Jangan
Tenggelamkan Jakartaku Nirwono Joga ; Pusat Studi Perkotaan |
MEDIA INDONESIA,
5 Agustus 2021
SAAT berpidato di Pusat
Kontraterorisme Nasional Amerika Serikat (27/7), Presiden Amerika Serikat Joe
Biden mengatakan bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata terbesar
semua bangsa. Ia menyinggung, jika prediksi itu tidak diantisipasi, Jakarta akan
tenggelam 10 tahun ke depan (2030). Hal ini diperkuat dalam
laporan Badan Antariksa AS (NASA, 2019) tentang kondisi Jakarta dituliskan
bahwa dalam beberapa dekade belakangan. Masalah banjir kian buruk, sebagian
karena pemompaan besar-besaran air tanah yang menyebabkan tanah tengelam atau
menyusut dalam waktu cepat. Menurut beberapa perkiraan, saat ini sekitar 40%
kota itu sudah berada di bawah permukaan laut. Selain itu, laporan
analisis Greenpeace tentang dampak perubahan iklim terhadap tujuh kota pantai
di Asia (28/7) meramalkan Jakarta akan tenggelam pada 2030. Sementara itu,
laporan analis bisnis Verisk Maplecroft (12/5) juga menempatkan Jakarta di
peringkat teratas sebagai kota paling rentan krisis iklim dari 576 kota besar
di dunia. Ancaman Jakarta akan tenggelam ialah keniscayaan. Ada empat tipe
banjir yang sering melanda Jakarta yang harus diatasi, yakni banjir kiriman,
banjir lokal, banjir rob, dan banjir besar. Lalu, langkah apa yang harus
dilakukan? Pertama, untuk mengatasi
banjir kiriman, pemerintah daerah yang dialiri sungai wajib membebaskan
permukiman di bantaran sungai dan merelokasi ke rusun. Menurut Permen PU-Pera
No 28/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau,
garis sempadan sungai (GSS) tidak bertanggul selebar 10 meter kiri-kanan,
kedalaman <3 meter, lebar 15 meter kedalaman 3-20 meter, serta 30 meter
kedalaman >20 meter. Untuk GSS bertanggul
dengan lebar bantaran jalur hijau minimal 3 meter dari tepi luar kaki tanggul
sepanjang alur sungai. Penataan bantaran dapat memadukan pendekatan
naturalisasi dan normalisasi secara harmonis. Ada 13 sungai utama melintasi
Jakarta yang perlu dibenahi, yakni Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke,
Sunter, Mookervart, Grogol, Krukut, Baru Barat, Baru Timur, Cipinang, Buaran,
Kramat Jati, dan Cakung. Kedua, untuk mengurangi
debit air hujan ke sungai, situ/danau/embung/ waduk (SDEW) harus dioptimalkan
untuk menampung air (danau paparan banjir). Sesuai dengan permen PU-Pera itu,
garis sempadan SDEW paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi muka air
tertinggi yang pernah terjadi. Pemerintah membebaskan lahan tepian badan air
dan merelokasi warga ke rusun. Pemerintah segera melakukan pengukuran dan
pematokan ulang batas wilayah SDEW bersama pihak kementerian terkait dan pemerintah
daerah serta langsung dibuatkan sertifikasi lahannya. Revitalisasi SDEW meliputi
penataan badan air, penganggaran yang pasti, sarana-prasarana pendukung
pengendali banjir, serta ruang terbuka hijau. Revitalisasi dilakukan bertahap
di 208 situ yang tersebar di DKI Jakarta 16 situ, Jawa Barat 146 situ, Banten
46 situ (BBWSCC, Kemen PU-Pera, 2018). Pemerintah dapat mulai
merevitalisasi 17 situ di sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung, yakni Situ
Kemuning, Kandang Babi, Cibeureum, Cimanggis, Telagasaat, Kebantenan,
Cikaret, Cijantung/Kibing (Kabupaten Bogor), Situ Pondok Cina, Citayam,
Cilodong, Sidomukti, Pengarengan/RRI, Bahar, Dongkelan (Kota Depok), serta
Situ Rawa Gelam/Badung, Babakan (DKI Jakarta). Ketiga, untuk menuntaskan
banjir lokal, pemerintah daerah harus merehabilitasi saluran air kota.
Perubahan iklim yang mengakibatkan curah hujan cenderung ekstrem di atas
rata-rata 100 milimeter per hari, bahkan sempat mencapai 370 milimeter per
hari di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur (2020), menuntut pembenahan
saluran air secara terpadu. Dimensi saluran diperbesar
2-3 kali lipat untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air sesuai dengan
ukuran dan layanan yang meliputi saluran tersier (lingkungan), sekunder
(kawasan), dan primer (kota). Rehabilitasi saluran dilakukan bersamaan
terintegrasi dengan revitalisasi trotoar dan penataan jaringan utilitas bawah
tanah/trotoar (kabel listrik/telepon/serat optik, pipa air
bersih/gas/limbah). Sistem jaringan saluran air harus terhubung baik, tidak
terputus, dan dirawat baik (bebas sampah, lumpur, limbah, bangunan). Saluran
air terhubung ke SDEW terdekat untuk menampung air sehingga air yang mengalir
ke sungai menjadi berkurang (meredam banjir). Keempat, untuk mengatasi
banjir rob, pemerintah merestorasi kawasan pesisir pantai utara Jakarta.
Permukiman digeser ke daratan sejauh minimal 500 meter dan kawasan pantai
dibangun hutan mangrove sebagai benteng alami menahan limpasan air laut
(rob), meredam terjangan tsunami, sekaligus habitat satwa liar ekosistem
mangrove. Hutan mangrove dikembangkan dari muara sungai menyusup ke dalam
jantung kota melalui sungai. Langkah aksi melakukan
regenerasi sungai, revitalisasi SDEW, rehabilitasi saluran air, serta
restorasi kawasan pesisir, diharapkan mampu meredam banjir kiriman, banjir
lokal, banjir rob, serta banjir besar jika terjadi ketiga tipe banjir
bersamaan (2002, 2007, 2012, 2014, 2017) sekaligus mencegah Jakarta
tenggelam. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar