Jangkar
Kebudayaan yang Hilang Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi FISIP Universitas
Malikussaleh; Eksponen Mufakat Budaya Indonesia |
KOMPAS, 8 Agustus 2021
Meninggalnya
Radhar Panca Dahana pada 22 April 2021 tidak hanya menyebabkan hilangnya
seorang sahabat yang sangat intensif bicara tentang kesenian, filsafat, dan
kebudayaan, tetapi juga hilangnya satu jangkar penting dalam gerakan
kebudayaan nasional. Kepergiannya setelah lebih dari 20 tahun menderita sakit
ginjal merupakan kehilangan darah segar bagi pegiat kebudayaan. Ia
termasuk sedikit orang Indonesia yang serius memikirkan kebudayaan nasional.
Dalam banyak kesempatan, Radhar sangat bersemangat bicara tentang strategi
kebudayaan di tengah eksistensi kebudayaan yang, menurut dia, telah
kehilangan arah. Apa
yang dipikirkan, dibicarakan, dan dituliskan oleh Radhar beberapa hal tidak
selalu bisa dikerangkai secara ”akademik”. Baginya, asumsi-asumsi
teoretis-akademis, apalagi yang dilakukan di dunia kampus, banyak yang sudah
tertinggal, usang, dan normatif. Mufakat Budaya Rintisan
”sejarah” penulis bersama Radhar dimulai dengan hadirnya Mufakat Budaya yang
dilaksanakan di sebuah hotel di Cikini pada 2009. Kegiatan itu dilaksanakan
setelah Pilpres 2009. Saat
itulah pertama kali penulis bersahabat intim dengannya, sekaligus menyaksikan
aforismenya tentang reorientasi pembangunan budaya. Sebagai bangsa yang telah
memanggul sejarah dan kehidupan ribuan tahun secara maritim, Nusantara,
menurut Radhar, menjadi tempat bagi manusia beretos egaliter, kosmopolit, dan
inklusif. Ironisnya,
hanya dalam rekayasa politik rezim Orde Baru, telah bertransformasi secara
radikal membentuk manusia dengan mental priayi, etnosentris, asal bapak
senang, dan sektarian. Pertemuan
itu melahirkan dokumen historis yang dinamakan ”Deklarasi Cikini”. Dokumen
kebudayaan itu memiliki gema yang cukup kuat dan menjadi penanda strategi
kebudayaan Radhar yang khas. ”Apa
yang terjadi di Indonesia masa kini adalah kebingungan dan kekeliruan yang
akut di semua level dan elemen kehidupan kita. Praksis kekuasaan seperti itu
merupakan produk dari sebuah pendekatan kebudayaan yang dilandasi oleh cara
berpikir yang agraris, orientasi kedaratan atau kontinental. Semua
hal itu jelas mengingkari bukan hanya fakta historis bahwa bangsa-bangsa di
Nusantara ini berjaya dan disegani dunia karena budaya maritimnya, sejak
lebih dari 5.000 tahun SM, tapi juga daya hidup tradisinya yang memiliki
kemampuan teruji untuk tetap berkembang, melakukan proses pertukaran budaya
yang konstruktif dan mutualistis, dengan karakter dasarnya yang toleran,
terbuka, dan egaliter.” Itulah
preambul pertama dari kelembagaan yang kemudian identik dengan gerakan
kebudayaan Mufakat Budaya. Deklarasi itu ditandatangani oleh 40 orang yang
mewakili lintas profesi dan kepentingan. Dari
pertemuan itu penulis melihat Radhar tidak lagi tersekat dan bertindak miopik
hanya pada aspek kesenian, terutama teater, yang telah digelutinya sejak
belia. Ia telah masuk pada dimensi yang dikatakan antropolog EB Tylor,
memperjuangkan kebudayaan sebagai nilai kehidupan kompleks yang dilakoni
manusia dalam membentuk pikiran, kepercayaan, dan perasaannya. Kebudayaan
baginya harus melompati ”batas-batas pembaratan”, sebuah istilah sejarawan
Perancis, Denys Lombard. Narasi Nusantara selama ini tertutup pasir dan asap
”orientalisme” sehingga gagal menembus otentisitas dan glorifikasi peradaban
yang telah lama tumbuh. Gerakan Mufakat Budaya I itu terus terasa denyutnya
hingga Mufakat Budaya III yang dilaksanakan sebelum Pilpres 2019. Menusantarakan Indonesia Gerakan
Mufakat Budaya kemudian ter-install ke dalam gerakan regional. Penulis atas
amanat Radhar menjadi ketua panitia Mufakat Budaya Sumatera di Banda Aceh. Beberapa
tempat lain juga melaksanakan kegiatan itu, seperti di Manado, Kupang, dan
Bali. Kegiatan
ini sebenarnya dirancang dengan keterlibatan Dirjen Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, terkait upaya menyambut pelaksanaan Forum
Kebudayaan Dunia (WFC) pada 2015. WCF adalah kegiatan yang digagas Pemerintah
Indonesia dan UNESCO untuk merayakan keberagaman, perdamaian, dan pembangunan
kebudayaan. Dari
pertemuan itu hadirlah Deklarasi Kutaradja, yang ditandatangani seniman,
akademisi, aktivis perempuan, dan kaum terpelajar tanah Melayu, yang
merespons situasi politik nasional, termasuk memberikan dorongan dan harapan
kepada pemerintah baru, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dalam menjalankan peran
pembangunan dengan berbasis nilai-nilai kebudayaan dan pengetahuan Nusantara
yang khas. ”Sesungguhnya
Sumatera telah menjadi serambi peradaban Asia Tenggara dan dikenal melalui
jejak-jejak arkeologis-antropologis, paling tidak sejak 3.000 tahun lalu. Keberadaan
Sumatera sebagai entitas kultural dan etnis cukup penting bagi keberadaan
sejarah Nusantara, tidak bisa disunyikan begitu saja. Sebagai kontinen yang
telah mampu mengonstruksikan nilai-nilai peradaban, berdiaspora dalam
pertemuan ras-ras penting di dunia dan menjadikan laut sebagai salah satu
konstruksi kulturalnya”. Dokumen
Deklarasi Kutaradja juga sangat khas pengaruh Radhar. Ia ikut memberikan
ceramah panjang tentang kontinum peradaban Nusantara dan hubungannya dengan
dunia luar. Padahal, beberapa jam sebelumnya, Radhar masih lemas karena baru
melakukan cuci darah di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh. Korupsi, budaya yang menistakan Salah
satu yang menjadi sikap utama Radhar adalah kejengahannnya pada budaya
korupsi. Kritiknya tentang itu berpuncak pada rimbunnya praktik predatoris
dan salah urus politik dan birokrasi. Sikap
Radhar seperti itu merupakan turunan pengalamannya sejak kecil. Ia terbiasa
hidup menggelandang dan melihat bagaimana lapisan masyarakat terbawah sering
menghadapi situasi dikalahkan ketika berhadapan dengan proses administrasi
negara. Pada
setiap fase pengepungan KPK, Radhar hadir dengan semangat pembelaan yang
menyala. Itu bukan saja melalui tulisannya, tapi juga tulisan teman-temannya. Penulis
sendiri pernah diminta menulis tentang kasus Cicak vs Buaya yang kemudian dimuat
di rubrik Teroka (”Sangkakala Peradaban Cicak Vs Buaya”, Kompas, 5/12/2009).
Dalam tulisan itu penulis bersepakat dengan Radhar bahwa sistem pemilu
demokratis tidak otomatis menghilangkan budaya politik predatoris, bahkan
bisa semakin ganas. Salah
satu karya yang dihasilkan oleh Radhar untuk mengungkap kegelisahannya atas
korupsi adalah buku komik Mat Jagung: Kabut Manusia (2009). Komik bergaya
”Perancis” itu menjadi ruang imajinatif bagi Radhar menghadirkan hero yang
kuat menentang koruptor. Tentu
apa yang dipersonakan oleh Radhar tentang sosok jaksa itu tak ada di dunia
nyata. Di dunia nyata kita lebih sering melihat ”jaksa nanggung” dibandingkan
jaksa agung; sebuah metafora yang menggeser realitas yang terpilin-pilin di
tengah bangsa yang mengaku menjalankan reformasi. Ia
juga ikut mengkritik model kekuasaan yang sangat liberalistis dari UU omnibus
law, yang tidak hanya hadir dengan kepongahan borjuistiknya, tapi juga
membonsai ekonomi masyarakat bawah, termasuk dunia pendidikan. Sahabat budaya Meskipun
kritiknya kadang menyambar bagai petir di bulan Juni, seperti protesnya atas
komersialisasi Taman Ismail Marzuki, ia tidak pernah menganggap ada musuh
dalam hidup. Ia berteman dengan semua orang, mengundang semua orang untuk
bermufakat demi kebudayaan lebih baik. Penulis
pernah menghabiskan semalam suntuk di rumahnya di daerah Pamulang, Tangerang
Selatan, berdiskusi tentang sejarah tasawuf Hamzah al-Fansury dan Syekh
Abdurrauf as-Singkily. Ia heran dengan praktik formalisasi syariah di Aceh di
tengah harta karun filsafat kosmopolitanisme para filsufnya di masa lalu. Radhar
Panca Dahana memang telah pergi. Namun, kita akan terus mengingatnya, gerakan
kebudayaannya, dalam doa, bermunajat di dalam sunyi di tengah politik yang
semakin bising. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar