Rabu, 18 Agustus 2021

 

Kembali Berharap

Darmawati MR ;  Penulis dan Peneliti pada Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, Kemdikbudristek

KOMPAS, 15 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ada satu kata yang diperbincangkan warganet yang relevan dengan keadaan hari ini, respair. Kata itu berarti ‘harapan baru’; ‘pulih dari keputusasaan’. Kata itu sudah lama lenyap dari kamus Oxford English Dictionary, terakhir tercatat pada tahun 1425. Sebuah artikel di The Economist, bertajuk Why Words Die, edisi 4 Maret 2017 mencatat kematian kata respair, bersama kata suppeditate, mee-maw, to wend, papaw, roetgenogram, dan radiogram.

 

Kata respairs kembali ditawarkan untuk merespons kekalangkabutan pemerintah dan masyarakat terkait penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia. Selain peraihan medali emas oleh pasangan ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayudi pada Olimpiade Tokyo 2 Agustus lalu, sepertinya tak ada lagi hal lain yang menggembirakan akhir-akhir ini. Semua peristiwa yang disajikan di depan mata mendesak kita berada pada puncak kekecewaan. Setiap orang kini berdiri di ambang batas kesabaran masing-masing. Kejadian kecil akan mudah meletupkan amarah, membuat kita mudah menyemburkan cacian kepada siapa saja.

 

Di Twitter, kita mudah menjumpai banyak cuitan semacam itu, cuitan bernada keputusasan, kecemasan akut, juga kecurigaan. Mencaci negara dan pejabat pemerintah yang dianggap bertanggung jawab terhadap semua ini seperti tak berguna lagi, seumpama membentur tembok tebal tak bertelinga. Kita tak tahu harus marah kepada siapa. Kekacauan seperti tak terhindarkan lagi. Rumah sakit terus kelebihan pasien, lahan pemakaman semakin langka, sementara kurva statistik Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Harus berapa lagi orang yang mati?

 

Saya tiba-tiba mengingat bencana asap setiap tahun yang menimpa warga di Kalimantan Tengah saat saya bertugas di sana. Rasanya sama. Kemuakan yang sama. Keputusasaan yang serupa. Namun, di ujung keputusasaan itu, tebersit sedikit sekali harapan, keadaan akan segera membaik, lalu semua kembali normal seperti sediakala.

 

Respair tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Dalam tesaurus pun tidak ada kata yang mendekati makna kata itu. Ada kata angan-angan, cita-cita, dambaan, hasrat, impian, dan kehendak. Tidak ada konsep yang tepat untuk menggambarkan bagaimana rasanya punya harapan baru setelah putus asa berkepanjangan.

 

Barangkali memang dari dulu kita adalah bangsa yang selalu berpasrah, menyerahkan nasib pada kata “apa boleh buat?”. Konsep never give up atau don’t give up hope (jangan menyerah) tidak tertanam dalam kepala orang Indonesia. Kita telanjur dibesarkan dalam budaya yang nrimo, nggak neko-neko, apa yang terjadi sudah digariskan Tuhan, jangan melawan arus, dsb.

 

Bayangan bahwa pada akhirnya kita terpaksa bersahabat dengan virus korona serta variannya dan menyerahkan segalanya pada daya tahan tubuh rasanya mengerikan. Membaca cuitan-cuitan keputusaan berselang-seling dengan kabar duka yang menyeruak di percakapan grup WhatsApp setiap hari juga tak kalah mengerikan. Wabah dan kelaparan menjadi dua hal yang akrab. Kembali berharap adalah sebuah pekerjaan sia-sia.

 

Mahkluk kuat

 

Akan tetapi, konon, manusia adalah mahluk yang kuat. Manusia selalu bisa bangkit dari kekalahan dan kondisi buruk sekalipun. Tetapi, itu tentu saja bisa terjadi jika saja spesies manusia masih bertahan setelah hantaman wabah ini, sebagaimana pepatah sok bijak berkata, badai pasti berlalu.

 

Kematian satu kata adalah hal wajar, apalagi jika kata tersebut memiliki sinonim, dan sinonimnya lebih disukai pengguna bahasa itu. Satu kata punah dari jajaran kosakata sebuah bahasa, akan diganti dengan puluhan kata baru. Bagaimana pun, bahasa adalah persoalan selera. Kata sangkil dan mangkus sebagai sinonim efektif dan efisien adalah salah satu contoh yang tepat mengenai prinsip mana suka itu.

 

Dalam KBBI V, jika Anda memperhatikan, ada lema yang didahului dengan kata ark. pada keterangan arti katanya. Singkatan itu merujuk pada kata-kata arkais, kata-kata yang tidak lagi lazim digunakan pada zaman sekarang. Ambil contoh kata: jongos. Selain jongos, generasi milenial barangkali takkan mengenal kata pagebluk, sebelum Covid-19 melanda Indonesia.

 

Respair diperkirakan akan menjadi Kata Tahun Ini oleh warganet. Barangkali benar, setiap orang perlu pulih dari keputusasaan. Belajar percaya lagi pada kekuatan harapan. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/15/kembali-berharap

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar