Kamis, 12 Agustus 2021

 

Bakul dan Buruh di Masa Pagebluk

Heri Priyatmoko ;  Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

KOMPAS ,11 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ketika memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 4 pada 25 Juli sampai 2 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo memberikan sedikit kelonggaran bagi pedagang makanan. Konsumen bisa bersantap di tempat lebih kurang 20 menit, yang semula memesan untuk dibawa pulang. Dengan kelonggaran ini pulalah, penjaja angkringan yang jadi salah satu ciri khas Kota Solo, ”Kota Bengawan”, boleh mengulum senyum.

 

Kini, yang kiranya berteriak atawa mbengok adalah pedagang non-kebutuhan pokok. Ambillah misal, Pasar Klewer, yang tak jauh dari ”dhampar kencana” Balai Kota Surakarta, ruang Pak Jokowi bermula meniti karier politik. Ada 3.000 bakul pasar sandang menjerit, belum ditambah sejumlah karyawan di kios maupun di pabrik.

 

Relasi antara majikan dan buruh kadung erat laksana gigi dan gusi. Hendak merumahkan para pekerja gara-gara hantaman pegebluk, jelas si bos ditikam kepedihan. Namun, jika tetap mempekerjakannya, kantong bertambah jebol, sebab pemasukan tak imbang dengan pengeluaran.

 

Tempo doeloe, saat tanah Jawa diguncang wabah pes dan krisis ekonomi (malaise), banyak juragan bersiasat dengan mengurangi jumlah produksi. Misinya, semua pekerja tidak dirumahkan dan juga masih bisa menghasilkan barang secara terbatas. Di Kota Bengawan dikenal istilah mbok mase, yakni juragan perempuan yang jago mengelola industri batik.

 

Para juragan butuh tenaga untuk ngecap, babar, celep, beret, kerok, pengubeng, kemplong, menjemur, pengangkutan, hingga distribusi. Sementara itu, para pencari kerja memilih menjadi buruh batik untuk sumber penghidupan baru karena alam pertanian kurang menjanjikan dan bersifat musiman.

 

Tergambar dalam novel Canting (1986), perlakuan majikan dengan buruh tidak semena-mena. Buruh yang bekerja di perusahaan batik senang dengan kebijakan bosnya. Misalnya, memberi bantuan pengobatan, tunjangan hari Lebaran, serta longgarnya hubungan kerja.

 

Buruh dianggap saudara sehingga tidak ada penindasan yang berarti. Juragan tidak memosisikan buruh seperti budak, atau bangsawan dengan hambanya. Melalui sikap apik itu, barisan buruh malah menempatkan bos laksana orangtua kandung. Hubungan kerja ini tidak kaku, tetapi luwes, diliputi rasa kekeluargaan yang mendalam.

 

Kondisi demikian justru menerbitkan gairah kerja yang meluap dan prestasi yang tinggi. Muaranya, perusahaan mereka maju pesat melebihi perusahaan lainnya. Setelah wilayah kekuasaan kerajaan diamuk pandemi pes dan flu Spanyol dilanjutkan krisis meleset, pejabat kolonial Belanda pada tahun 1930-an mencatat, produktivitas perusahaan batik di Laweyan melonjak.

 

Makin banyaknya pesanan batik mendorong tumbuhnya kelompok pemborong batik. Mereka tetap menginduk pada juragan yang memegang lisensi tunggal dari induk perusahaan. Mereka diikat dengan hubungan patron-client yang terjalin dari faktor sejarah.

 

Banyak di antara pengusaha jasa ini muncul melalui proses pengabdian dan kepercayaan kerja kepada majikan pemilik perusahaan batik. Contohnya, Bapak Kasbili Wongsomulyono menceritakan pengalaman mengelola perusahaan batik milik keluarganya. Awalnya, kedua orangtuanya mengabdi kepada bos batik Laweyan sebagai pemasok tunggal bahan bakar kayu dan arang. Upaya pengabdian ini dirintis lebih dari empat dasawarsa (Soedarmono, 2006).

 

Kepercayaan

 

Pengalaman pengabdian sebagai buruh batik ini diturunkan kepada anaknya, Kasbili, hingga memperoleh kepercayaan sebagai buruh ahli ngecap. Peningkatan kerja dari pemasok bahan bakar sampai memperoleh keahlian khusus itu mengikat kehadirannya tinggal di rumah majikan.

 

Setelah prigel (piawai) membatik dan gemuk kepercayaan yang dberikan majikan, diperoleh kesempatan mengembangkan usahanya sebagai prembe (pemborong batik) dengan modal pinjaman dari juragan. Munculnya perusahaan prembe milik keluarga Kasbili memperlihatkan bentuk ikatan kerja yang harmonis seperti bapak dengan anak.

 

Kepercayaan penuh diberikan majikan kepada tukang sering kali tak terbatas. Sampai perkara meminjam modal untuk mendirikan perusahaan kecil diberikan oleh juragan dengan pengembalian secara cicilan. Penambahan jumlah perusahaan dalam skala besar, menengah, dan kecil bukan dianggap ancaman, melainkan varian tumbuhnya jiwa berwiraswasta yang semarak.

 

Inilah potret berkecambahnya saudagar baru yang lahir dari lingkungan para pekerja buruh lantaran memperoleh kepercayaan dari majikannya. Kelonggaran majikan dan lekatnya hubungan batin mendorong tumbuhnya jiwa entrepreneurship (kewirausahaan) di lingkungan pebatik. Tak pelak, aktivitas dagang dan solidaritas penekun usaha perbatikan menguat. Ditambahi pula faktor kesadaran politik yang tersekam dalam tubuh organisasi lokal, misalnya Sarekat Dagang Islam (SDI).

 

Menyinggung benih spirit nasionalisme dan sikap antikolonial di Indonesia, kita tak dapat melupakan tokoh pergerakan H Samanhudi yang berkiprah di jalur dagang. Kecakapan, kegigihan, keuletan, serta memahami jaringan bisnis batik yang sudah terbentuk kala itu menyebabkan nama Samanhudi lekas dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses.

 

Sekeping bukti keberhasilan, yakni perusahaannya mampu menampung ratusan pegawai dan mereguk laba rata-rata f 800 (gulden Hindia Belanda) sehari. Angka itu mengalahkan gaji bupati f 1.000 saban sebulan tempo itu. Orang bertandang ke rumah majikan batik meminta uluran tangan, bisa dipastikan pulang tanpa tangan hampa, kecuali bila si tamu tidak berjumpa dengan empunya rumah. Bahkan, tamu biasa memperoleh lebih ketimbang yang dimintanya.

 

Demikianlah, sepotong cerita yang semestinya ikut diangkat dalam pagebluk, khususnya dampak PPKM yang berkepanjangan. Bagaimanapun, ketahanan ekonomi nasional selama ini disokong pula oleh industri-industri lokal, bukan hanya bidang sandang. Mereka juga teruji oleh waktu telah menciptakan kemandirian ekonomi dan tidak kalah dengan barang impor.

 

Pemerintah semestinya membuka mata hati, gesit menggelontorkan bantuan sosial bagi pelaku industri lokal ini. Tentu disertai pengawasan ketat sebagai upaya memberantas korupsi bantuan sosial. Pagebluk gelombang kedua ini telah memakan banyak korban dari nyawa hingga materi. Apakah negara masih lamban alias berpikir seribu kali untuk ”ngulur nyawa” mereka? Teringat dengan data yang disajikan Kompas tentang serapan dana Covid-19 untuk Jawa Tengah sangat kecil sekali dibandingkan provinsi lainnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar