Makam
dan Toleransi di Tengah Pandemi A Windarto ; Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma,
Yogyakarta |
KOMPAS, 7 Agustus 2021
Perusakan
nisan pada makam umat Kristiani di TPU Cemoro Kembar, Surakarta, Jawa Tengah,
belum lama ini sungguh memprihatinkan. Sebab, dari peristiwa yang tampak
sepele lantaran dilakukan oleh anak-anak, justru semakin menajamkan
perbedaan, bahkan pertentangan, dalam masyarakat. Singkatnya,
dengan peristiwa itu, berbagai praktik intoleransi akan menjadi ancaman nyata
bagi penanaman dan pengembangan gaya hidup yang toleran sebagaimana telah
diwariskan melalui pelajaran wayang, khususnya dalam kebudayaan di Jawa. Ancaman
yang tampaknya sudah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia itu ternyata
masih cukup efektif dan operatif untuk dimanfaatkan sebagai bahasa politis
bagi kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal itulah yang membuat relasi atau
hubungan sosial, termasuk kekuasaan, menjadi mudah untuk dikategorikan dengan
latar belakang perbedaan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Akan
tetapi, sifat khusus dari kehidupan dan budaya, khususnya dalam masyarakat
Jawa, telah menunjukkan bahwa gejala itu masih mungkin untuk ditenggang
dengan jejak etika tradisional yang paling mengemuka. Wayang adalah bentuk
dari etika tradisional yang secara diam-diam diakui, bahkan dibanggakan,
sebagai reputasi budaya yang mampu menampilkan kelapangan dan kearifan hati
masyarakat Jawa. Bagaimanakah
wayang dapat tampil sebagai penenggang dari intoleransi yang berpotensi
mengancam atau memorak-porandakan hidup sehari-hari? Apa kekuatan dahsyat
yang menjadi penopang emosional dari wayang sehingga dampak yang
menghancurkan akibat peperangan demi peperangan dapat ditunda atau dialihkan
pada saat dan tempat yang tepat? Dalam
buku Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (Jejak, 2003), Benedict Anderson
memaparkan bahwa wayang telah menjadi seperti ”agama” yang tidak memiliki
nabi, kitab suci, atau Sang Mesias. Hal
itu ditandai oleh suatu mitologi yang menempatkan wayang sebagai ”samaran”
atau ”bayangan” dari dunia kehidupan yang sarat dengan konflik. Karena itu,
tak mengherankan jika dalam wayang tak ada peran yang diunggulkan, meski
kebanggaan atau keistimewaan dari setiap tokoh ditampilkan. Hal
itulah yang membuat wayang dijadikan ciri pola dan pilihan teladan yang luas
bagi masyarakat Jawa, terlebih para pemudanya. Baik anak yang bertubuh kekar,
aktif dan tak pandai bicara, maupun yang bertubuh langsing/halus dan suka
berintrospeksi, masing-masing mendapat jalannya yang memungkinkan kepribadian
dan ciri fisiknya berkembang tanpa paksaan kejiwaan yang tidak perlu harus
dilakukan terhadapnya. Teladan
yang amat toleran itu menjadi nilai-nilai keutamaan dan kebijaksanaan bagi
masyarakat Jawa, termasuk dalam menghadapi perbedaan atau konflik yang
mengancam kehidupan. Dalam konteks ini, menarik untuk memperhatikan temuan PJ
Zoetmulder yang sedemikian kagum dan terpesona dengan tradisi budaya Jawa,
khususnya di bidang sastra Jawa kuno. Dalam
bukunya yang berjudul Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang
(Djambatan, 1983), Zoetmulder memperlihatkan bahwa sastra Jawa, dan juga
Sansekerta, berperan amat penting dan menentukan dalam jejak langkah
pembentukan bangsa di kawasan Asia Tenggara. Meski
agak berbeda dengan di Thailand dan Kamboja, jenis kesusastraan yang ditulis
dalam bahasa lokal di Indonesia, khususnya di Jawa, telah membentuk
masyarakat yang terbiasa untuk berpikiran luas dan beragam. Padahal, dari
jenis sastra inilah cerita atau kisah dalam wayang dimainkan. Itu
artinya, wayang merupakan bagian dari proyek kreasi sastra yang berperan
penting untuk meloloskan atau menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Dengan
kata lain, wayang menjadi sumber dari nilai, sikap dan tindakan toleransi
yang bukan sekadar berwujud sebuah tontonan, melainkan juga sekaligus suatu
tuntunan. Khususnya, tuntunan yang sesungguhnya tidak langsung mengancam atau
abai terhadap ketidaksesuaian dalam perkara hidup sehari-hari yang amat rapuh
dan mudah pecah. Dalam
konteks ini, bukan kebetulan jika para tokoh yang masih peduli dengan
kebudayaan wayang Jawa justru membangun sejumlah patung dari para tokoh
wayang terkemuka, seperti Gatotkaca, Semar, Yudhistira, dan Bima. Meski
sempat dirusak dan dibakar, segenap patung wayang yang dianggap mengarah pada
praktik penyembahan berhala masih layak dan pantas untuk dapat menjadi wahana
komunikasi simbolik dan publik. Sebab,
di masa lalu patung dan monumen yang dibangun di Jakarta, misalnya, adalah
untuk memperkenalkan Indonesia di mata dunia internasional. Patung Pembebasan
Irian Barat dan Monas (Monumen Nasional) adalah contoh dari retorika simbolik
tentang perjuangan bersama untuk menjadi nasionalis demi negara-bangsa
Indonesia. Perjuangan
yang mampu meredam segala perbedaan dan pertentangan di masa lalu itu patut
untuk diperingati agar selalu dapat jeli dan waspada terhadap segala upaya
yang berkepentingan sesaat dan sepihak atas nama toleransi. Di sinilah wayang
juga memberi dasar yang khusus bagi masyarakat Jawa untuk senantiasa bersiap
dalam berjuang dan menjadi tetap tangguh. Dari
dasar itulah, toleransi mengalir sebagai sebuah penghargaan terhadap
keberagaman manusiawi dan kepribadian setiap orang. Maka, melalui wayang,
pelajaran untuk menjadi cakap dalam menangani perkara-perkara yang intoleran
dapat dinegosiasikan dengan semangat dan dasar hidup yang saling menghargai
dan menghormati dalam sebuah komunitas manusiawi yang toleran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar