Kamis, 12 Agustus 2021

 

Jurnalisme Wabah dan Siasat Semiotika

Acep Iwan Saidi ;  Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

KOMPAS ,11 Agustus 2021

 

 

                                                           

Kecepatan penyebaran wabah Covid-19 nyaris berbanding lurus dengan penyebaran informasi tentangnya. Beranalogi kepada Baudrillard (1981), perpaduan keduanya melahirkan dua ledakan sekaligus. Pertama, sebagai sebuah wabah yang terjadi di ruang nyata (riil), pandemi Covid-19 ”meledak ke arah luar” (explosion).

 

Wabah ini merontokkan kerumunan seperti api membakar ladang alang-alang. Dengan sangat cepat ia menghabisi lahan di kiri-kanannya yang tanpa sekat. Tetangga, saudara, dan kerabat dekat yang terpapar menjadi peristiwa riil keseharian. Kematian nyata di depan mata.

 

Kedua, informasi tentang wabah ini ”meledak ke arah dalam” (implosion), yakni ke dalam kepala setiap individu. Berita tentang kematian, ambulans jenazah yang antre di pemakaman, perang vaksin, penanganan oleh pemerintah yang tidak meyakinkan, unjuk rasa terhadap kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), dan lain-lain membombardir kepala tiap individu yang notabene sedang berada di rumah.

 

Ini menjadi wabah lain yang menyebar lebih cepat dan menyerang sisi lemah tubuh juga.

 

Jika paduan dua ledakan tersebut diibaratkan tsunami, kita telah mengalami dua sapuan gelombang yang dasyat, yakni Covid-19 tanpa varian sebagai gelombang pertama dan varian Delta yang menyapu pada kesempatan kedua saat ini. Kita sudah dan sedang menyaksikan (merasakan), gelombang kedua ini jauh lebih dahsyat dari gelombang yang pertama.

 

Pertanyaannya, mungkinkah akan datang gelombang berikutnya? Tentu kita sangat tidak mengharapkan itu. Namun, tentu kita juga harus berjaga. Kemungkinan muncul varian baru masih sangat terbuka.

 

Memilih keberpihakan

 

Lewat esai singkat ini, saya ingin mengajak kita berpikir dan berupaya mengatasi ”ledakan ke arah dalam” sebagaimana disinggung di atas, yakni tentang bagaimana pengelolaan informasi agar tidak menjadi pandemi, setidaknya mengurangi efeknya.

 

Hal ini penting seturut hasil survei yang dilakukan tim riset dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) tentang persepsi publik terhadap pemberitaan Covid-19 (Kompas, 31/7/2021). Saya mencatat dua hal menarik pada hasil survei ini. Pertama, publik telah semakin selektif dalam menyerap pemberitaan Covid-19. Terkait hal ini, publik juga lebih percaya kepada media arus utama.

 

Kedua, pemberitaan tentang Covid-19 telah berdampak pada emosi publik. ”Sebagian besar responden merasakan semacam keletihan, kesedihan, pilu, rasa rindu, dan kesepian (disuarakan anak muda). Sementara kalangan yang lebih tua merasa marah, cemas, tertekan, atau mental yang lebih terganggu”, demikian tim peneliti.

 

Tak ada penjelasan lebih rinci tentang pemberitaan seperti apa yang menimbulkan dampak emosi tersebut. Di samping itu, juga tidak ada penjelasan spesifik mengapa mereka lebih memilih media arus utama. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan pada media arus utama tidak serta-merta media ini telah memberitakan berbagai peristiwa pandemi dengan baik.

 

Di bagian lain, tim peneliti mengatakan, ”walaupun percaya pada media massa arus utama, ada kecurigaan juga bahwa pemberitaan di media massa dilebih-lebihkan dari realitas”.

 

Terlepas dari kemungkinan kelemahannya, hasil survei ini merupakan catatan dan masukan yang menarik untuk para pelaku dan pengelola media, dalam hal ini terutama media arus utama. Saya yakin, dalam perang melawan pandemi Covid-19 ini, para pelaku dan pengelola media telah memiliki kesadaran untuk bersama-sama melawan dan mengusir wabah ini. Sejatinya media memang mengambil posisi keberpihakan ke sisi kemanusiaan dalam pemberitaannya.

 

Namun, penting dipahami bahwa keberpihakan tersebut bukan berarti media harus mengorbankan nilai-nilai kebenaran informasi. Wacana dan usul beberapa pihak tempo hari, yakni media harus menghentikan pemberitaan yang memiliki unsur kengerian akibat pandemi Covid-19 (berita buruk seputar wabah), tentu tidak tepat dan karena itu harus ditolak. Alih-alih demikian, yang harus dipikirkan adalah seluruh informasi tersampaikan dengan benar di satu sisi dan di sisi lain tidak menimbulkan kecemasan atau ketakutan publik sebagaimana dilansir tim riset UMN.

 

Melawan secara tak normal

 

Hal yang harus dipahami bersama adalah fakta bahwa saat ini kita sedang berada dalam ketidaknormalan—yang tidak serta-merta bisa bisa dihadapi dengan membangun perilaku kenormalan baru. Ketimbang demikian, situasi tidak normal ini juga harus dihadapi dengan cara-cara tidak normal.

 

Dalam konteks pemberitaan media, perspektif tentang ”peristiwa yang penting” sebagai bahan baku berita mesti diubah. Konstruksi 5W1H harus dimainkan—untuk tidak menyebut didekonstruksi—sedemikian rupa, yang berbeda dengan situasi normal. Nilai penting ”kepala berita”, misalnya, tidak lagi diukur sebagai ”nilai penting peristiwa untuk kebutuhan pasar informasi” yang dapat dikompetisikan antara satu media dan media lain.

 

Alih-alih demikian, poin pentingnya mesti diletakkan pada bagaimana peristiwa yang dinarasikan memiliki nilai terapis untuk publik dalam kerangka melawan wabah secara bersama-sama. Konstruksi pemberitaan demikian menuntut para pelaku dan pengelola media memperlebar ruang tatapan sekaligus memperjeli pengamatan sehingga menemukan noktah putih pada kanvas hitam.

 

Selanjutnya, dibutuhkan kerendahan hati untuk menjadikan noktah putih tersebut sebagai titik berangkat (angle) penulisan. Penting ditekankan bahwa model penulisan dengan sudut pandang ini bukan berarti menghilangkan ”yang hitam”.

 

Bagian hitam yang bisa jadi lebih dominan tetap harus disampaikan. Inilah yang ingin saya sebut sebagai jurnalisme wabah. Pendek kata, jurnalisme ini mengubah model penulisan piramida terbalik (dalam situasi normal) menjadi kontruksi piramida ”tak terbalik”.

 

Lebih jauh, saya ingin menyampaikan bahwa jurnalisme wabah adalah sebuah siasat semiotika, yakni sebuah cara bagaimana kita mengelola bahasa sebagai gugusan tanda.

 

Dalam siasat ini, bahasa tidak disikapi sebatas alat komunikasi dan penyampai realitas. Melampaui hal itu, bahasa seyogianya disikapi pada fungsinya sebagai media yang dapat membebaskan manusia dari beban realitas. Anda bisa menjelaskan kepada rekan kerja di kantor bahwa rumah Anda besar dan megah, misalnya, tanpa membawa bangunan rumah tersebut ke hadapan rekan Anda. Dengan demikian, Anda terbebas dari beban itu.

 

Namun, seraya dengan proses itu, di dalam benak rekan Anda akanmuncul semacam pembayangan tentang rumah Anda. Pada titik ini, bahasa memungkinkan teman Anda memahami sekaligus salah paham. Jadi, pada akhirnya semua akan sangat tergantung pada bahasa. Kerja jurnalisme, lebih-kurang, juga bermuara ke situ.

 

Saat seorang jurnalis menemukan peristiwa, saat itu ia menemukan bahasa. Ia memindahkan (to denote) peristiwa itu ke dalam bahasa, ke dalam tanda. Walhasil, sejak bertemu dengan peristiwa, seorang jurnalis sudah mengoperasikan siasat semiotika sedemikian, tanpa mengkhianati peristiwa. Jadi, mari maksimalkan siasat ini dalam memerangi pandemi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar