Keruhnya
Mata Air Keadilan Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 7 Agustus 2021
Lama
tak berkabar, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said
mengirim pesan kepada saya. Ia mengirim tangkapan layar dari Twitter-nya.
Bunyinya demikian: ”Tegaknya hukum
adalah mata air bagi keadilan sosial. Kini mata air itu seperti tanpa
penjaga. Penjahat, koruptor, bahkan oknum penegak hukum berlomba nyampah,
mengotorinya. Jalan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab, kian terjal…”. Pesan
itu dalam. Ia memberi respons atas card dengan foto jurnalis Najwa Shihab
tentang obral korting sedang terjadi di pengadilan kita. Kebetulan Rabu
malam, 4 Agustus 2021, saya di Satu Meja Kompas TV dan Najwa di Mata Najwa
mengangkat tema serupa: ketidakadilan dalam pengadilan Indonesia. Tontonan
ketidakadilan berupa diskon besar diberikan hakim menjelang peringatan Hari
Ulang Tahun Ke-76 Republik Indonesia dan peringatan Hari Keadilan
Internasional (World Day for International Justice) 17 Juli 2021. Boleh saja
tidak ada kaitannya kalau kemerdekaan yang diberikan adalah remisi. Tetapi,
publik nggrundel ketika hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari dipotong dari
10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Jaksa
pun tidak kasasi. Eksekusi Pinangki baru dilakukan setelah publik
mempersoalkan. Ia baru diberhentikan secara tidak hormat pada 6 Agustus 2021.
Vonis Joko Tjandra juga didiskon dari 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6
bulan. Kasus
Pinangki adalah pintu masuk mengungkap mafia peradilan di negeri ini. Publik
bertanya bagaimana mungkin Joko Tjandra yang buron sebelas tahun bisa ditemui
Pinangki di Kuala Lumpur, Malaysia. Mustahil pula Joko Tjandra bisa
keluar-masuk Indonesia tanpa adanya kerja sama dengan aparat hukum. Kasus
Pinangki adalah contoh konkret praktik mafia hukum yang paripurna. Ada jaksa,
ada polisi, ada advokat, ada politisi, dan ada pengusaha. Semuanya bermain.
Itu semua terbukti di pengadilan. Namun, Pinangki menutup rapat siapa ”king
maker”, siapa ”bapakku” dan ”bapakmu” dalam percakapan dengan advokat Anita
Kolopaking. Ruang
peradilan yang terbuka itu kini ditutup kembali. Model penegakan hukum
terpimpin ini mengingkari prinsip kesamaan di muka hukum. Meski tak bisa
dilihat dengan kasatmata, terasa ada aktor yang ”mengatur” penegakan hukum,
mengarahkan siapa yang harus dituntut dan diadili, dan siapa yang dilindungi
dengan cara menghilang sementara waktu. Mau
dijerat dengan pasal penyuapan atau pasal korupsi, tergantung politik
penuntutan dan situasi kebatinan. Ini mengotori mata air keadilan. Mereka
harus dibersihkan agar mata air keadilan jernih dan bisa menjawab dahaga
keadilan publik. Saya
teringat kutipan Bung Hatta: ”Kurang cerdas dapat diperbaiki. Kurang cakap
dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit
diperbaiki”. Apakah kejujuran dan keadilan jadi barang langka di negeri ini? Rasa
keadilan juga terkoyak melihat dua penyidik KPK yang mengungkap korupsi
bantuan sosial dihukum Dewan Pengawas KPK karena pelanggaran kode etik.
Seorang penyidik dihukum potong gaji 10 persen selama enam bulan. Seorang
penyidik lain ditegur. Pada sisi lain, pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri yang
akan menuntut mati pelaku korupsi pada masa pandemi Covid-19 tak kunjung
berwujud. Bekas Menteri Sosial Juliari Batubara yang terlibat dugaan korupsi
pengadaan bansos dituntut 11 tahun penjara. Korupsi
adalah komorbid, penyakit bawaan, bangsa ini sejak era VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) sampai saat ini. VOC dipelesetkan menjadi Vergaan Onder
Corruptie, runtuh lantaran korupsi. Sindhunata
saat memberi pengantar dalam buku Negara Bangsa di Simpang Jalan (2021)
dengan mengutip MA Uwe Dolata, seorang pakar yang menganalisis korupsi dan
kultur, menggambarkan korupsi di negeri ini tidak hanya situatif dan
struktural, tetapi endemis. Maksudnya, korupsi tidak lagi terjadi karena
dipaksa oleh situasi tertentu atau karena struktur tertentu, tetapi telah
bersarang dalam batin orang sehingga menjadi kegiatan bawah sadar yang tak
lagi terkontrol oleh rasio. Gerakan
reformasi 1998 adalah upaya rakyat memotong penularan korupsi ke seluruh lini
kehidupan. Kemarahan rakyat dikanalisasi secara politik dalam Tap MPR No
XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN). Roh
dari Tap MPR No XI/1998 itu ada di Pasal 4 yang berbunyi: ”Upaya
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas
terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga
dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden...”. Tap
MPR itu merupakan pembatasan penyelenggara agar tidak korupsi dengan
mengharuskan penyelenggara melaporkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.
Namun sayang, seiring dengan perjalanan waktu, reformasi dikorupsi. Anak
kandung reformasi bernama KPK diamputasi. Singkatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, KKN, dipelesetkan menjadi NKK (narik kanca-kanca). Menunjuk eks
terpidana korupsi dalam mengisi jabatan di BUMN adalah contoh terakhir. Salah
secara legal, tidak. Tetapi, secara moral kurang pas. Kajian
Rimawan Pradiptyo dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia (2009) menyebutkan,
total biaya sosial dari korupsi di Indonesia sejak 2001 hingga 2008 adalah Rp
67,5 triliun. Itu konservatif. Namun, jaksa menuntut Rp 31,8 triliun. Total
hukuman finansial turun seiring dengan jenjang pengadilan negeri dan MA
menjadi Rp 3,36 triliun dan Rp 4,7 triliun. Pada
tahun 2020, Indonesia Corruption Watch menemukan rata-rata hukuman koruptor
adalah 3 tahun 1 bulan. Rendahnya hukuman badan dan denda tidak produktif
karena mendorong orang jadi koruptor. Saat mereka di penjara, dana yang
disembunyikan bisa diputar untuk bekal kehidupan setelah penjara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar