Rabu, 18 Agustus 2021

 

Meluruskan Narasi Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI

Abdul Syukur ;  Dosen Prodi Pendidikan Sejarah dan Korpus Penelitian Sosial, Ekonomi dan Humaniora Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Negeri Jakarta

KOMPAS, 17 Agustus 2021

 

 

                                                           

Proklamasi sudah berlangsung 76 tahun silam. Selama itu pula kita mengubur fakta yang sebenarnya tentang proses persiapan dan pelaksanaan Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Sudah saatnya untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya agar proklamasi dapat dijelaskan secara komprehensif yang mencerdaskan generasi muda untuk memahami peristiwa sangat penting bagi bangsanya.

 

Tulisan ini membahas penguburan fakta sekitar proklamasi dan keharusan untuk membuka fakta yang sebenarnya serta memberikan interpretasi baru berdasarkan metode ilmu sejarah untuk menciptakan narasi mencerdaskan dan mencerahkan. Narasi sejarah proklamasi selama ini merupakan warisan masa perang opini antara Pemerintah Belanda dan Indonesia untuk kemenangan kepentingan politiknya masing-masing sehingga narasi yang tercipta sesungguhnya merupakan sebuah propaganda.

 

Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta, dua tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Keesokan harinya, secara aklamasi melalui musayawarah dan mufakat keduanya menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Peristiwa tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 memperkuat bukti bahwa para tokoh gerakan nasional membentuk identitas kebangsaan terlebih dahulu sebelum membentuk negara modern. Proses ini sangat berbeda dengan negara tetangga terdekat seperti Malaysia yang membentuk negara federasi terlebih dahulu, kemudian membentuk identitas kebangsaannya.

 

Pemerintah Belanda secara tegas menolak proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, pendirian negara RI dan pemerintahan RI yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Penolakan mereka didasarkan pada dua alasan. Pertama, klaim historis sebagai penguasa wilayah Indonesia sebelum diambil alih oleh Jepang pada 1942. Kedua, keterlibatan Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh penting Pemerintah Indonesia yang bekerja untuk kepentingan Pemerintah Jepang selama masa pendudukan militer.

 

Tulisan ini lebih difokuskan untuk membahas alasan kedua karena sangat menarik dari sudut pandang ilmu sejarah dan kepentingan memberikan interpretasi yang mencerdaskan untuk generasi digital. Mereka adalah generasi yang sangat beruntung karena dapat memperoleh data, fakta, dan interpretasi masa lalu dengan mudah dan cepat melalui teknologi internet. Kemudahan dan kecepatan ini memaksa para sejarawan untuk melakukan interpretasi baru terhadap data dan fakta sejarah yang tersajikan secara terbuka.

 

Narasi sejarah untuk propaganda

 

Data dan fakta sejarah pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia 1942-1945 telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda dan Indonesia untuk memenangi perang opini di antara keduanya pada tahun 1945. Masing-masing memberikan interpretasi sesuai kepentingan politiknya terhadap data dan fakta sejarah sehingga hasil interpretasinya adalah sebuah propaganda politik yang sangat mengabaikan metode penafsiran dalam ilmu sejarah. Setelah 76 tahun, kini saatnya memberikan interpretasi baru dengan menggunakann metode penafsiran dalam ilmu sejarah yang sudah berkembang dengan sangat baik.

 

Interpretasi Pemerintah Belanda terhadap data dan fakta sejarah selama pendudukan militer Jepang bahwa proklamasi dan pembentukan negara Republik Indonesia beserta pemerintahannya berada di bawah kendali Pemerintah Jepang. Tujuan pemberian interpretasi ini untuk memperoleh dukungan Pimpinan Tertinggi Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II yang mengalahkan poros Jerman, Italia, dan Jepang. Interpretasi ini merugikan Pemerintah Indonesia sehingga memberikan respons menyangkal keterkaitan Pemerintah Jepang dengan Pemerintah Indonesia. Penyangkalan dilakukan dengan mengubah sistem pemerintahan dari Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer.

 

Dalam sistem pemerintahan parlementer dilakukan pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala negara dipimpin Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan kepala pemerintahan dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Penempatan Sutan Sjahrir sebagai kepala pemerintahan bertujuan menyangkal propaganda Belanda bahwa pemerintahan Indonesia dipimpin para tokoh yang bekerja sama dengan pemerintah pendudukan militer Jepang. Perubahan ini untuk memberikan posisi tertinggi kepada Sutan Sjahrir, tokoh utama anti-Jepang, sebagai kepala pemerintahan.

 

Penempatan Sutan Sjahrir sebagai kepala pemerintahan sangat penting untuk memenangi perang opini bahwa pemerintahan Indonesia dipimpin oleh seorang tokoh anti-Jepang sehingga langsung mematahkan propaganda Belanda. Strategi ini diperkuat oleh realitas sosial-politik tahun 1945-1946 yang dialami para panglima, komandan, dan prajurit Sekutu selama bertugas di Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkannya ke Jepang serta membebaskan para tawanan perang. Tugas ini terlaksana setelah mendapat bantuan Pemerintah Indonesia. Faktor lain yang menguntungkan Pemerintah Indonesia ialah pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Oktober 1945 yang beranggotakkan negara-negara di luar Sekutu dan polarisasi Blok Barat dan Timur.

 

Seluruh faktor inilah yang memperkuat dukungan internasional terhadap Pemerintah Indonesia hingga memaksa Pemerintah Belanda untuk berunding dengan pemerintahan Indonesia. Perundingan ini berarti Pemerintah Belanda mengakui negara RI beserta pemerintahannya.

 

Fakta sejarah proklamasi kemerdekaan

 

Ada beberapa fakta yang perlu diberikan interpretasi baru yang sesuai dengan metode interpretasi dalam ilmu sejarah tentang keterlibatan Pemerintah Jepang beserta pemerintahan pendudukan militernya dalam mempersiapkan dan melaksanakan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.

 

Pertama, Sidang Istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo yang melantik Jenderal Kuniaki Koiso sebagai Perdana Menteri Jepang menggantikan Jenderal Hideki Tojo. Pada 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso mengumumkan kebijakan pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan terhadap wilayah pendudukan militernya di Hindia Timur (Indonesia).

 

Kedua, pembentukan badan persiapan usaha-usaha kemerdekaan Dokuritsu Junbi Cosokai pada 28 Mei 1945 di Jakarta. Proses pembentukannya melibatkan para petinggi militer Jepang di wilayah pendudukan, seperti Menteri Perang Jepang Jenderal Seishiro Itagaki, Panglima Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang Letnan Jenderal Kumachiki Harada, dan penggantinya Marsekal Laksamana Osami Nagano. Lembaga ini dipimpin oleh dr Radjiman Wediodiningrat.

 

Ketiga. Pembentukan panitia persiapan kemerdekaan Dokuritsu Junbi Inkai pada 7 Agustus 1945 yang disetejui oleh Field Marshal Terauchi Hisaichi yang bermarkas di markas besar Angkatan Perang Jepang di kota Dalat, Vietnam Selatan. Pemerintah Jepang menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi pemimpin Dokuritsu Junbi Inkai. Keduanya melanjutkan hasil sidang Dokuritsu Junbi Cosokai untuk finalisasi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.

 

Keempat, pertemuan Field Marshal Terauchi dengan mantan ketua Dokuristsu Junbi Cosokai Radjiman Wediodiningrat, Ketua dan Wakil Ketua Dokuritsu Junbi Inkai Soekarno dan Mohamad Hata di kota Dalat, Vietnam selatan, pada 12 Agustus 1945.

 

Kelima, perumusan teks proklamasi yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta di rumah dinas Laksamana Muda Tadashi Maeda sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Rumah dinasnya sekarang berada di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, dan telah dijadikan sebagai Museum Naskah Proklamasi oleh Pemerintah Indonesia.

 

Seluruh fakta sejarah tersebut diketahui oleh Pemerintah Belanda. Mereka memberikan interpretasi berdasarkan kepentingan politiknya, yakni proklamasi kemerdekaan dipersiapkan dan dikendalikan Pemerintah Jepang. Interpretasi ini ditentang oleh Pemerintah Indonesia dengan memberikan interpretasi yang juga didasarkan pada kepentingan politiknya. Perang opini pemerintah Belanda dan Indonesia menghilangkan obyektivitas interpretasi.

 

Perlu narasi baru

 

Interpretasi masa perang opini tersebut dilestarikan oleh Pemerintah Indonesia hingga kini. Ini teramati dari narasi yang diciptakan oleh pemerintah terhadap proses proklamasi sebagaimana terdapat dalam buku resmi sejarah Indonesia: Sejarah Nasional Indonesia dan buku-buku teks mata pelajaran sejarah di sekolah.

 

Narasi yang diciptakan pemerintah bahwa seluruh rangkaian fakta itu merupakan janji palsu Pemerintah Jepang yang tidak dilaksanakan sehingga para tokoh pergerakan berinisiatif melaksanakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tanpa bantuan Pemerintah Jepang. Narasi ini diciptakan dalam suasana perang opini antara Pemerintah Indonesia dan Belanda untuk memperoleh dukungan internasional. Perang opini sudah lama berakhir sehingga perlu menciptakan narasi baru untuk melatih kemampuan historical thinking generasi digital dalam belajar sejarah proklamasi.

 

Narasi baru dapat diawali dengan pertanyaan: apakah benar bahwa kebijakan Pemerintah Jepang yang disampaikan oleh Perdana Menteri Koiso dalam Sidang Istimewa Parlemen Jepang pada 7 September 1944 untuk memberikan kemerdekaan merupakan janji palsu? Artinya hanya akal-akalan ataupun ngeprank dalam bahasa gaul generasi digital.

 

Interpretasi ”janji palsu Pemerintah Jepang” terhadap fakta kebijakan memberikan kemerdekaan ini menciptakan narasi yang mengabaikan fakta yang sebenarnya. Saatnya untuk mengujinya dengan memahami realitas sosial-politik tahun 1940-an. Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Jepang melibatkan diri dalam Perang Dunia II dengan menguasai seluruh wilayah koloni negara-negara Eropa di Kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Mereka bergabung dalam poros Jerman dan Italia melawan negara Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.

 

Pemerintah Jepang mengalahkan Pemerintah Belanda di Hindia Timur dan mengambil alih kekuasaan wilayah koloninya pada 1942. Namun, kemenangan tahun 1942 berubah menjadi kekalahan satu tahun kemudian. Kekalahan demi kekalahan memaksa pemerintah pendudukan militer mengubah kebijakannya, yakni membentuk organisasi-organisasi semimiliter (Seinendan, Keibodan, Bogodan, Suishinta/Barisan Pelopor, Jibakutai/Barisan Berani Mati, Kaikiyo Seinen Thaishintai/Hizbullah) dan organisasi militer (Heiho, Peta, Giyugun/Tentara Suka Rela).

 

Tiga fakta sejarah ialah kekalahan Jepang antara tahun 1943 dan 1944, pembentukan organisasi semi militer dan organisasi militer, kebijakan Perdana Menteri Koiso memberikan kemerdekaan dapat diberikan interpretasi kausalitas sehingga menciptakan pemahaman komprehensif terhadap kebijakan memberikan kemerdekaan. Kebijakan ini juga dapat diinterpretasi dengan menggunakan fakta yang tidak terlihat, yakni cara pandang pemimpin militer Jepang setelah mengetahui kekalahan demi kekalahan dan ketidakmungkinan untuk memenangi perang berdasarkan analisis militer dan intelijen tempur mereka.

 

Kekalahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, hanya menunggu waktu saja. Dalam kondisi tertekan seperti ini, maka pemberian kemerdekaan merupakan opsi terbaik bila dibandingkan dengan menyerahkan wilayah pendudukan militernya kepada pasukan Sekutu. Artinya, kebijakan memberikan kemerdekaan bukanlah ”janji palsu”, melainkan merupakan strategi dan taktik menghadapi kekalahan perang. Prediksi kekalahan semakin jelas setelah keberhasilan serangan Sekutu ke wilayah Jepang dengan menghancurkan kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.

 

Narasi pemberian kemerdekaan bukan ”janji palsu” mendapatkan penguatan dari fakta tentang pembentukan dua badan khusus yang ditugaskan untuk menyiapkan persyaratan yang harus dipenuhi untuk membentuk negara modern yang merdeka, yaki Dokuritsu Junbi Cosokai/Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK) dan Dokuritsu Junbi Inkai/Panitia Persiapan Kemerdekaan/PPK oleh pemerintah pendudukan militer Jepang. Semua pimpinan militer Jepang dari yang tertinggi hingga terendah melaksanakan kebijakan Kabinet Koiso memberikan kemerdekaan. Mereka memberikan perlindungan, mendampingi, dan memfasilitasi seluruh persidangan BPUPK hingga menyelesaikan tugasnya dengan baik.

 

Pada saat BPUPK menyelesaikan tugasnya, Pemerintah Jepang sedang menghadapi kenyataan kalah perang setelah mereka tidak dapat menahan serangan pasukan Sekutu ke dalam wilayah mereka pada 6 Agustus 1945. Sehari kemudian, pemerintah pendudukan militer Jepang melantik PPK yang dipimpin Soekarno dan Mohammad Hatta.

 

Pada 9 Agustus 1945, bertepatan pengeboman kota Nagasaki, pemimpin tertinggi angkatan perang Jepang di kota Dalat, Vietnam selatan: Field Marshal Terauchi, memerintahkan Soekarno, Hatta, dan Radjiman untuk menghadapnya di Dalat. Pertemuan mereka dilakukan pada 12 Agustus 1945, tiga hari sebelum Kaisar Jepang menyerah tanpa syarat kepada Panglima Sekutu.

 

Pertemuan pada 12 Agustus 1945 di Dalat merupakan fakta sejarah yang dapat diinterpretasikan sebagai kesungguhan pemerintah pendudukan militer Jepang mewujudkan kebijakan Kabinet Koiso. Terauchi adalah panglima tertinggi yang mempunyai pengalaman tempur sehingga dapat memprediksi kekalahan pasukannya berdasarkan analisisnya yang bersumber dari intelijen tempur.

 

Kesediaannya menerima Radjiman, Soekarno, dan Hatta menunjukkan bahwa pertemuan 12 Agustus 1945 di Dalat sangat penting untuk merealisasikan strategi Kabinet Koiso memberikan kemerdekaan karena Pemerintah Jepang sudah pasti harus meninggalkan seluruh wilayah pendudukan militernya apabila mereka kalah perang.

 

Kesungguhan pemerintah pendudukan militer Jepang untuk mewujudkan pemberian kemerdekaan dapat dirujuk pada keputusan Laksamana Maeda melindungi Soekarno, Hatta, dan seluruh anggota PPK untuk merumuskan teks proklamasi kemerdekaan pada 16 Agustus 1945 di rumah dinasnya. Pertanyaannya, apakah Maeda melakukannya atas inisiatif pribadi atau menjalankan perintah rahasia dari pimpinan tertingginya? Ada fakta yang tidak terlihat, yakni Maeda adalah seorang militer yang harus mematuhui perintah jalur komando.

 

Berdasarkan fakta yang tidak terlihat ini, maka jawaban rasional adalah Maeda menjalankan perintah rahasia untuk merealisasikan strategi Kabinet Koiso. Artinya, ia dilindungi oleh pimpinan tertingginya sehingga penguasa militer Jepang di seluruh Jawa dan Jakarta tidak dapat membubarkan pertemuan di rumah Maeda untuk merumuskan teks proklamasi pada 16 Agustus 1945 ataupun pelaksanaan proklamasi pada keesokan harinya di halaman rumah Soekarno.

 

Interpretasi baru terhadap fakta-fakta persiapan dan pelaksanaan proklamasi merupakan salah satu cara untuk mencerahkan dan mencerdaskan generasi digital dalam memahami sejarah proklamasi yang sangat penting bagi dirinya, teman-temannya, dan bangsanya. Perlu dilakukan pengujian terhadap interpretasi baru ini agar sesuai dengan metode interpretasi dalam ilmu sejarah sehingga fakta-fakta yang sebenarnya terjadi dapat direkonstruksi menjadi sebuah narasi untuk menjelaskan sejarah proklamasi kepada generasi digital yang berpikir kritis terhadap narasi lama, warisan perang opini tahun 1945. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/17/meluruskan-narasi-sejarah-proklamasi-kemerdekaan-ri

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar