Jokowi
dan Pepres Danau Prioritas Jannus TH Siahaan ; Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik |
TEMPO.CO, 13
Agustus 2021
Presiden Joko
Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2021
tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Selain menegaskan 15 danau
yang menjadi prioritas penyelamatan oleh pemerintah, perpres tersebut juga
mengatur pembentukan tim penyelamatan danau prioritas nasional. Dalam Pasal 8
disebutkan, tim penyelamatan danau prioritas nasional terdiri atas dewan
pengarah, tim penyelamatan danau prioritas nasional tingkat pusat dan tim
penyelamatan danau prioritas nasional tingkat daerah. Dalam Perpres
tersebut, Jokowi menetapkan kriteria danau yang masuk dalam daftar prioritas
nasional. Setidaknya, terdapat tiga kriteria mengenai danau prioritas
nasional. Kriteria pertama, danau mengalami tekanan dan degradasi berupa
kerusakan daerah tangkapan air danau, kerusakan sempadan danau, kerusakan badan
air danau, pengurangan volume tampungan danau, pengurangan luas danau,
peningkatan sedimentasi, penurunan kualitas air, dan penurunan keanekaragaman
hayati yang mengakibatkan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial budaya bagi
masyarakat. Kriteria kedua,
danau memiliki nilai strategis ekonomi, ekologi, sosial, budaya, dan ilmu
pengetahuan. Serta kriteria ketiga yakni, tercantum dalam salah satu dokumen
perencanaan pembangunan, rencana induk, dan/atau bentuk dokumen teknis
lainnya di sektor air dan/atau danau. Perpres juga
menjelaskan, penyelamatan danau prioritas nasional merujuk pada arah
kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan ekosistem danau
prioritas nasional; memulihkan fungsi dan memelihara ekosistem danau
prioritas nasional; serta memanfaatkan danau prioritas nasional dengan tetap
memperhatikan kondisi dan fungsinya dapat berkelanjutan. Idealisme di
balik Perpres No 60 tersebut perlu dihargai. Tapi pemerintah pun harus sangat
peka pada konteks ekonomi dan lokalitas, karena kebijakan yang baik tidak
saja terletak pada niat dibaliknya, tapi juga harus pada kepekaan terhadap
berbagai kontekstualitas yang ada. Sebagaimana diketahui, dua dekade
belakangan banyak danau yang menjadi penopang ekonomi daerah di mana danau
tersebut berada. Sebut saja misalnya Danau Toba dan Danau Maninjau. Kedua
danau ini memiliki masalah yang hampir sama ketika dihadapkan dengan isu
lingkungan, yakni Keramba Jaring Apung (KJA) Pada bagian
inilah Perpres No 60 harus benar-benar sensitif dan arif. Intensi dan spirit
berkelanjutan harus diterapkan secara kontekstual dan gradual. Jika tidak,
penerapan Perpres akan berbenturan dengan pertama, roda ekonomi yang sedang
berjalan, mengingat kontribusi ekonomi KJA yang sangat besar pada
perekonomian daerah. Kedua, dengan nasib ribuan tenaga kerja yang terkait
dengan aktifitas KJA. Dan ketiga, terutama di Toba, produksi ikan Tilapia di
Toba adalah komoditas ekspor premium ke Eropa dan Amerika yang sumbernya
konon satu-satunya hanya di Danau Toba. Kontribusi
ekonomi KJA di Danau Toba terbilang sangat besar, sekitar 6-7 triliun per
tahun. Angka ini adalah angka yang sangat besar bagi daerah sekelas Kabupaten
Tobasa, misalnya. Jika dilakukan moratorium mendadak, misalnya, maka imbasnya
akan berantai ke banyak persoalan lain. Daerah akan kehilangan beberapa
sumber pendapatan daerah di satu sisi dan kehilangan kontribusi substansial
atas PDRB daerah di sisi lain, yang justru saat ini sebenarnya sangat
dibutuhkan daerah. Lalu persoalan
tenaga kerja. Sudah menjadi pemahaman publik bahwa usaha perikanan KJA
di Danau Toba adalah sektor usaha
padat karya. Lebih dari 14000 tenaga kerja lokal terlibat di dalamnya.
Artinya, sampai hari ini, 14000 tenaga kerja di Toba menggantungkan kehidupan
mereka beserta keluarga di sektor ini. Sementara, peralihan yang diharapkan
pemerintah ke sektor pariwisata, tidak bisa serta merta menggantikan
pekerjaan yang hilang, karena membutuhkan waktu yang sangat lama. Pemerintah
perlu menjamin lonjakan tajam jumlah pengunjung wisata di Toba, memastikan
amenitas dan segala macam infrastrukturnya tersedia, dan juga memastikan
terjadinya peralihan skill masyarakat setempat, terutama yang menggantungkan
hidup pada usaha KJA, ke skill sektor pariwisata. Boleh jadi hanya sebagian
kecil yang akan mampu beradaptasi, karena sektor pariwisata membutuhkan skill
dasar dan softskill yang harus dimulai dari usia yang cukup muda. Dengan kata
lain, kehilangan pekerjaaan secara dadakan bagi 14000 tenaga kerja KJA akan
menjadi bencana bagi daerah dan masyarakat daerah di Kabupaten Toba dan
Kabupaten Samosir. Jika itu yang
justru terjadi, maka intensi dan niat baik di balik Perpres No 60 telah jauh
melenceng dari semangat perundang-undangan yang ada, yang semestinya
menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan sektoral. Memprioritaskan
pariwisata dan lingkungan adalah kebijakan yang masuk akal dan beriringan
dengan semangat zaman. Tapi menjaga daya tahan ekonomi dan penghidupan
masyarakat yang terkait dengan KJA secara fundamental jauh lebih utama. Merujuk pada
fakta di sejumlah lokasi, lingkungan akan sulit untuk dijaga jika kehidupan
ekonomi masyarakat terpuruk bahkan berantakan. Justru kondisi lingkungan
akan sangat berpeluang menjadi semakin
buruk ketika berhadapan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang juga buruk, karena
masyarakat akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup, termasuk dengan
jalan merusak lingkungan, seperti melakukan ekploitasi berlebihan hutan,
ikan, galian C, dan lainnya. Bahkan kondisi ekonomi yang buruk juga menjadi
salah satu sumber masalah kerusakan lingkungan ( bencana sampah) dan patologi sosial ( kriminalitas, narkoba, prostitusi dan
miras). Nyaris sulit mengharapkan adanya tatanan sosial ekonomi yang stabil
jika kondisi ekonomi masyarakat buruk. Jadi, perintah
Perpres No 60 yang mengharuskan pengusaha besar KJA di Danau Toba untuk
mendadak mengerem produksi lebih dari setengah, akan menjadi pukulan telak
bagi perekonomian daerah dan tenaga kerja daerah. Pemerintah benar-benar
harus mengkaji ulang secara teliti dan komprehensif persoalan yang ada di
lapangan dan menghadirkan solusi yang tepat untuk menanganinya, agar
penerapan Perpres tidak berbalik arah yang justru menimbulkan persoalan baru
atau bahkan semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi di level lokal. Dan terakhir
soal komoditas ekspor andalan, baik daerah maupun nasional. Sebagian besar
hasil ikan Tilapia dari Danau Toba menjadi komoditas ekspor Indonesia ke
Amerika dan Eropa. Boleh jadi jumlahnya secara nominal jauh dibanding
komoditas pertanian-perkebunan (CPO), tapi ekspor ikan Tilapia adalah salah
satu pahlawan devisa negara yang saat ini justru sangat dibutuhkan untuk
memperkuat daya tahan perekonomian nasional. Tak diragukan lagi, gonjang
ganjing mata uang dalam negeri sangat terkait dengan dinamika devisa negara.
Semakin banyak devisa negara yang kembali ke luar negeri, baik untuk impor
maupun untuk membayar cicilan utang, maka akan semakin menekan mata uang
nasional kita. Di sini
menjadi jelas bahwa kebijakan pemerintah perlu pula diadaptasikan dengan
kepentingan nasional yang lebih besar. Di saat ekspor nasional sulit untuk
ditingkatkan yang berakibat pada kecilnya jumlah devisa masuk dibanding yang
keluar, maka mengurangi atau bahkan menghentikan sumber devisa dari komoditas
ekspor ikan Tilapia akan menjadi kebijakan yang kontradiktif dan berlawanan
dengan kepentingan nasional. Bukankah ekspor ikan Tilapia adalah penghasil
dollar bagi Indonesia? Oleh karena
itu perlu disiasati dan disikapi dengan baik dan bijaksana implementasi
Perpres No 60 tersebut dengan semangat penataan dan pengelolaan ke arah yang
lebih baik, bukan justru dengan semangat “menghabisi.” Memberi ruang
sebesar-besarnya kepada sektor pariwisata dengan tetap menjaga nafas
perekonomian daerah dan mengutamakan sumber penghidupan masyarakat setempat
adalah visi yang benar-benar perlu diterapkan di dalam implementasi Perpres
tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar