Interpretasi
Kritis Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen Ronny P. Sasmita ; Analis senior Indonesia Strategic and
Economic Action Institution |
JAWA POS, 12
Agustus 2021
BERDASAR data
yang dirilis BPS pada 5 Agustus lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal
II tahun ini terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun lalu
(year-on-year) mencatatkan angka yang cukup positif, 7,07 persen. Angka
tersebut perlu disambut baik karena akhirnya Indonesia keluar dari zona merah
yang berturut-turut dialami. Tapi, angka pertumbuhan year-on-year bukanlah
angka yang representatif untuk melihat pergerakan pertumbuhan ekonomi secara
sekuensial dan faktual. Karena itu,
BPS di dalam keterangannya lebih banyak menjelaskan angka pertumbuhan kuartal
II tahun ini terhadap kuartal I di tahun yang sama. Dengan kata lain, angka
7,07 persen bukanlah angka yang harus ditelan bulat-bulat dengan asumsi bahwa
seolah-olah mobil perekonomian nasional sudah berjalan layaknya situasi
semula. Kesan seperti
itu perlu diluruskan. Karena angka 7,07 persen lahir dari basis angka
pertumbuhan kuartal II 2020, yang ternyata tercatat minus 5,32. Jadi,
menjadikan angka pertumbuhan year-on-year 7,07 persen sebagai angka patokan
utama pertumbuhan ekonomi di kuartal II rasanya kurang tepat dan kurang
representatif. Karena itu, BPS lebih menitikberatkan penjelasannya pada angka
pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2021 terhadap triwulan I 2021
(QtQ). Mari kita
lihat. Ekonomi Indonesia triwulan II 2021 dibanding triwulan I 2021 tumbuh
3,31 persen (QtQ). Menurut BPS, pertumbuhan terjadi pada hampir semua
komponen pengeluaran, kecuali komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB)
yang terkontraksi 2,69 persen. Pertumbuhan
tertinggi terjadi pada komponen PKP (pengeluaran konsumsi pemerintah) 29,07
persen. Diikuti komponen pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani
rumah tangga (PKLNPRT) 7,50 persen; komponen ekspor barang dan jasa 6,58
persen; dan komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) 1,27 persen.
Sementara itu, komponen impor barang dan jasa (yang merupakan faktor
pengurang dalam PDB menurut pengeluaran) tumbuh 5,81 persen. Catatan saya
atas angka-angka tersebut, pertama, pembentukan modal tetap bruto (PMTB)
terkontraksi 2,69 persen. PMTB sering diasosiasikan dengan investasi
(spending/consuming) walaupun faktanya baru berupa angka ”saving” yang
dimaknai dengan cara lain, yakni ”konsumsi yang tertunda” (Michael Pettis,
2016). Terlepas apakah bentuknya hanya berupa tabungan di perbankan atau
akhirnya berhasil menjadi kredit produktif. Masalahnya,
pada kondisi normal, investasi menjadi salah satu motor utama penggerak
perekonomian nasional selain konsumsi. Bahkan, pemerintah berjuang
habis-habisan dengan berbagai cara untuk meningkatkan kontribusi investasi
terhadap PDB nasional, termasuk dengan omnibus law. Tapi, nyatanya pada
kuartal kedua tahun ini, raihan pertumbuhannya masih terkontraksi 2,69
persen. Lantas, mengapa masih bisa meraih angka positif 3,31 persen? Jawabannya ada
di catatan kedua saya, yaitu konsumsi pemerintah, yang ternyata mencatatkan
rekor sangat luar biasa. Angka pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat 29,07
persen. Artinya, pertumbuhan kali ini masih belum bisa dikategorikan sebagai
pertumbuhan normal, apalagi sustainable. Pertumbuhan di
kuartal II 2021 masih bercorak pertumbuhan di masa pandemi yang tidak
sustainable karena ditopang oleh belanja pemerintah yang besar akibat tekanan
keadaan dan sebagian besar dananya pun berasal dari utang. Mengapa tidak
sustainable? Karena pemerintah tidak mungkin setiap tahun menggelontorkan
dana sebesar tahun lalu dan tahun ini. Sebab, hal itu akan membahayakan
pemerintah sendiri (reputasi politik) dan membahayakan perekonomian nasional
jika mempertahankan pola berutang seperti tahun lalu dan tahun ini. Catatan
selanjutnya adalah soal konsumsi rumah tangga yang di tahun-tahun sebelum
pandemi mampu tumbuh 4–5 persen dengan kontribusi 55 persen lebih terhadap
postur PDB nasional. Tapi, data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi
rumah tangga di kuartal II 2021 terhadap kuartal I 2021 justru hanya tumbuh
1,27 persen alias sangat rendah. Angka ini juga
memperjelas fakta pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 yang memang
tidak sustainable. Dua kontributor ekonomi nasional yang seharusnya menjadi
penjamin sustainability pertumbuhan ekonomi justru tersungkur walaupun secara
keseluruhan masih mencatatkan angka positif 7,07 persen (YoY) dan 3,31 persen
(QtQ). Dan terakhir
adalah pertumbuhan semesteran. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2021
secara year to date (Januari–Juni) adalah 3,10 persen, berbeda tipis dengan
raihan quarter-to-quarter sebesar 3,31. Artinya, dibanding semester I 2020,
raihan di semester I 2021 mengalami kenaikan 3,10 persen. Atau, hitungan
kasarnya kita bisa buat 7,07 dikurangi 0,74 persen dibagi dua hasilnya
menjadi 3,16 persen. Angkanya akan berbeda tipis dengan angka pertumbuhan
kuartal II 2021 terhadap pertumbuhan kuartal I 2021. Arti
lanjutannya, jika nanti di kuartal III dan IV raihan angka pertumbuhan (YoY)
sebut saja misalnya kembali ke 5 persen, secara agregat pertumbuhan ekonomi
tahun ini hanya akan mencatatkan angka sekitar 4 persen (-0,74 + 7,07 + 5 + 5
dibagi 4) alias masih tekor dibanding raihan pertumbuhan agregat di tahun
2019. Pertanyaannya,
mengapa hanya mematok proyeksi 5 persen untuk dua kuartal ke depan? Karena
probabilitas untuk kembali mencatatkan angka pertumbuhan lebih dari 7 persen
di kuartal selanjutnya sangat kecil, bahkan mungkin tidak ada. Pertama, karena
minus di kuartal III dan IV 2020 lebih kecil dari kuartal II tahun lalu.
Artinya, basis angka pembandingnya semakin besar karena minusnya mengecil. Kedua, jika
ditarik dari angka kuartal II tahun ini yang 7,07 persen year-on-year, akan
jauh lebih sulit lagi karena sudah tumbuh 7 persen sehingga agregat
pembandingnya justru semakin mempersulit raihan yang lebih besar dari raihan
sebelumnya. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/12/08/2021/interpretasi-kritis-pertumbuhan-ekonomi-7-persen/?page=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar