Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Interpretasi Kritis Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen

Ronny P. Sasmita ;  Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

JAWA POS, 12 Agustus 2021

 

 

                                                           

BERDASAR data yang dirilis BPS pada 5 Agustus lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II tahun ini terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun lalu (year-on-year) mencatatkan angka yang cukup positif, 7,07 persen. Angka tersebut perlu disambut baik karena akhirnya Indonesia keluar dari zona merah yang berturut-turut dialami. Tapi, angka pertumbuhan year-on-year bukanlah angka yang representatif untuk melihat pergerakan pertumbuhan ekonomi secara sekuensial dan faktual.

 

Karena itu, BPS di dalam keterangannya lebih banyak menjelaskan angka pertumbuhan kuartal II tahun ini terhadap kuartal I di tahun yang sama. Dengan kata lain, angka 7,07 persen bukanlah angka yang harus ditelan bulat-bulat dengan asumsi bahwa seolah-olah mobil perekonomian nasional sudah berjalan layaknya situasi semula.

 

Kesan seperti itu perlu diluruskan. Karena angka 7,07 persen lahir dari basis angka pertumbuhan kuartal II 2020, yang ternyata tercatat minus 5,32. Jadi, menjadikan angka pertumbuhan year-on-year 7,07 persen sebagai angka patokan utama pertumbuhan ekonomi di kuartal II rasanya kurang tepat dan kurang representatif. Karena itu, BPS lebih menitikberatkan penjelasannya pada angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2021 terhadap triwulan I 2021 (QtQ).

 

Mari kita lihat. Ekonomi Indonesia triwulan II 2021 dibanding triwulan I 2021 tumbuh 3,31 persen (QtQ). Menurut BPS, pertumbuhan terjadi pada hampir semua komponen pengeluaran, kecuali komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang terkontraksi 2,69 persen.

 

Pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen PKP (pengeluaran konsumsi pemerintah) 29,07 persen. Diikuti komponen pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (PKLNPRT) 7,50 persen; komponen ekspor barang dan jasa 6,58 persen; dan komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) 1,27 persen. Sementara itu, komponen impor barang dan jasa (yang merupakan faktor pengurang dalam PDB menurut pengeluaran) tumbuh 5,81 persen.

 

Catatan saya atas angka-angka tersebut, pertama, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terkontraksi 2,69 persen. PMTB sering diasosiasikan dengan investasi (spending/consuming) walaupun faktanya baru berupa angka ”saving” yang dimaknai dengan cara lain, yakni ”konsumsi yang tertunda” (Michael Pettis, 2016). Terlepas apakah bentuknya hanya berupa tabungan di perbankan atau akhirnya berhasil menjadi kredit produktif.

 

Masalahnya, pada kondisi normal, investasi menjadi salah satu motor utama penggerak perekonomian nasional selain konsumsi. Bahkan, pemerintah berjuang habis-habisan dengan berbagai cara untuk meningkatkan kontribusi investasi terhadap PDB nasional, termasuk dengan omnibus law. Tapi, nyatanya pada kuartal kedua tahun ini, raihan pertumbuhannya masih terkontraksi 2,69 persen. Lantas, mengapa masih bisa meraih angka positif 3,31 persen?

 

Jawabannya ada di catatan kedua saya, yaitu konsumsi pemerintah, yang ternyata mencatatkan rekor sangat luar biasa. Angka pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat 29,07 persen. Artinya, pertumbuhan kali ini masih belum bisa dikategorikan sebagai pertumbuhan normal, apalagi sustainable.

 

Pertumbuhan di kuartal II 2021 masih bercorak pertumbuhan di masa pandemi yang tidak sustainable karena ditopang oleh belanja pemerintah yang besar akibat tekanan keadaan dan sebagian besar dananya pun berasal dari utang. Mengapa tidak sustainable? Karena pemerintah tidak mungkin setiap tahun menggelontorkan dana sebesar tahun lalu dan tahun ini. Sebab, hal itu akan membahayakan pemerintah sendiri (reputasi politik) dan membahayakan perekonomian nasional jika mempertahankan pola berutang seperti tahun lalu dan tahun ini.

 

Catatan selanjutnya adalah soal konsumsi rumah tangga yang di tahun-tahun sebelum pandemi mampu tumbuh 4–5 persen dengan kontribusi 55 persen lebih terhadap postur PDB nasional. Tapi, data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal II 2021 terhadap kuartal I 2021 justru hanya tumbuh 1,27 persen alias sangat rendah.

 

Angka ini juga memperjelas fakta pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 yang memang tidak sustainable. Dua kontributor ekonomi nasional yang seharusnya menjadi penjamin sustainability pertumbuhan ekonomi justru tersungkur walaupun secara keseluruhan masih mencatatkan angka positif 7,07 persen (YoY) dan 3,31 persen (QtQ).

 

Dan terakhir adalah pertumbuhan semesteran. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2021 secara year to date (Januari–Juni) adalah 3,10 persen, berbeda tipis dengan raihan quarter-to-quarter sebesar 3,31. Artinya, dibanding semester I 2020, raihan di semester I 2021 mengalami kenaikan 3,10 persen. Atau, hitungan kasarnya kita bisa buat 7,07 dikurangi 0,74 persen dibagi dua hasilnya menjadi 3,16 persen. Angkanya akan berbeda tipis dengan angka pertumbuhan kuartal II 2021 terhadap pertumbuhan kuartal I 2021.

 

Arti lanjutannya, jika nanti di kuartal III dan IV raihan angka pertumbuhan (YoY) sebut saja misalnya kembali ke 5 persen, secara agregat pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan mencatatkan angka sekitar 4 persen (-0,74 + 7,07 + 5 + 5 dibagi 4) alias masih tekor dibanding raihan pertumbuhan agregat di tahun 2019.

 

Pertanyaannya, mengapa hanya mematok proyeksi 5 persen untuk dua kuartal ke depan? Karena probabilitas untuk kembali mencatatkan angka pertumbuhan lebih dari 7 persen di kuartal selanjutnya sangat kecil, bahkan mungkin tidak ada. Pertama, karena minus di kuartal III dan IV 2020 lebih kecil dari kuartal II tahun lalu. Artinya, basis angka pembandingnya semakin besar karena minusnya mengecil.

 

Kedua, jika ditarik dari angka kuartal II tahun ini yang 7,07 persen year-on-year, akan jauh lebih sulit lagi karena sudah tumbuh 7 persen sehingga agregat pembandingnya justru semakin mempersulit raihan yang lebih besar dari raihan sebelumnya.

 

Sumber :  https://www.jawapos.com/opini/12/08/2021/interpretasi-kritis-pertumbuhan-ekonomi-7-persen/?page=all

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar