Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Jokowi dan Pepres Danau Prioritas

Jannus TH Siahaan ;  Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik

TEMPO.CO, 13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Selain menegaskan 15 danau yang menjadi prioritas penyelamatan oleh pemerintah, perpres tersebut juga mengatur pembentukan tim penyelamatan danau prioritas nasional. Dalam Pasal 8 disebutkan, tim penyelamatan danau prioritas nasional terdiri atas dewan pengarah, tim penyelamatan danau prioritas nasional tingkat pusat dan tim penyelamatan danau prioritas nasional tingkat daerah.

 

Dalam Perpres tersebut, Jokowi menetapkan kriteria danau yang masuk dalam daftar prioritas nasional. Setidaknya, terdapat tiga kriteria mengenai danau prioritas nasional. Kriteria pertama, danau mengalami tekanan dan degradasi berupa kerusakan daerah tangkapan air danau, kerusakan sempadan danau, kerusakan badan air danau, pengurangan volume tampungan danau, pengurangan luas danau, peningkatan sedimentasi, penurunan kualitas air, dan penurunan keanekaragaman hayati yang mengakibatkan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial budaya bagi masyarakat.

 

Kriteria kedua, danau memiliki nilai strategis ekonomi, ekologi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan. Serta kriteria ketiga yakni, tercantum dalam salah satu dokumen perencanaan pembangunan, rencana induk, dan/atau bentuk dokumen teknis lainnya di sektor air dan/atau danau.

 

Perpres juga menjelaskan, penyelamatan danau prioritas nasional merujuk pada arah kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan ekosistem danau prioritas nasional; memulihkan fungsi dan memelihara ekosistem danau prioritas nasional; serta memanfaatkan danau prioritas nasional dengan tetap memperhatikan kondisi dan fungsinya dapat berkelanjutan.

 

Idealisme di balik Perpres No 60 tersebut perlu dihargai. Tapi pemerintah pun harus sangat peka pada konteks ekonomi dan lokalitas, karena kebijakan yang baik tidak saja terletak pada niat dibaliknya, tapi juga harus pada kepekaan terhadap berbagai kontekstualitas yang ada. Sebagaimana diketahui, dua dekade belakangan banyak danau yang menjadi penopang ekonomi daerah di mana danau tersebut berada. Sebut saja misalnya Danau Toba dan Danau Maninjau. Kedua danau ini memiliki masalah yang hampir sama ketika dihadapkan dengan isu lingkungan, yakni Keramba Jaring Apung (KJA)

 

Pada bagian inilah Perpres No 60 harus benar-benar sensitif dan arif. Intensi dan spirit berkelanjutan harus diterapkan secara kontekstual dan gradual. Jika tidak, penerapan Perpres akan berbenturan dengan pertama, roda ekonomi yang sedang berjalan, mengingat kontribusi ekonomi KJA yang sangat besar pada perekonomian daerah. Kedua, dengan nasib ribuan tenaga kerja yang terkait dengan aktifitas KJA. Dan ketiga, terutama di Toba, produksi ikan Tilapia di Toba adalah komoditas ekspor premium ke Eropa dan Amerika yang sumbernya konon satu-satunya hanya di Danau Toba.

 

Kontribusi ekonomi KJA di Danau Toba terbilang sangat besar, sekitar 6-7 triliun per tahun. Angka ini adalah angka yang sangat besar bagi daerah sekelas Kabupaten Tobasa, misalnya. Jika dilakukan moratorium mendadak, misalnya, maka imbasnya akan berantai ke banyak persoalan lain. Daerah akan kehilangan beberapa sumber pendapatan daerah di satu sisi dan kehilangan kontribusi substansial atas PDRB daerah di sisi lain, yang justru saat ini sebenarnya sangat dibutuhkan daerah.

 

Lalu persoalan tenaga kerja. Sudah menjadi pemahaman publik bahwa usaha perikanan KJA di  Danau Toba adalah sektor usaha padat karya. Lebih dari 14000 tenaga kerja lokal terlibat di dalamnya. Artinya, sampai hari ini, 14000 tenaga kerja di Toba menggantungkan kehidupan mereka beserta keluarga di sektor ini. Sementara, peralihan yang diharapkan pemerintah ke sektor pariwisata, tidak bisa serta merta menggantikan pekerjaan yang hilang, karena membutuhkan waktu yang sangat lama.

 

Pemerintah perlu menjamin lonjakan tajam jumlah pengunjung wisata di Toba, memastikan amenitas dan segala macam infrastrukturnya tersedia, dan juga memastikan terjadinya peralihan skill masyarakat setempat, terutama yang menggantungkan hidup pada usaha KJA, ke skill sektor pariwisata. Boleh jadi hanya sebagian kecil yang akan mampu beradaptasi, karena sektor pariwisata membutuhkan skill dasar dan softskill yang harus dimulai dari usia yang cukup muda. Dengan kata lain, kehilangan pekerjaaan secara dadakan bagi 14000 tenaga kerja KJA akan menjadi bencana bagi daerah dan masyarakat daerah di Kabupaten Toba dan Kabupaten Samosir.

 

Jika itu yang justru terjadi, maka intensi dan niat baik di balik Perpres No 60 telah jauh melenceng dari semangat perundang-undangan yang ada, yang semestinya menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan sektoral. Memprioritaskan pariwisata dan lingkungan adalah kebijakan yang masuk akal dan beriringan dengan semangat zaman. Tapi menjaga daya tahan ekonomi dan penghidupan masyarakat yang terkait dengan KJA secara fundamental jauh lebih utama.

 

Merujuk pada fakta di sejumlah lokasi, lingkungan akan sulit untuk dijaga jika kehidupan ekonomi masyarakat terpuruk bahkan berantakan. Justru kondisi lingkungan akan  sangat berpeluang menjadi semakin buruk ketika berhadapan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang juga buruk, karena masyarakat akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup, termasuk dengan jalan merusak lingkungan, seperti melakukan ekploitasi berlebihan hutan, ikan, galian C, dan lainnya. Bahkan kondisi ekonomi yang buruk juga menjadi salah satu sumber masalah kerusakan lingkungan ( bencana sampah)  dan patologi sosial (  kriminalitas, narkoba, prostitusi dan miras). Nyaris sulit mengharapkan adanya tatanan sosial ekonomi yang stabil jika kondisi ekonomi masyarakat buruk.

Jadi, perintah Perpres No 60 yang mengharuskan pengusaha besar KJA di Danau Toba untuk mendadak mengerem produksi lebih dari setengah, akan menjadi pukulan telak bagi perekonomian daerah dan tenaga kerja daerah. Pemerintah benar-benar harus mengkaji ulang secara teliti dan komprehensif persoalan yang ada di lapangan dan menghadirkan solusi yang tepat untuk menanganinya, agar penerapan Perpres tidak berbalik arah yang justru menimbulkan persoalan baru atau bahkan semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi di level lokal.

 

Dan terakhir soal komoditas ekspor andalan, baik daerah maupun nasional. Sebagian besar hasil ikan Tilapia dari Danau Toba menjadi komoditas ekspor Indonesia ke Amerika dan Eropa. Boleh jadi jumlahnya secara nominal jauh dibanding komoditas pertanian-perkebunan (CPO), tapi ekspor ikan Tilapia adalah salah satu pahlawan devisa negara yang saat ini justru sangat dibutuhkan untuk memperkuat daya tahan perekonomian nasional. Tak diragukan lagi, gonjang ganjing mata uang dalam negeri sangat terkait dengan dinamika devisa negara. Semakin banyak devisa negara yang kembali ke luar negeri, baik untuk impor maupun untuk membayar cicilan utang, maka akan semakin menekan mata uang nasional kita.

 

Di sini menjadi jelas bahwa kebijakan pemerintah perlu pula diadaptasikan dengan kepentingan nasional yang lebih besar. Di saat ekspor nasional sulit untuk ditingkatkan yang berakibat pada kecilnya jumlah devisa masuk dibanding yang keluar, maka mengurangi atau bahkan menghentikan sumber devisa dari komoditas ekspor ikan Tilapia akan menjadi kebijakan yang kontradiktif dan berlawanan dengan kepentingan nasional. Bukankah ekspor ikan Tilapia adalah penghasil dollar bagi Indonesia?

 

Oleh karena itu perlu disiasati dan disikapi dengan baik dan bijaksana implementasi Perpres No 60 tersebut dengan semangat penataan dan pengelolaan ke arah yang lebih baik, bukan justru dengan semangat “menghabisi.” Memberi ruang sebesar-besarnya kepada sektor pariwisata dengan tetap menjaga nafas perekonomian daerah dan mengutamakan sumber penghidupan masyarakat setempat adalah visi yang benar-benar perlu diterapkan di dalam implementasi Perpres tersebut.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar