Korona,
”Pengasingan”, dan Membaca Buku Agus Fitrianto ; Praktisi Pendidikan dan Kesehatan Anak,
Dokter Pendidik Klinik di FK Unsoed/RSMS Purwokerto dan Anggota IDAI Jawa
Tengah |
KOMPAS ,10 Agustus 2021
Awal
tahun 1935, tiga tahun selepas kepulangannya dari kuliah di Belanda, Mohammad
Hatta dan Sutan Sjahrir ditangkap kemudian diasingkan ke Boven Digoel bersama
beberapa aktivis pergerakan nasional lainnya. Aktivitas politik mereka dianggap
radikal dan membahayakan pemerintahan Hindia Belanda. Meski tak langsung
mengangkat senjata, tetapi tulisan, kritik, dan orasi mereka terbukti mampu
membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonial. Kamp
pengasingan Boven Digoel dibangun atas prakarsa Gubernur Jenderal De Graeff
pada 1927 sebagai tempat buangan tahanan politik pemerintah. Lokusnya di
Tanah Merah di tengah hutan Papua bagian selatan yang masih perawan, di tepi
Sungai Digoel yang dipenuhi buaya halli ganas berkeliaran. Belum lagi ancaman
gigitan nyamuk penyebar malaria dengan plasmodium Falcifarumnya yang
mematikan. Tempat ini memang didesain untuk menjadi penjara alam liar yang
akan menjauhkan para tahanan dari peradaban manusia. Pemerintah
Hindia Belanda pun kerap menerima panen kritik dari kalangan aktivis
pergerakan akibat mengasingkan Bung Hatta dang Bung Syaahrir di Digoel.
Bagaimana mungkin seorang lulusan universitas ternama di Belanda kemudian
dibuang di tempat liar yang tak layak? Sebagai jawaban atas kritik itu,
akhirnya Belanda memindahkan Bung Hatta dan Syahrir ke Banda Neira. Banda
dianggap tempat yang cukup nyaman untuk pengasingan. Kotanya indah hingga
dijuluki Eropa kecil. Pemerintah berharap sikap mereka akan melunak. Tapi
jangan harap, meski di tempat pengasingan, mereka tetaplah tokoh pergerakan
yang tak pernah mati gaya. Setiap
malam Minggu, Hatta dan Sjahrir mengunjungi rumah dr Tjipto Mangunkusumo dan
Mr Iwa Kusumasumantri, seniornya yang telah lebih dulu diasingkan Belanda di
sana. Meski diawasi, mereka tetap melangsungkan diskusi, mengajar penduduk
setempat, menulis buku, dan segudang aktivitas lainnya selama enam tahun
lamanya. Sikap mereka terhadap penjajah pun tak pernah berubah. Kemerdekaan
bagi bangsanya adalah harga mati. Ada
satu aktivitas wajib bagi para tokoh tersebut. Mereka mengisi waktu luangnya
dengan membaca buku sebagai asupan intelektual yang bergizi tinggi. Minat dan
daya baca mereka sangatlah kuat. Guna memenuhi kebutuhan membacanya, Bung
Hatta sampai harus membawa 16 peti kayu berisi ratusan koleksi buku yang
beliau kumpulkan semenjak kuliah di Belanda. Saking banyaknya buku yang
dibawa, kawannya sering meledek apakah Hatta hendak membuka toko buku di
Digoel sampai Neira. Membaca
fragmen sejarah pengasingan Bung Hatta dan Syahrir tersebut, setidaknya ada
dua hal besar yang bisa kita teladani. Pertama, konsistensi mereka dalam
berjuang dan kedua, konsistensi mereka dalam membaca. Berjuang adalah usaha
keras untuk mewujudkan ide, sedangkan membaca adalah berjuang keras untuk
mencari dan menyempurnakan ide. Keduanya saling terkait dan menguatkan. ”Penjajah korona” Dalam
situasi pandemi ini, anggaplah kita sedang ”diasingkan” oleh penjajah korona.
Setidaknya kita masih bisa bersyukur, tempat pengasingan kita masih jauh
”lebih mewah” dibandingkan dengan pembuangan di Boven Digoel atau pun Banda
Neira. Sudahkah dalam ”pengasingan” ini kita meluangkan waktu khusus untuk
membaca buku? Bukankah
buku adalah jendela dunia yg akan meniadakan keterasingan itu sendiri. Buku
juga sahabat terbaik yang setia menemani di saat kawanmu tega nyinyir
kepadamu. Lebih jauh lagi Hamka menuturkan bahwa membaca sastra akan
menghaluskan jiwa serta perilaku kita. Lalu, berapa judul buku yang sudah
kita habiskan di musim pandemi ini? Kita
perlu berkaca kepada negara-negara maju dalam menata budaya membaca warga
negaranya. Studi tentang ”Most Littered Nation In the World” yang dilakukan
Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 menempatkan Indonesia di
peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Minat baca masyarakat Indonesia
menurut UNESCO hanya 0,001 persen yang maknanya dari 1.000 orang Indonesia,
hanya 1 yang rajin membaca. Rerata durasi membaca orang Indonesia hanya 30-59
menit per hari, kurang dari 1 jam. Jauh di bawah standar rekomendasi UNESCO
sejumlah 4-6 jam per hari. Belum
lagi menghitung jumlah rata-rata buku yang dibaca anak-anak kita. Siswa
lulusan SMA di Jerman rata-rata membaca 32 judul buku per tahun, Belanda 30
buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Brunei Darussalam 7 buku, Singapura dan
Malaysia masing-masing 6 buku. Sedangkan Indonesia 0 buku. Tak heran jika
sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail, menyebutnya sebagai ”tragedi nol buku”. Data
di atas perlu dibaca secara bijaksana. Tidak sepenuhnya anak yang minim
membaca buku disebabkan minat bacanya yang rendah. Terkadang anak tidak bisa
membaca karena akses buku yang sulit didapatkan, terutama di daerah
terpencil. Bisa juga malas membaca karena kualitas buku-buku kita kurang
menarik. Atau bisa jadi kita sedang mengalami cultural shock di era 4.0,
sehingga anak-anak kita sudi membuka Whatsapp, Facebook, dan Instagram
berjam-jam, tetapi tak kuat membaca text book satu jam saja. Membuka
lembar sejarah bangsa tadi, semakin meyakinkan kita bahwa republik ini
dibangun oleh orang-orang yang dulunya rajin membaca sehingga otaknya
dipenuhi ide cemerlang yang melahirkan visi perjuangan kokoh yang melampui
kemampuan zamannya. Karena itu, salah satu butterfly effect yang kita
harapkan dari pandemi ini adalah munculnya generasi baru yang sadar membaca.
Biarlah untuk sementara waktu pandemi Covid-19 memisahkan kita, tetapi buku
dan budaya membaca akan selalu menyatukan kita sebagai bangsa yang
bermartabat. Sayup-sayup
saya membayangkan Bung Hatta menyenandungkan gubahan lagu ”Indonesia Pusaka”
karya Ismail Marzuki dengan merdunya. Konon lagu ini wajib dinyanyikan Si
Bung di setiap waktu menjelang tidur malamnya di Banda Neira. ”Di sana tempat lahir beta / Dibuai
dibesarkan bunda / Tempat berlindung dari korona / Tempat asyik utk
membaca...." Sekian.
Tetap di rumah saja. Patuhi protokol kesehatan, jaga persatuan bangsa dan
rajinlah membaca. Merdeka! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar