Kamis, 12 Agustus 2021

 

Korona, ”Pengasingan”, dan Membaca Buku

Agus Fitrianto ;  Praktisi Pendidikan dan Kesehatan Anak, Dokter Pendidik Klinik di FK Unsoed/RSMS Purwokerto dan Anggota IDAI Jawa Tengah

KOMPAS ,10 Agustus 2021

 

 

                                                           

Awal tahun 1935, tiga tahun selepas kepulangannya dari kuliah di Belanda, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir ditangkap kemudian diasingkan ke Boven Digoel bersama beberapa aktivis pergerakan nasional lainnya. Aktivitas politik mereka dianggap radikal dan membahayakan pemerintahan Hindia Belanda. Meski tak langsung mengangkat senjata, tetapi tulisan, kritik, dan orasi mereka terbukti mampu membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonial.

 

Kamp pengasingan Boven Digoel dibangun atas prakarsa Gubernur Jenderal De Graeff pada 1927 sebagai tempat buangan tahanan politik pemerintah. Lokusnya di Tanah Merah di tengah hutan Papua bagian selatan yang masih perawan, di tepi Sungai Digoel yang dipenuhi buaya halli ganas berkeliaran. Belum lagi ancaman gigitan nyamuk penyebar malaria dengan plasmodium Falcifarumnya yang mematikan. Tempat ini memang didesain untuk menjadi penjara alam liar yang akan menjauhkan para tahanan dari peradaban manusia.

 

Pemerintah Hindia Belanda pun kerap menerima panen kritik dari kalangan aktivis pergerakan akibat mengasingkan Bung Hatta dang Bung Syaahrir di Digoel. Bagaimana mungkin seorang lulusan universitas ternama di Belanda kemudian dibuang di tempat liar yang tak layak? Sebagai jawaban atas kritik itu, akhirnya Belanda memindahkan Bung Hatta dan Syahrir ke Banda Neira. Banda dianggap tempat yang cukup nyaman untuk pengasingan. Kotanya indah hingga dijuluki Eropa kecil. Pemerintah berharap sikap mereka akan melunak. Tapi jangan harap, meski di tempat pengasingan, mereka tetaplah tokoh pergerakan yang tak pernah mati gaya.

 

Setiap malam Minggu, Hatta dan Sjahrir mengunjungi rumah dr Tjipto Mangunkusumo dan Mr Iwa Kusumasumantri, seniornya yang telah lebih dulu diasingkan Belanda di sana. Meski diawasi, mereka tetap melangsungkan diskusi, mengajar penduduk setempat, menulis buku, dan segudang aktivitas lainnya selama enam tahun lamanya. Sikap mereka terhadap penjajah pun tak pernah berubah. Kemerdekaan bagi bangsanya adalah harga mati.

 

Ada satu aktivitas wajib bagi para tokoh tersebut. Mereka mengisi waktu luangnya dengan membaca buku sebagai asupan intelektual yang bergizi tinggi. Minat dan daya baca mereka sangatlah kuat. Guna memenuhi kebutuhan membacanya, Bung Hatta sampai harus membawa 16 peti kayu berisi ratusan koleksi buku yang beliau kumpulkan semenjak kuliah di Belanda. Saking banyaknya buku yang dibawa, kawannya sering meledek apakah Hatta hendak membuka toko buku di Digoel sampai Neira.

 

Membaca fragmen sejarah pengasingan Bung Hatta dan Syahrir tersebut, setidaknya ada dua hal besar yang bisa kita teladani. Pertama, konsistensi mereka dalam berjuang dan kedua, konsistensi mereka dalam membaca. Berjuang adalah usaha keras untuk mewujudkan ide, sedangkan membaca adalah berjuang keras untuk mencari dan menyempurnakan ide. Keduanya saling terkait dan menguatkan.

 

”Penjajah korona”

 

Dalam situasi pandemi ini, anggaplah kita sedang ”diasingkan” oleh penjajah korona. Setidaknya kita masih bisa bersyukur, tempat pengasingan kita masih jauh ”lebih mewah” dibandingkan dengan pembuangan di Boven Digoel atau pun Banda Neira. Sudahkah dalam ”pengasingan” ini kita meluangkan waktu khusus untuk membaca buku?

 

Bukankah buku adalah jendela dunia yg akan meniadakan keterasingan itu sendiri. Buku juga sahabat terbaik yang setia menemani di saat kawanmu tega nyinyir kepadamu. Lebih jauh lagi Hamka menuturkan bahwa membaca sastra akan menghaluskan jiwa serta perilaku kita. Lalu, berapa judul buku yang sudah kita habiskan di musim pandemi ini?

 

Kita perlu berkaca kepada negara-negara maju dalam menata budaya membaca warga negaranya. Studi tentang ”Most Littered Nation In the World” yang dilakukan Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Minat baca masyarakat Indonesia menurut UNESCO hanya 0,001 persen yang maknanya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 yang rajin membaca. Rerata durasi membaca orang Indonesia hanya 30-59 menit per hari, kurang dari 1 jam. Jauh di bawah standar rekomendasi UNESCO sejumlah 4-6 jam per hari.

 

Belum lagi menghitung jumlah rata-rata buku yang dibaca anak-anak kita. Siswa lulusan SMA di Jerman rata-rata membaca 32 judul buku per tahun, Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Brunei Darussalam 7 buku, Singapura dan Malaysia masing-masing 6 buku. Sedangkan Indonesia 0 buku. Tak heran jika sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail, menyebutnya sebagai ”tragedi nol buku”.

 

Data di atas perlu dibaca secara bijaksana. Tidak sepenuhnya anak yang minim membaca buku disebabkan minat bacanya yang rendah. Terkadang anak tidak bisa membaca karena akses buku yang sulit didapatkan, terutama di daerah terpencil. Bisa juga malas membaca karena kualitas buku-buku kita kurang menarik. Atau bisa jadi kita sedang mengalami cultural shock di era 4.0, sehingga anak-anak kita sudi membuka Whatsapp, Facebook, dan Instagram berjam-jam, tetapi tak kuat membaca text book satu jam saja.

 

Membuka lembar sejarah bangsa tadi, semakin meyakinkan kita bahwa republik ini dibangun oleh orang-orang yang dulunya rajin membaca sehingga otaknya dipenuhi ide cemerlang yang melahirkan visi perjuangan kokoh yang melampui kemampuan zamannya. Karena itu, salah satu butterfly effect yang kita harapkan dari pandemi ini adalah munculnya generasi baru yang sadar membaca. Biarlah untuk sementara waktu pandemi Covid-19 memisahkan kita, tetapi buku dan budaya membaca akan selalu menyatukan kita sebagai bangsa yang bermartabat.

 

Sayup-sayup saya membayangkan Bung Hatta menyenandungkan gubahan lagu ”Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki dengan merdunya. Konon lagu ini wajib dinyanyikan Si Bung di setiap waktu menjelang tidur malamnya di Banda Neira.

 

”Di sana tempat lahir beta / Dibuai dibesarkan bunda / Tempat berlindung dari korona / Tempat asyik utk membaca...."

 

Sekian. Tetap di rumah saja. Patuhi protokol kesehatan, jaga persatuan bangsa dan rajinlah membaca. Merdeka! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar