Sambutan
Joe Biden dan Ancaman Tenggelamnya Jakarta Neli Triana ; Wartawan Kompas, Penulis kolom “Catatan
Urban” |
KOMPAS, 7 Agustus 2021
”But what happens — what happens in
Indonesia if the projections are correct that, in the next 10 years, they may
have to move their capital because they’re going to be underwater?” Itu
adalah satu kalimat yang terselip di tengah pidato sambutan Presiden Amerika
Serikat Joe Biden di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli 2021.
Sontak, lontaran Biden merajai peringkat topik pembicaraan di media sosial di
Tanah Air. Ada opini di salah satu kanal daring media massa nasional
menghubungkannya dengan kebijakan AS yang meminta negara-negara di Asia Tenggara
tegas memihak padanya atau kompetitornya, China. Mantan
Presiden RI sampai Wakil Gubernur DKI Jakarta tak ketinggalan angkat bicara
tentang hal ini, seakan-akan isu Jakarta tenggelam menjadi hal utama dalam
sambutan Biden. Sesungguhnya, pemodelan masa depan Jakarta yang terendam
hingga wilayah Monumen Nasional atau batas lain sudah mengemuka tahun-tahun
sebelumnya. Apakah
sambutan Biden benar-benar menggarisbawahi tebal-tebal soal Jakarta yang akan
tenggelam? Membaca salinan sambutan Biden yang dirilis resmi di situs The
White House, kalimat yang menyebut ibu kota Indonesia bakal tenggelam itu ada
di paragraf ke-52 dari sedikitnya 74 paragraf pidato. Satu-satunya kalimat
tentang Indonesia disebut, entah memang diniatkan sejak awal atau sebatas menyebut
contoh, ketika membicarakan perubahan iklim dan dampaknya sejak paragraf 48
hingga 56. Secara
umum, sambutan Biden dari awal hingga akhir berupa uraian tentang peran
penting badan dan komunitas intelijen AS dalam mendukung pemerintahan dan
presiden terpilih mengambil berbagai kebijakan yang tepat untuk melindungi
segenap rakyat negara tersebut. Menurut Biden, pernyataannya itu telah
terbukti dalam beberapa puluh tahun terakhir. Ia
lantas mengaitkan pentingnya peran intelijen di masa sekarang dan nanti.
Menurut Departemen Pertahanan AS, seperti kata Biden, negara adidaya tersebut
dan negara-negara lain kini menghadapi tantangan besar yang belum pernah
dialami sebelumnya, yaitu dampak perubahan iklim. Untuk itu, Biden
menyatakan, bahkan AS harus bekerja sama dengan kompetitor terbesarnya, yakni
Rusia dan China. ”Ada
hal-hal di mana kita seharusnya berada, di mana kita harus bekerja sama.
Tantangan iklim telah mempercepat ketidakstabilan di negara kita sendiri dan
di seluruh dunia: peristiwa cuaca ekstrem yang lebih mematikan; kerawanan
pangan dan air; naiknya permukaan laut, mengakibatkan perubahan iklim dan
mendorong migrasi yang lebih besar serta menimbulkan risiko mendasar bagi
komunitas yang paling rentan,” kata Biden. Lantas,
ia menyinggung Arktik di Kutub Utara yang kian menghangat, pertikaian
antarnegara memperebutkan lahan subur di Afrika Tengah, selain ancaman
tenggelamnya sebagian kawasan pesisir utara Jakarta akibat kenaikan muka air
laut. Di
kala Bumi tengah mengalami perubahan besar ini, sulit memastikan situasi yang
terjadi dalam satu tahun atau satu dekade ke depan. Terlebih sekarang nasib
seluruh dunia makin tak menentu karena terdampak pandemi Covid-19. Para ahli
di bidangnya, termasuk yang direkrut dalam komunitas intelijen, menurut Biden,
akan sangat menolong AS memahami situasi yang terjadi dan membantu
pemimpinnya menentukan rute terbaik untuk tetap maju. Terparah se-Asia Tenggara Terlepas
dari respons reaktif publik di Indonesia beserta ramainya tafsiran politik
dari sekelumit kalimat Biden, seriusnya isu penurunan muka tanah di pesisir
utara Jawa, termasuk di Jakarta, adalah fakta yang tidak bisa dianggap remeh. Penurunan
muka tanah di Jakarta sudah terjadi sejak setengah abad silam. Ditambah kerusakan lingkungan akibat salah
kelola berkepanjangan, Jakarta selalu dirundung banjir, kesulitan air bersih,
sampah di setiap jengkal lahannya, sampai kepadatan penduduk dan masifnya
pembangunan. Kondisi Ibu Kota pun terus memburuk. Profesor
Tommy Firman, ahli perencanaan wilayah dari Institut Teknologi Bandung
bersama tiga kolega peneliti dari Badan Pusat Statistik, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta, dan Universitas Indonesia, dalam salah satu risetnya pada 2010
lalu menyatakan, saat ini Pemprov DKI Jakarta belum memiliki kebijakan yang
secara khusus disesuaikan dengan perubahan iklim. Secara
umum, menurut Firman dan teman-teman, Pemprov DKI memiliki kebijakan terkait
mitigasi perubahan iklim, di antaranya
pembangunan sistem transportasi massal cepat yang meliputi jaringan
sistem bus Transjakarta dan kereta cepat massal (MRT). Ada juga kebijakan
konversi dari penggunaan kompor dengan bahan bakar minyak tanah ke gas.
Selain itu, beberapa regulasi telah dikeluarkan DKI, antara lain,
pengendalian kualitas udara, sumur resapan, pengendalian emisi gas dan
lainnya, lubang resapan biopori, zona bebas asap rokok, dan rehabilitasi
sungai/drainase. Namun,
Firman dkk menyatakan, dengan sekian banyak program itu pun DKI dinilai masih
kekurangan kebijakan atau program adaptasi perubahan iklim yang berdampak
lebih luas, seperti menahan laju amblesan tanah. Merujuk
studi Yusuf dan Fransisco (2009), Firman dkk menyatakan, Jakarta Pusat dan
Jakarta Utara menempati peringkat pertama dan kedua tempat paling rentan di
Asia Tenggara. Jakarta Pusat paling berisiko banjir, padahal kawasan ini
paling adaptif dibandingkan dengan kawasan lain di Ibu Kota. Sementara
Jakarta Utara rentan kebanjiran yang dipicu curah hujan dan limpasan pasang
air laut. Jakarta Timur, Barat, dan Selatan bukan berarti aman karena tetap
masuk dalam daftar teratas berpotensi dilanda banjir. Sebuah
proyeksi simulasi dari peneliti lain, yaitu Susandi pada 2009, tulis Firman,
menunjukkan, pada tahun 2050, beberapa daerah di Jakarta akan terendam air
jika pemanasan global terus berlanjut. Kenaikan permukaan laut diproyeksikan
menggenangi sebagian besar Jakarta Pusat dan kemungkinan besar akan
menimbulkan dampak sosial ekonomi secara signifikan. Merujuk
ke studi lain di 2010, Firman dkk menyatakan, model Geographic Information
Systems (GIS) menyimulasikan daerah tergenang untuk utara Jakarta—dan
memperkirakan kondisi seperti 10 tahun lalu—paparan kerusakan akibat banjir
ekstrem yang terjadi berkala dapat merugikan kota dan negara ini sebesar 4
miliar euro sampai 5,2 miliar euro. Riset
dari Haryanto (2009), menurut Firman, menyebutkan pula dampak banjir ekstrem
ini mencakup merebaknya kelangkaan air dan beberapa wabah penyakit, antara
lain, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, serta
iritasi mata dan kulit. Hentikan amblesan Sepuluh
tahun berlalu, bagaimanakah kondisi Jakarta di tahun 2021? Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara khusus membahas masalah ini
yang tertuang dalam siaran pers pada 3 Februari 2021. BPPT menyatakan,
permasalahan terkait penurunan tanah (land subsidence) akibat tekanan
lingkungan dari pembangunan perkotaan terjadi di beberapa kota besar di Asia,
termasuk Jakarta. ”Kami
di BPPT, melalui Tim INDI 4.0 (Indonesian Network for Disaster
Information), menemukan DKI dengan
segala jenis kegiatan dan permukiman penduduk, mengalami permasalahan
penurunan muka tanah selama 50 tahun terakhir,” kata Direktur Pusat Teknologi
Reduksi dan Resiko Bencana (PTRRB) BPPT M Ilyas. Pernyataan
Ilyas diperkuat oleh peneliti kebencanaan PTRRB BPPT, Joko Widodo. Ia
menyatakan, dari berbagai hasil kajian studi, ada empat jenis penyebab
penurunan muka tanah di Jakarta, yaitu akibat ekstraksi air tanah, beban
konstruksi, konsolidasi alami tanah aluvium, dan penurunan tanah tektonik.
Penurunan muka tanah akibat ekstraksi atau pengambilan air tanah menjadi
fenomena yang dominan terjadi di Jakarta. Laju maksimum penurunan tanah
mencapai 6 sentimeter (cm) per tahun. Baik
Ilyas maupun Widodo menyatakan, sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta
mengeluarkan peraturan daerah pelarangan pengambilan air tanah, terutama di
area-area yang kritis mengalami amblesan dan sekaligus harus dapat
menyediakan sumber air baku yang bersumber dari air permukaan sebagai
penggantinya. DKI didesak melakukan pemantauan amblesan secara berkala dengan
menggunakan teknologi yang tepat. Pada
masa pandemi, bukan berarti saran BPPT tidak bisa dilakukan. Menanggulangi
pandemi dibutuhkan banyak terobosan strategi dari berbagai aspek, tak hanya
kesehatan. Peningkatan kualitas hidup warga untuk mendukung terwujudnya
kesehatan masyarakat, antara lain dapat dilakukan dengan menjamin
ketersediaan air bersih melalui air perpipaan. Untuk
itu, DKI Jakarta harus mampu memegang kendali dalam pembangunan perluasan
cakupan layanan air bersih perpipaan. Sudahi polemik berkepanjangan terkait
hal ini. Di sisi lain, kucuran investasi di bidang ini dapat pula turut
mendongkrak perputaran roda ekonomi membantu pemulihan ekonomi yang terdampak
Covid-19. Mencerna
ucapan-ucapan Biden saat menutup sambutannya, ia meyakini kemampuan
pemerintah menanggulangi berbagai isu strategis dapat ditingkatkan dengan
menggamit orang-orang dengan kapasitas ilmiah yang signifikan. Keamanan
publik ia yakini dapat dicapai dengan upaya itu. Tunggu
apalagi, kita pun bisa! Ayo! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar