Rabu, 18 Agustus 2021

 

Bung Karno, dari Oranje Boulevard ke Pegangsaan Timur 56

Eduard Lukman ;  Peminat Sejarah Nasional Indonesia

KOMPAS, 17 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tanggal 17 Agustus 2021 kita memperingati Hari Kemerdekaan Ke-76  RI. Setiap menyambut Hari Proklamasi kita teringat alamat sebuah lokasi di Jakarta, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, sekarang Jalan Proklamasi 56.

 

Di bagian depan rumah yang luas pekarangannya itulah pada 17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dari rumah Bung Karno itulah perjalanan republik ini dimulai.

 

Di lokasi yang pernah menjadi kediaman Bung Karno itu kini berdiri Gedung Perintis Kemerdekaan (sebelumnya disebut Gedung Pola dan Gedung Proklamasi), sebuah tugu yang di puncaknya ada kilatan petir, replika Tugu Peringatan Satu Tahun Proklamasi, serta Monumen Pahlawan Proklamator.

 

Bagaimana kisah rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu pernah menjadi kediaman Bung Karno dan kemudian dikenang sebagai salah satu tempat bersejarah negeri kita? Ada serangkaian cerita tentang hal itu.

 

Bung Karno ke Jawa

 

Semenjak awal pendudukannya di Indonesia, Jepang menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan para pemimpin, tokoh politik, dan masyarakat negeri jajahannya ini. Tokoh-tokoh yang sudah dikenal luas masyarakat, apalagi yang kharismatik, didekati untuk membantu pemerintah jajahan dan menggerakkan potensi rakyat di berbagai bidang.

 

Jelas, pemerintah pendudukan Jepang memerlukan tokoh sekaliber Soekarno yang aktivitasnya ketika itu sudah luas dikenal publik.

 

Sewaktu Jepang menginvasi Indonesia, Bung Karno tengah dalam pengasingan politik oleh pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu. Bung Karno dipindahkan dari Ende, Flores, pada 1938. Menyadari posisinya kian terdesak, Belanda lalu mengungsikan Bung Karno dan keluarganya ke Padang, dan menurut rencana terus ke Australia.

 

Namun, karena Belanda panik dan ketiadaan transportasi untuk membawa Bung Karno keluar Padang, beliau masih di Padang saat Jepang masuk kota tersebut, 17 Maret 1942 (Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, 2005).

 

Kehadiran segera Bung Karno di Pulau Jawa dinantikan Jepang dan kawan-kawan seperjuangannya semasa pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda, antara lain Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Namun, mengingat situasi yang belum menentu di awal pendudukan Jepang, perjalanan Bung Karno kembali ke Jawa sempat tersendat, bahkan agak dramatis.

 

Dengan sebuah perahu bermotor berukuran panjang 8 meter, Bung Karno, istrinya, Inggit Garnasih, Kartika (anak angkat mereka), dan Riwu (pembantu keluarga sejak di Ende, Flores), dikawal dua tentara Jepang, bertolak dari Palembang, awal Juli 1942. Ikut pula dalam rombongan kecil tersebut, dua anjing peliharaan keluarga Bung Karno, Ketuk Satu dan Ketuk Dua.

 

Setelah mengarungi laut bergelombang yang membuat penumpangnya ciut hati dan mabuk laut, selama empat hari, perahu itu mendarat di pelabuhan Pasar Ikan, Jakarta, 9 Juli 1942 (Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1965. Cetakan ke-6, 2000; John D Legge, Sukarno: Sebuah Biografi Politik, 1972; Lambert Giebels, Soekarno: Biografi 1901-1950, 2001; Mohammad Hatta, Indonesian Patriot: Memoirs, 1981).

 

Uniknya, kisah perjalanan Bung Karno ini disinggung Tan Malaka dalam karya monumentalnya, Madilog. Di bagian pendahuluan, Tan Malaka membandingkan pelayaran Bung Karno dari Palembang ke Jakarta, dengan perjalanannya dari Teluk Betung ke tujuan yang sama, memakai perahu layar kecil Seri Renjet yang sudah tua dan bocor di sana-sini.

 

Tan Malaka menceritakan, sepanjang pelayaran gerak maju perahu layar tersebut dipermainkan angin. Sementara perahu yang ditumpangi Bung Karno, menurut Tan Malaka, juga ditarik sebuah kapal bermotor Jepang. Alhasil, kendati Teluk Betung lebih dekat ke Jakarta, perjalanan Tan Malaka memakan waktu lebih lama (Tan Malaka, Madilog, Teplok Press. Cetakan Ketiga, April 2000).

 

Sesampai di Jakarta, apakah Bung Karno dan keluarganya langsung tinggal menetap di Jalan Pegangsaan Timur 56? Ada yang mengatakan bahwa di hari pertama di Jakarta, Soekarno sekeluarga menginap di kediaman Bung Hatta di Oranje Boulevard yang kini bernama Jalan Diponegoro (John D Legge, 1972).

 

Namun, ada juga catatan bahwa di Jakarta, keluarga Bung Karno awalnya menginap di Hotel Des Indes, Harmoni, yang kemudian menjadi kompleks pertokoan Duta Merlin (Ramadhan KH, Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, 1988; Walentina W de Jonge, Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan, 2015).

 

Penguasa militer Jepang memang sudah menyiapkan berbagai keperluan Bung Karno: kantor, staf, mobil, dan sebuah rumah (Bob Hering, Soekarno: Bapak Indonesia Merdeka. Jilid 1, 1901-1945, 2003).

 

Ingin rumah yang luas

 

Beberapa buku memastikan bahwa Soekarno dan keluarganya tidak langsung tinggal menetap di Jalan Pegangsaan Timur 56, tetapi mulanya pernah di sebuah rumah cukup besar bertingkat dua di jalan raya daerah elite Menteng, Oranje Boulevard (Lambert Giebels, 2001; Ramadhan KH, 1988; Soebagijo IN (penyunting), Mr Sudjono: Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942, 1983).

 

Bung Karno sendiri tidak jelas menyebut alamat rumah tinggalnya yang pertama di Jakarta. Beliau hanya mengatakan bahwa ”Jepang telah menyediakan sebuah rumah bertingkat dua dan manis potongannya, terletak di sebuah jalan raya Jakarta” (Cindy Adams, 2000).

Namun, setelah beberapa waktu, Bung Karno dan Bu Inggit merasa kurang senang tinggal di rumah bertingkat dua di Oranje Boulevard (kemudian dipastikan posisinya di Jalan Diponegoro Nomor 11) itu (Lambert Giebels, 2001). Bagi mereka, rumah itu terasa tidak cukup luas untuk menerima tamu Bung Karno yang semakin banyak.

 

Ketidaksenangan tinggal di rumah bertingkat itu diakui sendiri oleh Bung Karno (Cindy Adams, 2000). Bu Inggit juga merasa selain rumah kurang besar, ”suamiku tidak senang naik turun tangga di rumah bertingkat itu” (Ramadhan KH, 1988). Mereka ingin tinggal di rumah yang lebih besar dan nyaman dengan halaman luas.

 

Persis 20 tahun yang lalu, Kompas memuat tulisan seorang pelaku sejarah yang mengetahui asal mula Bung Karno tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56. Dalam artikelnya berjudul ”Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi” (Kompas, 16 Agustus 2001), Chairul Basri menceritakan pengalamannya ikut mencarikan rumah untuk Bung Karno.

 

Chairul Basri yang pensiun sebagai mayor jenderal TNI AD, dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1966-1979), kemudian menuliskan kisah itu dengan lebih rinci dalam bukunya, Apa yang Saya Ingat (2003).

 

Ceritanya berawal ketika Chairul Basri diminta seorang pejabat Jepang, Shimizu Hithoshi, dari badan propaganda, untuk mencarikan rumah bagi keluarga Bung Karno. Bersama seorang teman, Adel Sofyan, keduanya bersepeda berkeliling daerah Menteng.

 

Mereka akhirnya menemukan sebuah rumah yang luas pekarangannya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Keduanya merasa rumah ini cocok bagi Bung Karno. Chairul teringat pesan Bung Karno: ”Saya ingin mendiami rumah yang luas pekarangannya agar saya dapat menerima rakyat banyak” (Chairul Basri, 2003).

 

Rupanya rumah itu milik seorang Belanda yang sudah diinternir Jepang. Istrinya masih menghuni rumah tersebut. Wanita Belanda itu diminta mengosongkan rumah tersebut dan dipindahkan ke Jalan Lembang, juga di daerah Menteng. Bung Karno setuju pindah ke Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.

 

Memang, baik dalam artikel di Kompas dua dasawarsa lalu itu maupun dalam bukunya, Chairul Basri tidak menjelaskan apakah rumah di Pegangsaan Timur itu rumah pertama Bung Karno di Jakarta setelah kembali dari Sumatera ataukah rumah berikutnya setelah sempat menghuni rumah di Oranje Boulevard.

 

Ketika menempati rumah yang kemudian menjadi tempat diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia, Bu Inggit Garnasih sempat tinggal di rumah tersebut. Bu Inggit merasa lebih nyaman di Pegangsaan Timur 56, yang selain luas halamannya juga memiliki banyak kamar dan ada paviliunnya (Ramadhan KH, 1988).

 

Setelah bercerai dengan Bu Inggit, Bung Karno menikah dengan Fatmawati. Dalam pernikahan yang berlangsung di Bengkulu itu, Juni 1943, Bung Karno diwakili Sardjono, seorang kawan Bung Karno di Bengkulu (Cindy Adams, 2000; Lambert Giebels, 2001; Fatmawati Sukarno, Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno, 2016).

 

Bu Fat lalu pindah berkumpul dengan suaminya di Jakarta dan tinggal di Pegangsaan Timur 56. Di rumah itulah kemudian diselenggarakan pesta pernikahan mereka, 22 Agustus 1943 (Lambert Giebels, 2001). Di rumah itu pulalah Bung Karno dikaruniai putra pertama, Guntur Soekarnoputra, 3 November 1944. Di sana juga Bu Fat menjahit Bendera Pusaka kita.

 

Tulisan ini memang hanya sebatas kisah awal rumah di Pegangsaan Timur 56 itu menjadi kediaman Bung Karno. Tentu banyak kisah penting lain di rumah bersejarah tersebut. Sayang, bangunan asli rumah itu atas perintah Presiden Soekarno sendiri dibongkar awal 1962.

 

Semoga tulisan ringkas ini mengingatkan kembali pada sekilas riwayat rumah yang pernah menjadi kediaman salah seorang pendiri republik ini. Sebuah rumah tempat dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 76 tahun yang lampau.

 

Dirgahayu Republik Indonesia. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/17/bung-karno-dari-oranje-boulevard-ke-pegangsaan-timur-56

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar