Kebangsaan
di Masa Pandemi M Alfan Alfian ; Dosen Magister Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta |
MEDIA INDONESIA,
6 Agustus 2021
PADA pidatonya 1 Juli
1945, Bung Karno mengutip Mahatma Gandhi, “My nationalism is humanity!” Bung
Karno menyadari, tak ada artinya kebangsaan, tanpa kemanusiaan. Dimensi
kemanusiaan membuat suatu bangsa tidak boleh merasa lebih hebat ketimbang
yang lain. Baginya, meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, bahaya. Dia
mengingatkan, tanah air kita hanya sebagian kecil dari dunia. Dengan
demikian, ada dua kata kunci yang ditawarkan Bung Karno tentang hakikat
kebangsaan yang sangat relevan dengan masa pandemi covid-19 saat ini.
Pertama, kebangsaan ialah kemanusiaan. Kedua, solidaritas kebangsaan. Para
pahlawan kemanusiaan Kemanusiaan kita terusik
di era pandemi. Betapa tidak, hampir tiap saat kita mendengar ada kerabat,
keluarga, sanak saudara, teman, pejabat, atau tokoh populer dalam masyarakat
wafat karena covid-19. Kemanusiaan kita juga mengedepan ketika merespons
mereka yang tengah tertimpa musibah karena covid-19. Banyak masyarakat yang
jatuh miskin akibat terkena PHK. Saudara-saudara kita pekerja harian
mengalami kesusahan mendapatkan rezeki, antara lain akibat adanya kebijakan
pembatasan. Siapa pun sadar dan merasakan bahwa masalah ekonomi merupakan hal
yang tak terpisahkan dari masalah penanganan pandemi covid-19. Penentu kebijakan di
berbagai negara menghadapi dilema yang sama ketika kebijakan pembatasan
kegiatan masyarakat dilakukan, dampak ekonominya harus juga dipikirkan.
Apalagi, manakala pemerintah tidak mampu memberikan santunan yang signifikan
bagi warganya yang mengalami keterbatasan ekonomi. Di lingkup masyarakat,
tanpa dianjurkan telah memperoleh dorongan kebiasaan dalam melawan covid-19,
yakni dengan bergotong royong. Seseorang yang kena musibah, terkena covid-19,
mendapat bantuan dari tetangga. Peranti teknologi digital dimanfaatkan untuk
menyusun jadwal membantu memberikan makanan, obat-obatan, serta tabung
oksigen dan isinya. Mereka tak harus menunggu
didatangi negara. Bahkan, dalam banyak kasus, mereka tak sampai berpikir
negara akan hadir, mengingat penuh sesaknya RS, dan ragam keterbatasan lain.
Di level terbawah, bahkan para petugas puskesmas pun tak sanggup lagi
proaktif ke tengah-tengah masyarakat, saking banyaknya kasus yang mereka
tangani. Sebagian masyarakat
menggerutu. Namun, pada hakikatnya mereka tetap bisa memahami keterbatasan
negara. Dalam konteks ini, sesungguhnya masyarakat kita masih memiliki mental
kebangsaan yang tinggi. Kemanusiaan mereka produktif di tengah keterbatasan
manajemen RS dan belum efektifnya kebijakan pemerintah. Masyarakat hanya perlu
didekati secara persuasif dan empatik. Mereka emoh didekati secara pendekatan
kekuasaan dalam penegakan kebijakan. Masalah ketidakefektivitasan, bahkan
kebuntuan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah inilah, salah satu
potret kebangsaan kita semasa pandemi. Tentu potret-potret lain lebih banyak
dan di antaranya potret yang tragis. Banyak dokter dan tenaga kesehatan gugur
sebagai pahlawan kemanusiaan yang notabene pahlawan kebangsaan. Oligarki
dan pandemi Di sisi lain, kebangsaan
kita dihadapkan pada ikhtiar pemerintah, mengadakan, dan menyelenggarakan
vaksinisasi anti-covid-19. Vaksinnya harus diadakan ke berbagai negara yang
memproduksinya. Setelah didatangkan, diperiksa dahulu kelayakan vaksin
tersebut, baru dipakai untuk memvaksin masyarakat. Pengadaan vaksin
memerlukan ikhtiar pemerintah dengan membangkitkan sentimen kebangsaan dalam
pengertian solidaritas antarbangsa. Tidak semua vaksin yang dianjurkan WHO
digratiskan, sebagian besar dibeli sehingga memerlukan anggaran yang tidak
sedikit. Namun, di sela-sela
ekonomi politik vaksin yang diikhtiarkan negara, pun pengadaan
perangkat-perangkat kesehatan di RS-RS, konon terdapat ruang bagi para
oligarki memanfaatkan kesempatan meraup keuntungan. Oligarki terjadi dengan
membajak kemanusiaan yang notabene kebangsaan. Tentu mereka tak berpikir demi
kemaslahatan masyarakat dan bangsa, kecuali nafsu meraup keuntungan dalam
situasi pandemi. Di sinilah sesungguhnya
kapasitas dan kapabilitas negara diuji sehingga segenap penyimpangan
terdeteksi dan terantisipasi. Penegakan hukum juga harus tegas dalam
mengatasi penumpang gelap situasi pandemi, para oligarki peraup keuntungan
yang tak berperikemanusiaan itu. Sungguh berat kerja
pemerintah. Anggaran terbatas. Sementara itu, tuntutan masyarakat kompleks.
Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat, dilematis dari segi membangkitkan
ekonomi masyarakat. Tentu pemerintah tidak bisa serta-merta bertindak ala
sinterklas terus-menerus, yakni dengan memberikan bansos secara langsung ke
yang membutuhkan. Apalagi, manakala dalam praktiknya, bansos itu belum bisa
merata dan tepat sasaran. Demokrasi
Dibutuhkan kesabaran
ekstra semua pihak di situasi pandemi. Demokrasi tetap harus bekerja untuk
saling mengingatkan argumentatif dan empatik. Pemerintah, harus terbuka bagi
kritik efektif tidaknya kebijakan yang diterapkan. Masyarakat hendaknya
mengedepankan nalar kreatif dalam menyampaikan dukungan atau ketidaksetujuan.
Harus ada titik temu yang berorientasi kesadaran bahwa melawan covid-19 ialah
perjuangan kolektif. Berkembangnya demokrasi
tak usah dikhawatirkan sebagai perlawanan terhadap pemerintah. Aspirasi
publik membutuhkan kanal-kanal demokrasi yang seyogianya juga melibatkan kaum
politisi di parlemen. Maka, daya kritis masih terpelihara dalam situasi
kebangsaan kita semasa pandemi ini. Di masa pandemi ini,
kebijakan populis terkoreksi keadaan. Pendekatan populis yang penuh retorika
dan janji sering kali ampuh memanfaatkan demokrasi. Namun, situasi pandemi
menuntut semua pihak berbasis fakta. Ada objektivikasi melalui data-data.
Kebijakan harus berbasis data. Kritik masyarakat juga harus berbasis data dan
situasi objektif lapangan. Masalah kebangsaan kita di
era pandemi tak kalah berat dari masa perjuangan kemerdekaan. Kita sebagai
warga bangsa tengah berperang melawan musuh yang tak tampak. Strategi dan
jurus perlawanannya belum pernah terumuskan dan terpraktikkan dalam sejarah,
kecuali ingatan kolektif yang samar pandemi influenza abad ke-20
(1918-1920-an) semasa Hindia Belanda. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar