Kamis, 12 Agustus 2021

 

Keluar dari Resesi

Muhamad Chatib Basri ;  Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

KOMPAS ,11 Agustus 2021

 

 

                                                           

”There is too much bad news to justify complacency. There is too much good news to justify despair (ada terlalu banyak berita buruk untuk membuat kita berpuas diri. Ada terlalu banyak kabar baik untuk membuat kita putus asa)”, tulis Donella Meadows, ilmuwan lingkungan hidup dari Amerika Serikat.

 

Meadows adalah salah satu penulis utama dari laporan mengenai lingkungan hidup yang amat berpengaruh: The Limits to Growth. Ia menulis kalimat itu karena ketidaksabarannya melihat perdebatan apakah kita harus pesimistis atau optimistis.

 

Saya jadi teringat esai Meadows ini ketika membaca berita gembira dari Badan Pusat Statistik (BPS) minggu lalu: ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen di triwulan II-2021. Dan Indonesia keluar dari resesi. Ini adalah kabar yang memberikan optimisme. Sebenarnya, tak ada yang terlalu mengejutkan dari berita ini.

 

Saya pernah menulis di harian ini (28/5/2021) bahwa ada dua faktor yang mungkin akan membuat pertumbuhan ekonomi di triwulan II-2021 melesat. Yang pertama, pertumbuhan triwulan II-2021 akan relatif tinggi karena berangkat dari basis yang rendah.

 

Produk domestik bruto (PDB) kita berdasarkan harga konstan (HK) 2010 pada triwulan II-2020 tercatat sebesar Rp 2.589,6 triliun, sedangkan PDB triwulan I-2021 sudah mencapai Rp 2.683,1 triliun. Artinya, untuk memperoleh angka pertumbuhan 6-7 persen pada triwulan II-2021, PDB (HK 2010) hanya perlu mencapai Rp 2.744,9 triliun-Rp 2.770,8 triliun. Cukup dengan pertumbuhan 2,3-3,3 persen dari triwulan I ke triwulan II-2021.

 

Yang kedua, pertumbuhan 2,3-3,3 persen antartriwulan sangat mungkin dicapai karena hampir semua indikator utama (leading indicators) secara konsisten menunjukkan perbaikan ekonomi.

 

Alasannya: meningkatnya mobilitas dan membaiknya ekspor. Seiring dengan meningkatnya mobilitas—akibat menurunnya kasus infeksi periode Februari sampai sebelum Lebaran—belanja mengalami peningkatan. Data Office of Chief Economist Bank Mandiri menunjukkan: indeks belanja sudah kembali, bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan periode pra-Covid-19. Inilah yang menjelaskan mengapa konsumsi rumah tangga mengalami pertumbuhan yang tinggi (5,93 persen). Sejalan dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga, dunia usaha merespons dengan meningkatkan investasi.

 

Dari sisi ekspor, kenaikan harga komoditas kelapa sawit dan batubara, serta pemulihan ekonomi AS dan China, membuat kinerja ekspor kita meningkat (tumbuh 31,78 persen). Indonesia mampu memanfaatkan kesempatan ini. Itulah alasan mengapa pertumbuhan ekonomi mencapai 7,07 persen pada triwulan II-2021. Saya kira, kita perlu memberikan apresiasi: stimulus yang dilakukan pemerintah sudah membawa ekonomi kembali dalam jalur pertumbuhan positif. Indonesia keluar dari resesi.

 

Kesinambungan pemulihan

 

Namun, pertanyaan yang penting: apakah lompatan pertumbuhan ini berkelanjutan? Jujur, saya tak pandai untuk menjawabnya. Ada satu variabel yang tak bisa diprediksi sepenuhnya: pandemi. Sampai kapan pandemi akan terjadi? Apakah akan ada gelombang pandemi berikutnya? Saya tak punya jawabannya. Namun, ada beberapa hal yang mungkin bisa membantu kita melihat ke depan.

 

Pertama, pemulihan ekonomi di sejumlah negara di dunia tampaknya terkait erat dengan kemampuan mengatasi pandemi. Negara-negara yang mampu mengatasi pandemi dengan relatif baik, entah dengan cara menerapkan protokol kesehatan yang ketat, atau dengan percepatan vaksinasi, atau kombinasi keduanya, umumnya memiliki peluang pemulihan ekonomi yang lebih cepat.

 

Studi kuantitatif awal yang saya lakukan menunjukkan: semakin tinggi vaksinasi per 100 penduduk, semakin tinggi pula prospek pertumbuhan ekonomi. Saya menggunakan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) Juli 2021. Senada dengan itu, IMF dalam World Economic Outlook Juli 2021 dengan nada khawatir menulis: pemulihan ekonomi global tak merata.

 

Vaksinasi menjadi faktor penting yang menentukan bercabangnya pemulihan ekonomi ini. Negara-negara yang mampu mengatasi pandemi secara relatif baik mampu mengembalikan aktivitas ekonominya lebih cepat. Ini yang menjelaskan mengapa proyeksi pertumbuhan ekonomi di banyak negara maju—yang memiliki akses vaksin—atau negara yang menerapkan protokol kesehatan dengan baik memiliki pola pemulihan berbentuk huruf V.

 

Sebaliknya, negara-negara yang terbatas aksesnya terhadap vaksin, atau lemah dalam penerapan protokol kesehatan, membutuhkan waktu yang panjang dalam pemulihan ekonominya. Dalam kasus ini, pemulihan ekonomi berbentuk Swoosh shape (seperti logo Nike) atau huruf L atau W. Pesan dari temuan ini sangat jelas: pemulihan ekonomi hanya akan terjadi jika masalah kesehatan diatasi.

 

Kedua, jika kesehatan adalah kuncinya, apakah kinerja ekonomi kita di triwulan II-2021 akan berlanjut? Di sini kita harus berhati-hati. Studi yang dilakukan Mandiri Institute menunjukkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat (atau level 4) mengakibatkan penurunan mobilitas. Akan tetapi, ini memang harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa dan ekonomi.

 

Mandiri Institute juga menunjukkan penerapan PPKM darurat membawa dampak pada penurunan belanja sebesar 17,2 persen sejak mulai diterapkan sampai 18 Juli 2021. Penurunan ini memang lebih rendah dibandingkan dengan penurunan belanja akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan 2 Maret-9 April 2020 lalu (36,2 persen). Implikasinya, kita akan melihat perlambatan pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2021.

 

Saya menduga, kita akan melihat sebuah pola pemulihan ekonomi yang berbentuk huruf W: pertumbuhan ekonomi mencapai kondisi terburuk pada triwulan II-2020, lalu meningkat tajam di triwulan II-2021, dan menurun kembali di triwulan III-2021.

 

Apakah pertumbuhan ekonomi akan meningkat lagi di triwulan IV-2021? Jawabannya akan sangat tergantung sejauh mana mobilitas bisa kembali.

 

Pelonggaran mobilitas akan mendorong perekonomian. Namun, pada saat yang sama, kita belajar—dengan harga yang amat mahal—bahwa pelonggaran mobilitas yang tidak dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan yang baik dan tanpa percepatan vaksinasi berisiko menimbulkan gelombang pandemi baru. Akhirnya, pemerintah harus menerapkan kembali pembatasan mobilitas. Apabila pola ini berlangsung, kita akan mengulangi pola W, sampai tercapainya kekebalan komunitas (herd immunity).

 

Ketiga, di sini dilemanya. Pembatasan mobilitas yang amat ketat bias berpihak kepada kelompok menengah atas. Mengapa? Kelompok ini memiliki tabungan dan akses digital. Bagaimana dengan kelompok menengah bawah? Kelompok ini harus bekerja karena tak memiliki tabungan. Karena itu, pembatasan mobilitas harus dibarengi oleh pemberian kompensasi agar orang bisa tinggal di rumah. Di sinilah pentingnya peran bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan sosial lain.

 

Dalam tulisan saya bersama Ben Olken dan Rema Hanna (Kompas, 2020), kami pernah menyarankan agar perlindungan sosial diperluas, tak hanya untuk kelompok miskin, tetapi untuk mereka yang rentan. Selain perlindungan sosial, fokus pada kesehatan, seperti percepatan vaksin dan 3T (test, tracing, dan treatment) menjadi kunci. Salah satu kendala tes PCR saat ini adalah akses dan harganya masih terlalu mahal. Saya kira harus ada intervensi pemerintah di sini.

 

Keempat, mungkin perlu dipikirkan untuk menambah jumlah penerima manfaat dan nilai BLT dan PKH. Alasannya: tabungan kelompok yang rentan mungkin telah tergerus—atau habis—karena telah digunakan untuk bertahan hidup selama ini. Jika penerima manfaat kita perluas menjadi 160 juta penduduk (60 persen dari total penduduk), bantuan perlu diberikan kepada sekitar 40 juta rumah tangga (asumsinya satu keluarga terdiri atas empat orang: bapak dan ibu serta dua anak).

 

Jika nilai manfaat adalah Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan (lebih tinggi dari yang ada saat ini), dan diberikan selama tiga bulan, dibutuhkan Rp 120 triliun-Rp 180 triliun atau 0,75-1,1 persen dari PDB. Alokasi anggaran kesehatan juga perlu ditambah untuk penyediaan vaksin dan 3T. Data di sejumlah negara menunjukkan: secara umum vaksin cukup efektif untuk meminimalkan dampak berat infeksi Covid-19. Karena itu, percepatan vaksin menjadi kunci.

 

Keterlambatan vaksin—baik karena keterbatasan pasokan, distribusi, maupun keengganan akan vaksin (vaccine hesitancy)—bisa membuat dampak pandemi menjadi sangat buruk. Akibatnya, proses pemulihan ekonomi menjadi semakin berat, apalagi bagi negara yang kemampuan stimulusnya terbatas.

 

Kemampuan fiskal

 

Semua usulan di atas—penambahan bantuan sosial, penambahan alokasi anggaran untuk kesehatan, dan dukungan untuk UMKM—akan membuat defisit anggaran meningkat. Sanggupkah fiskal kita? Untuk itu, realokasi anggaran perlu dilakukan. Fokus saja untuk kesehatan; perlindungan sosial, seperti BLT, PKH, dan bansos lain; serta dukungan untuk UMKM. Anggaran lain dapat menunggu setelah pandemi reda. Prioritas harus jelas.

 

Dari sisi pendapatan, penerimaan pajak harus ditingkatkan. Risalah saya bersama Ben Olken, Mayara Felix dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Rema Hanna dari Harvard di National Bureau of Economic Research (NBER) (2019) menunjukkan: untuk setiap kenaikan satu rupiah peningkatan tarif pajak, wajib pajak akan mendapatkan beban tambahan lagi sebesar 0,51 rupiah. Karena itu, harus dipikirkan jalan lain yang tak membebani wajib pajak, tetapi tetap menaikkan total penerimaan pajak pemerintah.

 

Caranya adalah perbaikan administrasi perpajakan, misalnya seperti apa yang mulai diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini dengan memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke kantor pajak madya (MTO). Mengapa?

 

Kami menduga bahwa keterbatasan sumber daya di kantor pajak reguler membuat mereka cenderung memfokuskan diri pada beberapa wajib pajak dengan potensi pendapatan tinggi. Akibatnya, badan usaha besar akan menjadi sasaran. Ada kemungkinan mereka akan semakin menghindari membayar pajak seiring dengan pertumbuhan skala perusahaannya.

 

Apabila dipindahkan ke MTO, dengan jumlah anggota staf yang lebih banyak, beban pajak tidak hanya ”ditanggung” oleh beberapa perusahaan besar. Akibatnya, mereka tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak. Selain itu, evaluasi lagi efektivitas insentif pajak yang telah diberikan selama ini. Jajaki pajak untuk energi tak terbarukan, termasuk pajak karbon, yang diimbangi akses carbon credit agar pemulihan bisa lebih hijau.

 

Kelima, dengan kondisi seperti ini, tampaknya pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang kapan waktu yang tepat untuk mulai menarik stimulusnya. Saya memahami bahwa defisit anggaran harus kembali berada di bawah 3 persen pada 2023. Namun, ini perlu dilakukan dengan hati-hati, dengan melihat kondisi ekonomi. Apabila pengetatan fiskal dilakukan terlalu cepat dan drastis, kontraksi ekonomi justru akan terjadi. Akibatnya: rasio utang terhadap PDB malah akan meningkat karena pertumbuhan PDB-nya lemah.

 

Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 adalah sebuah pertanda baik. Ia membawa optimisme. Pertanda harapan belum jera dengan negeri ini. Namun, ada baiknya kita mengingat Meadows, ”ada terlalu banyak berita buruk untuk membuat kita berpuas diri. Ada terlalu banyak kabar baik untuk membuat kita putus asa”. Soalnya bukan pesimistis atau optimistis, tetapi bagaimana kita menjaga momentum pertumbuhan itu dengan kebijakan yang tepat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar