Keluar
dari Resesi Muhamad Chatib Basri ; Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia |
KOMPAS ,11 Agustus 2021
”There is too much bad news to justify
complacency. There is too much good news to justify despair
(ada terlalu banyak berita buruk untuk membuat kita berpuas diri. Ada terlalu
banyak kabar baik untuk membuat kita putus asa)”, tulis Donella Meadows,
ilmuwan lingkungan hidup dari Amerika Serikat. Meadows
adalah salah satu penulis utama dari laporan mengenai lingkungan hidup yang
amat berpengaruh: The Limits to Growth. Ia menulis kalimat itu karena
ketidaksabarannya melihat perdebatan apakah kita harus pesimistis atau
optimistis. Saya
jadi teringat esai Meadows ini ketika membaca berita gembira dari Badan Pusat
Statistik (BPS) minggu lalu: ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen di triwulan
II-2021. Dan Indonesia keluar dari resesi. Ini adalah kabar yang memberikan
optimisme. Sebenarnya, tak ada yang terlalu mengejutkan dari berita ini. Saya
pernah menulis di harian ini (28/5/2021) bahwa ada dua faktor yang mungkin
akan membuat pertumbuhan ekonomi di triwulan II-2021 melesat. Yang pertama,
pertumbuhan triwulan II-2021 akan relatif tinggi karena berangkat dari basis
yang rendah. Produk
domestik bruto (PDB) kita berdasarkan harga konstan (HK) 2010 pada triwulan
II-2020 tercatat sebesar Rp 2.589,6 triliun, sedangkan PDB triwulan I-2021
sudah mencapai Rp 2.683,1 triliun. Artinya, untuk memperoleh angka
pertumbuhan 6-7 persen pada triwulan II-2021, PDB (HK 2010) hanya perlu
mencapai Rp 2.744,9 triliun-Rp 2.770,8 triliun. Cukup dengan pertumbuhan
2,3-3,3 persen dari triwulan I ke triwulan II-2021. Yang
kedua, pertumbuhan 2,3-3,3 persen antartriwulan sangat mungkin dicapai karena
hampir semua indikator utama (leading indicators) secara konsisten
menunjukkan perbaikan ekonomi. Alasannya:
meningkatnya mobilitas dan membaiknya ekspor. Seiring dengan meningkatnya
mobilitas—akibat menurunnya kasus infeksi periode Februari sampai sebelum
Lebaran—belanja mengalami peningkatan. Data Office of Chief Economist Bank
Mandiri menunjukkan: indeks belanja sudah kembali, bahkan sudah lebih tinggi
dibandingkan periode pra-Covid-19. Inilah yang menjelaskan mengapa konsumsi
rumah tangga mengalami pertumbuhan yang tinggi (5,93 persen). Sejalan dengan
meningkatnya konsumsi rumah tangga, dunia usaha merespons dengan meningkatkan
investasi. Dari
sisi ekspor, kenaikan harga komoditas kelapa sawit dan batubara, serta
pemulihan ekonomi AS dan China, membuat kinerja ekspor kita meningkat (tumbuh
31,78 persen). Indonesia mampu memanfaatkan kesempatan ini. Itulah alasan
mengapa pertumbuhan ekonomi mencapai 7,07 persen pada triwulan II-2021. Saya
kira, kita perlu memberikan apresiasi: stimulus yang dilakukan pemerintah
sudah membawa ekonomi kembali dalam jalur pertumbuhan positif. Indonesia
keluar dari resesi. Kesinambungan pemulihan Namun,
pertanyaan yang penting: apakah lompatan pertumbuhan ini berkelanjutan?
Jujur, saya tak pandai untuk menjawabnya. Ada satu variabel yang tak bisa
diprediksi sepenuhnya: pandemi. Sampai kapan pandemi akan terjadi? Apakah
akan ada gelombang pandemi berikutnya? Saya tak punya jawabannya. Namun, ada
beberapa hal yang mungkin bisa membantu kita melihat ke depan. Pertama,
pemulihan ekonomi di sejumlah negara di dunia tampaknya terkait erat dengan
kemampuan mengatasi pandemi. Negara-negara yang mampu mengatasi pandemi
dengan relatif baik, entah dengan cara menerapkan protokol kesehatan yang
ketat, atau dengan percepatan vaksinasi, atau kombinasi keduanya, umumnya
memiliki peluang pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Studi
kuantitatif awal yang saya lakukan menunjukkan: semakin tinggi vaksinasi per
100 penduduk, semakin tinggi pula prospek pertumbuhan ekonomi. Saya
menggunakan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) Juli 2021. Senada
dengan itu, IMF dalam World Economic Outlook Juli 2021 dengan nada khawatir
menulis: pemulihan ekonomi global tak merata. Vaksinasi
menjadi faktor penting yang menentukan bercabangnya pemulihan ekonomi ini.
Negara-negara yang mampu mengatasi pandemi secara relatif baik mampu
mengembalikan aktivitas ekonominya lebih cepat. Ini yang menjelaskan mengapa
proyeksi pertumbuhan ekonomi di banyak negara maju—yang memiliki akses
vaksin—atau negara yang menerapkan protokol kesehatan dengan baik memiliki
pola pemulihan berbentuk huruf V. Sebaliknya,
negara-negara yang terbatas aksesnya terhadap vaksin, atau lemah dalam
penerapan protokol kesehatan, membutuhkan waktu yang panjang dalam pemulihan
ekonominya. Dalam kasus ini, pemulihan ekonomi berbentuk Swoosh shape
(seperti logo Nike) atau huruf L atau W. Pesan dari temuan ini sangat jelas:
pemulihan ekonomi hanya akan terjadi jika masalah kesehatan diatasi. Kedua,
jika kesehatan adalah kuncinya, apakah kinerja ekonomi kita di triwulan
II-2021 akan berlanjut? Di sini kita harus berhati-hati. Studi yang dilakukan
Mandiri Institute menunjukkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat
(PPKM) darurat (atau level 4) mengakibatkan penurunan mobilitas. Akan tetapi,
ini memang harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa dan ekonomi. Mandiri
Institute juga menunjukkan penerapan PPKM darurat membawa dampak pada
penurunan belanja sebesar 17,2 persen sejak mulai diterapkan sampai 18 Juli
2021. Penurunan ini memang lebih rendah dibandingkan dengan penurunan belanja
akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan 2 Maret-9
April 2020 lalu (36,2 persen). Implikasinya, kita akan melihat perlambatan
pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2021. Saya
menduga, kita akan melihat sebuah pola pemulihan ekonomi yang berbentuk huruf
W: pertumbuhan ekonomi mencapai kondisi terburuk pada triwulan II-2020, lalu
meningkat tajam di triwulan II-2021, dan menurun kembali di triwulan
III-2021. Apakah
pertumbuhan ekonomi akan meningkat lagi di triwulan IV-2021? Jawabannya akan
sangat tergantung sejauh mana mobilitas bisa kembali. Pelonggaran
mobilitas akan mendorong perekonomian. Namun, pada saat yang sama, kita
belajar—dengan harga yang amat mahal—bahwa pelonggaran mobilitas yang tidak
dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan yang baik dan tanpa percepatan
vaksinasi berisiko menimbulkan gelombang pandemi baru. Akhirnya, pemerintah
harus menerapkan kembali pembatasan mobilitas. Apabila pola ini berlangsung,
kita akan mengulangi pola W, sampai tercapainya kekebalan komunitas (herd
immunity). Ketiga,
di sini dilemanya. Pembatasan mobilitas yang amat ketat bias berpihak kepada
kelompok menengah atas. Mengapa? Kelompok ini memiliki tabungan dan akses
digital. Bagaimana dengan kelompok menengah bawah? Kelompok ini harus bekerja
karena tak memiliki tabungan. Karena itu, pembatasan mobilitas harus
dibarengi oleh pemberian kompensasi agar orang bisa tinggal di rumah. Di
sinilah pentingnya peran bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga
Harapan (PKH), dan bantuan sosial lain. Dalam
tulisan saya bersama Ben Olken dan Rema Hanna (Kompas, 2020), kami pernah
menyarankan agar perlindungan sosial diperluas, tak hanya untuk kelompok
miskin, tetapi untuk mereka yang rentan. Selain perlindungan sosial, fokus
pada kesehatan, seperti percepatan vaksin dan 3T (test, tracing, dan
treatment) menjadi kunci. Salah satu kendala tes PCR saat ini adalah akses
dan harganya masih terlalu mahal. Saya kira harus ada intervensi pemerintah
di sini. Keempat,
mungkin perlu dipikirkan untuk menambah jumlah penerima manfaat dan nilai BLT
dan PKH. Alasannya: tabungan kelompok yang rentan mungkin telah tergerus—atau
habis—karena telah digunakan untuk bertahan hidup selama ini. Jika penerima
manfaat kita perluas menjadi 160 juta penduduk (60 persen dari total
penduduk), bantuan perlu diberikan kepada sekitar 40 juta rumah tangga
(asumsinya satu keluarga terdiri atas empat orang: bapak dan ibu serta dua
anak). Jika
nilai manfaat adalah Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan (lebih tinggi dari yang
ada saat ini), dan diberikan selama tiga bulan, dibutuhkan Rp 120 triliun-Rp
180 triliun atau 0,75-1,1 persen dari PDB. Alokasi anggaran kesehatan juga
perlu ditambah untuk penyediaan vaksin dan 3T. Data di sejumlah negara menunjukkan:
secara umum vaksin cukup efektif untuk meminimalkan dampak berat infeksi
Covid-19. Karena itu, percepatan vaksin menjadi kunci. Keterlambatan
vaksin—baik karena keterbatasan pasokan, distribusi, maupun keengganan akan
vaksin (vaccine hesitancy)—bisa membuat dampak pandemi menjadi sangat buruk.
Akibatnya, proses pemulihan ekonomi menjadi semakin berat, apalagi bagi
negara yang kemampuan stimulusnya terbatas. Kemampuan fiskal Semua
usulan di atas—penambahan bantuan sosial, penambahan alokasi anggaran untuk
kesehatan, dan dukungan untuk UMKM—akan membuat defisit anggaran meningkat.
Sanggupkah fiskal kita? Untuk itu, realokasi anggaran perlu dilakukan. Fokus
saja untuk kesehatan; perlindungan sosial, seperti BLT, PKH, dan bansos lain;
serta dukungan untuk UMKM. Anggaran lain dapat menunggu setelah pandemi reda.
Prioritas harus jelas. Dari
sisi pendapatan, penerimaan pajak harus ditingkatkan. Risalah saya bersama
Ben Olken, Mayara Felix dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan
Rema Hanna dari Harvard di National Bureau of Economic Research (NBER) (2019)
menunjukkan: untuk setiap kenaikan satu rupiah peningkatan tarif pajak, wajib
pajak akan mendapatkan beban tambahan lagi sebesar 0,51 rupiah. Karena itu,
harus dipikirkan jalan lain yang tak membebani wajib pajak, tetapi tetap
menaikkan total penerimaan pajak pemerintah. Caranya
adalah perbaikan administrasi perpajakan, misalnya seperti apa yang mulai
diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini dengan memindahkan
pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke kantor pajak madya (MTO).
Mengapa? Kami
menduga bahwa keterbatasan sumber daya di kantor pajak reguler membuat mereka
cenderung memfokuskan diri pada beberapa wajib pajak dengan potensi
pendapatan tinggi. Akibatnya, badan usaha besar akan menjadi sasaran. Ada
kemungkinan mereka akan semakin menghindari membayar pajak seiring dengan
pertumbuhan skala perusahaannya. Apabila
dipindahkan ke MTO, dengan jumlah anggota staf yang lebih banyak, beban pajak
tidak hanya ”ditanggung” oleh beberapa perusahaan besar. Akibatnya, mereka
tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak. Selain itu, evaluasi lagi
efektivitas insentif pajak yang telah diberikan selama ini. Jajaki pajak
untuk energi tak terbarukan, termasuk pajak karbon, yang diimbangi akses
carbon credit agar pemulihan bisa lebih hijau. Kelima,
dengan kondisi seperti ini, tampaknya pemerintah perlu mempertimbangkan
dengan matang kapan waktu yang tepat untuk mulai menarik stimulusnya. Saya
memahami bahwa defisit anggaran harus kembali berada di bawah 3 persen pada
2023. Namun, ini perlu dilakukan dengan hati-hati, dengan melihat kondisi
ekonomi. Apabila pengetatan fiskal dilakukan terlalu cepat dan drastis,
kontraksi ekonomi justru akan terjadi. Akibatnya: rasio utang terhadap PDB
malah akan meningkat karena pertumbuhan PDB-nya lemah. Pertumbuhan
ekonomi triwulan II-2021 adalah sebuah pertanda baik. Ia membawa optimisme.
Pertanda harapan belum jera dengan negeri ini. Namun, ada baiknya kita
mengingat Meadows, ”ada terlalu banyak berita buruk untuk membuat kita
berpuas diri. Ada terlalu banyak kabar baik untuk membuat kita putus asa”.
Soalnya bukan pesimistis atau optimistis, tetapi bagaimana kita menjaga
momentum pertumbuhan itu dengan kebijakan yang tepat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar