Dinar
Candy dan Kesehatan Psikologis Masyarakat Kota Dedy Rachmadi ; Alumnus Pascasarjana Kajian Pengembangan
Perkotaan Universitas Indonesia |
DETIKNEWS, 9
Agustus 2021
"Wah, Dinar Candy
yang kelihatannya serba kecukupan saja masih ngeluh stres ya gara-gara
pandemi. Sampai nekat cuma pakai bikini di pinggir jalan bawa poster kayak
orang demo. Gimana anak yang tiba-tiba jadi yatim piatu, istri menjadi janda,
pengusaha yang bangkrut, pedagang sepi pembeli, pekerja kena PHK ya?"
ujar istri saya sambil men-scroll di gawainya berita tentang kelanjutan kasus
DJ seksi itu. Saya spontan menanggapi,
"Kita yang setiap hari denger sirene ambulans, dapat kabar duka di WA
grup, sama seringnya pengumuman kematian di masjid jadi gampang deg-degan,
cemas, dan galau. Belum lagi kalau pagi ngurusin anak belajar online PJJ
ribet. Apalagi kemarin-kemarin tuh, yang pas banyak yang sakit tapi obat,
oksigen, sama kamar rumah sakit susah, semua ikutan pusing, stres." "Ini jangan-jangan
nanti kalaupun Covid-nya sudah hilang, stresnya yang tetap, asal jangan
lanjut jadi ODGJ aja," sahut istri mengakhiri obrolan sore sambil
tergelak getir. Dari pembicaraan itu, saya
jadi berpikir kerentanan kesehatan psikologis masyarakat perkotaan di masa
pandemi ini semakin bertambah. Di luar situasi pandemi saja, masyarakat
perkotaan yang dalam kesehariannya berhadapan dengan kemacetan jalan,
kebisingan suara, panasnya suhu udara, ancaman kriminalitas, kepadatan
permukiman sudah membuat rawan kesehatan psikologis. Maka menurut saya,
kesehatan masalah ini menjadi penting dan mendesak untuk ditangani agar tidak
menjadi ledakan masalah tersendiri kelak kemudian hari. Deteksi
Dini Tindakan Dinar Candy
berbikini di jalan salah satu contoh bahwa warga kota dalam kondisi tertekan
secara psikologis bisa melakukan sesuatu di luar kewajaran. Sebagai publik
figur yang dikhawatirkan adalah tindakan tersebut berpotensi menginspirasi
warga kota yang merasa tertekan juga untuk melakukan tindakan-tindakan di
luar kewajaran lainnya. Tentu akan menjadikan situasi semakin sulit jika
skalanya menjadi meluas, apalagi jika sampai mengancam keselamatan warga kota
lainnya. Untuk memiliki gambaran
sejauh mana kerentanan psikologis di masa pandemi yang terjadi di masyarakat,
barangkali dapat dielaborasi dalam kegiatan 3T (test, treatment, tracing)
atau ketika pemberian vaksin Covid-19, dengan menambahkan seperangkat
instrumen indikator gejala psikologis yang berfungsi sebagai upaya mendeteksi
gejala sedini mungkin. Dari situ setidaknya dalam
merumuskan tindakan intervensi kita memiliki gambaran yang lebih komprehensif
tentang potensi jumlah penderita, derajat kesehatan psikologisnya, serta
jenis-jenis masalah psikologis yang dihadapi. Masalahnya sekarang,
mungkin belum terintegrasinya upaya deteksi dini penurunan kesehatan
psikologis di masa pandemi di masyarakat dengan upaya deteksi dini penularan
Covid-19. Target harian jumlah warga yang diperiksa saja hingga hari ini
sulit tercapai. Dengan menambahkan indikator kesehatan psikologis pada saat
yang sama memang masih perlu disimulasikan, tetapi paling tidak menjadi
pertimbangan memaksimalisasi momentum interaksi tersebut. Setelah mendapatkan
gambaran utuh tentang kondisi kesehatan psikologis masyarakat, maka merancang
upaya tindakan dapat menjadi lebih tepat sasaran. Memilih mana masalah yang
dapat diselesaikan lewat pendekatan penambahan fasilitas perkotaan agar
terbangun kenyamanan aktivitas warga. Atau, selain itu bentuk
pengaturan interaksi seperti apa yang mampu menekan penurunan kesehatan
psikologis. Hingga membuat format kolaborasi dengan jejaring masyarakat
sampai skala yang paling mikro agar masyarakat perkotaan semakin adaptif
menangani masalah kesehatan psikologis di masa pandemi. Berbasis
Masyarakat Pilihan penambahan
fasilitas perkotaan pendukung kesehatan psikologis warga kota tampaknya dalam
situasi krisis ekonomi akibat pandemi menjadi kendala tersendiri. Termasuk
fasilitas hiburan berbasis digital juga dominan masuk dalam ranah komersial. Perlu kreasi-kreasi
tertentu pemanfaatan frekuensi publik maupun jejaring digital untuk penguatan
kesehatan psikologis warga kota yang difasilitasi pemerintah. Bukan
sebaliknya, lebih banyak memfasilitasi upaya komersialisasi masalah kesehatan
psikologis masyarakat. Mengaktivasi jejaring kesehatan di masyarakat yang
sudah ada selama ini seperti kelompok Dasa Wisma, Jumantik, Posyandu sebagai
mitra strategis penanganan adalah langkah yang paling mungkin dapat
dilakukan. Tentu kita tidak menutup
mata dengan kondisi bahwa sebagai bagian dari warga yang terdampak, personel
jejaring ini juga yang mengalami masalah kesehatan psikologis pandemi. Tetapi
paling kurang mereka lebih memiliki pengalaman dan dasar pengetahuan kondisi
kesehatan masyarakat tempat mereka tinggal. Pola jemput bola dengan
mendatangi masyarakat langsung menurut saya dapat memberikan efek psikologis
langsung. Kehadiran tim kecil yang beranggotakan tenaga kesehatan, kader
jejaring kesehatan, dan unsur keamanan bisa dirasakan sebagai kehadiran
langsung dan bisa membuat warga yang sedang mengalami masalah merasa
diperdulikan. Efek lainnya adalah gerakan ini bisa memantik partisipasi
masyarakat lebih luas untuk terlibat Kelelahan (fatique) psikologis akibat pembatasan
aktivitas, ketidakpastian yang terus mendera di masa pandemi, bisa menyasar
kepada siapa pun. Kerentanan kondisi yang dapat mendorong tiap individu
melalukan tindakan di luar kewajaran. Maka inisiatif untuk mendorong upaya
pencegahan dan promosi menjaga kesehatan psikologis juga harus menjadi bagian
yang tidak dari penanganan penyebaran Covid-19. Sebelum kita semua terkaget
kaget bukan hanya Dinar Candy yang bertindak dil uar kewajaran; bisa saja
saya, Anda, atau kita semua. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar