Anak-Anak
Yatim Piatu Korban Covid-19, Siapa Peduli? Bagong Suyanto ; Dekan dan Guru Besar Sosiologi Anak FISIP
Universitas Airlangga |
DETIKNEWS, 9
Agustus 2021
Serangan Covid-19 tak
pandang bulu. Virus jahat ini tidak hanya merenggut nyawa para orangtua dan
lansia, tetapi juga menyebabkan anak-anak tiba-tiba harus kehilangan
keluarganya. Di berbagai daerah, tidak sedikit anak-anak menjadi yatim piatu
karena kedua orangtuanya meninggal dunia usai terpapar Covid-19. Di tengah ancaman Covid-19
di Indonesia yang masih memburuk dan angka kematian pasien yang masih
meningkat, kita bias melihat kemungkinan jumlah anak yang kehilangan ayah
atau ibunya, atau bahkan keduanya semakin bertambah dan meresahkan. Menurut laporan Satgas
Penanganan Covid-19, angka harian pasien Covid-19 pada 20 Juli mencatatkan
korban meninggal dunia 1.280 orang, dengan tiga provinsi penyumbang angka
kematian terbesar yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Total
korban meninggal menurut data tersebut hingga 20 Juli mencapai 76.200 orang. Di Kerawang, Jawa Barat
seorang anak berusia 6 tahun mendadak harus menjadi yatim piatu karena kedua
orangtuanya mendadak meninggal dunia akibat Covid-19 pada 11 dan 14 Juli 2021
lalu. Sementara itu, di Bantul, 4 anak dilaporkan mendadak menjadi yatim
piatu karena kedua orangtuanya meninggal akibat Covid-19. Di Sukoharjo, Al
Ghifari Putra Setiawan bocah berusia 8 tahun kini menjadi yatim piatu setelah
kedua orangtuanya meninggal terpapar Covid-19. Tak hanya dua orangtuanya,
Ghifari juga kehilangan sang kakek. Selain itu, Alviano Dava
Raharjo atau Vino, bocah berusia 10 tahun asal Kutai, Kalimantan dilaporkan
juga menjadi yatim piatu usai ayah-ibunya meninggal dunia akibat positif
virus Covid-19. Dia dijemput ke Sragen, Jawa Tengah agar bisa dirawat
kakeknya, Yatin (56 tahun). Rentan Daftar anak-anak yang
mendadak menjadi yatim piatu gara-gara kedua orangtuanya menjadi korban
keganasan Covid-19 dapat terus diperpanjang. Selain anak-anak yang
dikemukakan di atas, di berbagai daerah masih banyak anak yang kehidupannya
kini terancam terlantar karena kedua oran tuanya meninggal mendadak. Meski anak yatim piatu
korban Covid-19 sebagian telah mendapatkan bantuan dan memiliki orangtua
asuh, bukan berarti persoalan telah selesai. Dengan dibantu sejumlah dana dan
jaminan dari orangtua asuhnya, kemungkinan anak yatim piatu kelaparan atau
terlantar pendidikannya akan dapat diatasi. Tetapi, lebih dari sekadar
bantuan ekonomi, anak-anak yatim piatu sesungguhnya membutuhkan pihak yang
bisa menjadi substitusi kebutuhan sosial-psikologisnya yang menderita
gara-gara kehliangan orangtuanya. Anak yatim piatu
sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori anak rawan atau
anak-anak membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection). Anak-anak yatim piatu
dikatakan terlantar apabila karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi
kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Seorang anak dikatakan
terlantar bukan sekadar karena ia sudah tidak lagi memiliki salah satu
orangtua atau kedua orangtuanya. Tetapi, terlantar di sini juga dalam
pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh-kembang secara wajar, hak anak
untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian
orangtua, karena ketidakmampuan atau karena kesengajaan. Seorang anak yang tidak
lagi memiliki orangtua, mereka umumnya rawan untuk diterlantarkan dan bahkan
diperlakukan salah (child abuse). Pada tingkat yang ekstrem, anak yaitu piatu
bukan tidak mungkin kehilangan kesempatan untuk menyongsong masa depannya
karena tiadanya perlindungan dan jaminan haknya terpenuhi. Di berbagai komunitas,
anak-anak yatim piatu seringkali menjadi korban pertama dan menderita, serta
terpaksa terhambat proses tumbuh-kembang mereka secara wajar karena
ketidakmampuan kerabat, masyarakat, dan pemerintah untuk memberikan pelayanan
sosial yang terbaik bagi anak-anak yatim piatu. Di Indonesia, diperkirakan
jumlah anak terlantar mencapai jutaan jiwa. Ini pun terbatas pada kelompok
anak-anak yang yatim piatu—di mana dari jumlah itu hanya sedikit di antara
mereka yang terjangkau pelayanan sosial. Di tahun 2021 ini, bisa dipastikan
jumlah anak terlantar yang ada akan jauh lebih banyak lagi, karena sejak
pandemi Covid-19 mulai merambah ke berbagai wilayah, maka sejak itu pula
kasus anak-anak yatim piatu terus bertambah. Masa
Depan Sebagian anak yatim atau
anak yatim piatu umumnya mereka tinggal di panti-panti dan hidup di bawah
asuhan pengelola panti. Bagi anak-anak yatim piatu, apa yang menjadi
kebutuhan mereka sebetulnya memang bukan sekadar memperoleh perlindungan dan
terpenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi yang tak kalah penting adalah bagaimana
mereka dapat memperoleh jaminan dan kesempatan untuk dapat tumbuh-kembang
secara wajar. Sekali pun banyak warga
masyarakat akan bersimpati dan peduli kepada nasib anak-anak yatim piatu yang
terlantar, tetapi dalam kenyataan mereka tetap saja rawan diperlakukan salah,
menjadi korban eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan
situasi, dan diterlantarkan, atau bahkan dilanggar haknya. Dari segi penampakan
fisik, perlakuan dan ancaman yang dihadapi anak-anak yatim piatu barangkali
memang tidak sedramatis ketika kita mendengar atau menyaksikan anak-anak yang
menjadi korban tindak kekerasan, seperti anak perempuan korban perkosaan atau
anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan: terluka secara fisik, atau
bahkan dianiaya hingga tewas. Tetapi, dari segi sosial dan psikologis,
ancaman yang dihadapi anak-anak yatim piatu sesungguhnya tidaklah kalah
berbahaya. Di tingkat individu,
anak-anak yang sejak dini terbiasa diterlantarkan, maka jangan heran jika
mereka kemudian tumbuh inferior, rendah diri atau sebaliknya menjadi agresif
dan nakal untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Bahkan, tidak
mustahil anak-anak yang diterlantarkan, kemudian terlibat dalam tindak
kriminal karena salah asuhan dan salah pergaulan. Bagi anak-anak yatim piatu
yang tinggal di panti-panti asuhan, untuk sebagian persoalan mereka kini
mungkin telah diatasi dengan pendekatan pengasuhan, pemberian bantuan dan
pemberian perlindungan. Tetapi, bagi anak-anak yatim piatu yang tinggal di
luar panti, boleh dikata sampai saat ini masih belum terumuskan pola
pendekatan macam apa yang tepat dan efektif untuk dikembangkan. Penanganan terhadap
ancaman Covid-19 dari segi medis memang bisa dilakukan melalui program
vaksinasi dan pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat. Namun lebih dari
sekadar pendekatan yang sifatnya regulatif dan mengancamkan sanksi, yang tak
kalah penting adalah bagaimana memastikan nasib anak-anak yatim korban
Covid-19 masa depannya tidak makin kelam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar