Kamis, 12 Agustus 2021

 

Kawal Masa Depan

Suryopratomo ;  Duta Besar RI untuk Singapura

KOMPAS ,11 Agustus 2021

 

 

                                                           

Seorang anggota Tim Komunikasi Publik Satgas Covid-19 tiba-tiba mengirimkan sebuah pesan. Ia meminta tolong untuk mendapatkan akses kepada dokter di Rumah Sakit Persahabatan agar bisa mengetahui kondisi istrinya yang dirawat di sana karena tertular Covid-19.

 

Ia benar-benar khawatir karena sejak dirawat Minggu (1/8/2021), kondisinya semakin memburuk. Saturasinya turun sampai 60 persen. Ia hanya bisa melihat istrinya saat melakukan video call, tetapi tidak bisa mendapatkan informasi dari dokter tentang kondisi yang sebenarnya dari istrinya. Padahal, istrinya itu sedang mengandung anak pertama yang sudah mereka tunggu-tunggu sejak dua tahun lalu.

 

Ia sangat berharap untuk bisa mendapatkan informasi yang jelas tentang kondisi istri dan juga anak yang sedang dikandungnya. Harapannya, mereka berdua bisa diselamatkan dari kondisi yang terburuk.

 

Ia bersyukur akhirnya bisa berkomunikasi dengan dokter yang merawat istrinya. Namun, Tuhan ternyata berkehendak lain. Kamis malam dokter memberitahukan bahwa denyut bayi sudah tidak bisa terdeteksi. Jumat dini hari bahkan istrinya juga tidak bisa diselamatkan.

 

Peristiwa yang menyayat hati seperti ini semakin sering kita terima belakangan ini. Sudah 100.000 warga lebih yang menjadi korban dari ganasnya Covid-19. Semakin banyak orang yang harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Tidak sedikit anak-anak yang kemudian harus menjadi yatim-piatu.

 

Pandemi Covid-19 tidak hanya memberikan dampak yang luar biasa pada kesehatan dan perekonomian. Yang tidak boleh kita lupakan adalah dampak sosial yang diakibatkan. Terutama kepada anak-anak yang kehilangan figur orangtuanya. Padahal, mereka membutuhkan sentuhan orangtua untuk menapaki perjalanan ke depan.

 

Cinta kasih

 

Satu yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah generasi yang kehilangan cinta kasih. Pelukan ibu dan kasih sayang seorang ayah menjadi bagian yang sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.

 

Hasil studi yang dilaporkan The Lancet menyebutkan, hingga akhir April 2021, sedikitnya dua juta anak di dunia terdampak pandemi Covid-19, baik karena harus kehilangan orangtuanya maupun kakek-nenek yang merawatnya. Secara spesifik disebutkan, satu dari 100 anak di Peru, empat dari 1.000 anak di Afrika Selatan, satu dari 1.000 anak di Amerika Serikat kehilangan orang yang dicintainya.

 

Dengan jumlah anak yatim piatu yang meningkat menjadi dua kali lipat pada pertengahan 2021 dibandingkan dengan 2020, menjadi pertanyaan bagaimana lalu masa depan mereka? Harus ada upaya khusus untuk mencegah jangan sampai mereka menjadi generasi yang hilang.

 

Untuk itu, setiap negara diusulkan segera melakukan pendataan agar bisa dipetakan secara pasti berapa jumlah anak yang terkena akibat langsung oleh pandemi Covid-19. Jumlah data yang pasti akan memudahkan negara untuk melakukan upaya penanganannya.

 

Charles Nelson, seorang profesor dari Universitas Harvard, mengingatkan pentingnya hadir organisasi yang merawat anak-anak yang harus kehilangan orangtua mereka. Ini penting untuk perkembangan otak sang anak sehingga masa depannya bisa diselamatkan.

 

Rumah-Rumah yatim piatu perlu dibangun bukan sekadar untuk membuat mereka bisa bertahan hidup. Harus ada model penanganan khusus yang membuat sang anak tidak sampai kehilangan rasa kasih sayang yang dibutuhkan untuk menyertai pertumbuhannya.

 

Bahkan, negara harus memikirkan pendidikan dari anak-anak korban pandemi Covid-19. Mereka harus bisa dijaga harapannya, tumbuh dalam lingkungan yang penuh kegembiraan dan keceriaan, serta tidak tenggelam dalam kesedihan dan kemuraman masa depannya.

 

Inisiatif baru

 

Kita pantas mengapresiasi langkah yang dilakukan Ainun Najib dan kawan-kawan untuk membuat gerakan ”Kawal Masa Depan”. Ketika berbicara dalam webinar ”Anak Muda Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh” yang diselenggarakan KBRI Singapura, Rabu (4/8/2021), Ainun Najib mengatakan, ia terpanggil menghindarkan anak-anak korban pandemi Covid-19 kehilangan masa depannya.

 

Gerakan Kawal Masa Depan harus dibantu seluruh lapisan masyarakat. Menurut Ainun Najib, itu bisa dimulai dengan melaporkan tentang tetangga di sekitar rumah kita yang menjadi anak yatim-piatu. Dari data yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia, bisa kita ketahui jumlah anak yang perlu kita selamatkan dan di mana lokasi mereka berada.

 

Selanjutnya, langkah yang dipersiapkan dia bagi tiga kelompok. Pertama mengajak seluruh komponen masyarakat untuk mengumpulkan donasi. Uang yang terkumpul akan dipakai untuk membiayai sekolah anak-anak yang kini harus menjadi sebatang kara.

 

Langkah kedua yang akan dilakukan gerakan Kawal Masa Depan adalah mempersiapkan program mentoring. Semua anggota masyarakat yang punya keahlian khusus diajak untuk menjadi semacam orangtua asuh. Mereka diminta untuk mendampingi sang anak dengan mentransfer keterampilan yang dimiliki sampai anak itu kemudian berhasil.

 

Ketiga, membentuk modal ventura yang bisa memberikan keterampilan, pekerjaan, bahkan melahirkan perusahaan rintisan (start up) baru. Ainun Najib terinspirasi oleh entrepreneur teknologi Austen Allred yang membangun Lambda School di Utah, Amerika Serikat.

 

Allred terinspirasi oleh konsep yang dikembangkan ahli ekonomi Milton Friedman pada 1950-an dengan apa yang dinamakan human capital contract. Anak-anak yang ingin menempuh pendidikan tidak harus membayar uang sekolah. Ia baru mencicil biaya sekolah ketika kelak sudah bekerja.

 

Kegiatan yang Allred lakukan sejak Juli 2017 dimulai dengan mengajak anak-anak yang tidak mempunyai biaya sekolah untuk belajar coding. Ia percaya semua orang bisa menjadi coder, sepanjang mereka mau untuk mengerjakannya. Terbukti banyak orang yang kemudian sukses setelah mengikuti pendidikan yang dilakukan secara online (daring) di Lambda School. Bahkan, mereka mampu membayar biaya sekolahnya sebesar 30.000 dollar AS karena hanya dipotong 17 persen dari gaji yang diperolehnya.

 

Ainun Najib percaya model ”gratis bayar sekolah sampai mendapat pekerjaan” bisa menjadi salah satu solusi untuk mencegah jangan sampai anak-anak korban pandemi Covid-19 kehilangan masa depan mereka. Kepedulian ini harus dihidupkan karena ada lebih dari 100.000 anak yang sekarang tiba-tiba menjadi yatim-piatu.

 

Social entrepreneurship perlu dikembangkan karena tidak mungkin hanya mengandalkan negara untuk memecahkan masalah ini. Sekarang ini saja perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan kesehatan dan ekonomi.

 

Kita tidak boleh membiarkan persoalan sosial akibat pandemi Covid-19 meledak kemudian. Apalagi kehidupan ini akan terus berjalan dan kita tidak bisa menunggu anak-anak korban Covid-19 ini baru kita pikirkan setelah pandemi kelak berakhir. Sementara kita tidak pernah bisa memperkirakan kapan pandemi ini akan berakhir.

 

Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada 2000 pernah melontarkan gagasan pembentukan global compact untuk menangani tantangan global di masa mendatang. Kofi Annan berpandangan, semua tantangan yang ada tidak mungkin hanya diselesaikan pada level negara. Harus ada kontribusi dari pemangku kepentingan yang lain.

 

Kerja sama tiga sektor menjadi kunci untuk menjawab tantangan masa depan. Negara, dunia usaha, dan masyarakat madani harus membangun sikap saling percaya, saling mengerti, dan saling menghormati demi terciptakan langkah bersama menghadapi tantangan masa depan. Tantangan nyata yang kita hadapi sekarang ini, bagaimana menjawab persoalan kesehatan, ekonomi, dan sosial akibat pandemi Covid-19. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar