunungan Jayawijaya. Sebelum Indonesia mengambil alih administrasi Nederlands Nieuw Guinea dari UNTEA pada Mei 1963, pedalaman Papua merupakan tempat yang sangat dibatasi aksesnya.

 

Pada waktu itu, orang-orang dari luar yang hendak ke pedalaman harus lolos pemeriksaan kesehatan sangat ketat. Orang dengan sakit panu dan kaskado pun tidak boleh masuk. Mereka yang tidak lolos buku kuning pemeriksaan Organisasi Kesehatan Dunia  (WHO) harus menjalani karantina dan pengobatan di Biak atau Jayapura.

 

Namun, Pemerintah Indonesia kemudian meniadakan aturan ketat karantina. Sejak 1963 hingga awal 1970-an, banyak orang di pedalaman, seperti Wamena dan Enorotali, meninggal karena sakit pilek, yang oleh orang luar kerap diremehkan sebagai ”flu biasa”.

 

Saat ini, flu telah menjadi penyakit biasa dari Papua. Bisa dikatakan, populasi yang bertahan sudah melalui adaptasi dan seleksi alam dari berbagai penyakit baru dari luar. Masalahnya, ketika berbagai penyakit baru sudah bisa diatasi dengan pengobatan modern, di pedalaman Papua justru hal itu masih menjadi wabah yang menghantui.

 

Contohnya penyakit kulit kaskado yang menjadi sangat umum di pedalaman. Papua kini juga menjadi episenter utama kusta di Indonesia, bahkan nomor dua di dunia setelah India. Sementara campak yang bersimbiosis dengan gizi buruk pernah memicu kematian massal 72 anak di Asmat pada 2018.

 

Masyarakat adat pada umumnya memiliki ketahanan tubuh sangat baik terhadap berbagai penyakit endemis, misalnya malaria. Namun, mereka sangat rentan terhadap berbagai penyakit baru dari luar.

 

Kerentanan mereka terhadap berbagai penyakit baru bisa lebih tinggi karena ketidaksetaraan akses terhadap fasilitas kesehatan. Apalagi, mengenalkan pendekatan modern, termasuk vaksin, kepada masyarakat adat tidak mudah. Sekalipun, menurut data AMAN, ada ratusan ribu masyarakat adat yang mendaftar untuk divaksin, banyak warga lainnya belum bersedia.

 

Dengan keterbatasan akses terhadap pengobatan modern, berbagai penyakit baru ini akan diadaptasi secara alami oleh tubuh mereka. Seleksi alam inilah yang memicu banyak korban.

 

Laporan Victor Santana Santos dari Centre for Epidemiology and Public Health, Federal University of Alagoas, Brasil dan tim di Journal of Public Health (Juni, 2021) menunjukkan, tingkat kematian (case fatality rate/CFR) karena Covid-19 di populasi adat mencapai 3,2 persen atau hampir dua kali lipat dari rata-rata CFR nasional negara itu sebesar 1,8 persen.

 

Fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah pandemi sebelumnya.Misalnya, selama pandemi H1N1 2009, sebanyak 16 persen dari warga aborigin Kanada dirawat di rumah sakit dibandingkan 3,4 persen populasi.

 

Sejarah mencatat bahwa wabah bisa menghancurkan populasi masyarakat adat. Misalnya, epidemi influenza dan campak pernah membunuh lebih dari 50 persen populasi ”penduduk asli” Amerika Latin, terutama di Amazon pada tahun 1970-an.

 

Penyakit menular di masyarakat adat, bukan hanya bisa menyebabkan orang sakit, melainkan juga bisa mengancam kegiatan subsisten untuk mengumpulkan makanan atau merawat lahan pertanian mereka. Situasi ini tidak boleh terjadi pada masyarakat adat di Indonesia, benteng terakhir alam dan tradisi di negeri ini, di antaranya dengan mencegah wabah menjalar lebih jauh ke pedalaman, selain juga memperbaiki akses terhadap kesehatan, termasuk vaksinasi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar