Kamis, 12 Agustus 2021

 

Sertifikat Vaksin di Ruang Publik

Muri Maftuchan ;  Dokter

KOMPAS ,12 Agustus 2021

 

 

                                                           

Penanganan pandemi Covid-19 dalam dua bulan terakhir ini memasuki era baru.

 

Setelah hampir dua bulan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pemerintah memutuskan melakukan relaksasi dengan berbagai kebijakan. Di antaranya, kewajiban menunjukkan sertifikat vaksin untuk menikmati layanan ruang publik, dari bandara, stasiun, restoran, bioskop, hingga tukang cukur.

 

Kebijakan baru ini direspons masyarakat dengan antusiasme untuk memiliki sertifikat vaksin. Situs server pencetakan sertifikat vaksin milik Kementerian Kesehatan sempat mengalami beban penuh dalam memenuhi keinginan masyarakat.

 

Dengan adanya kebijakan baru ini, masyarakat dilonggarkan untuk melakukan aktivitas sosial dengan menunjukkan sertifikat di mana kegiatan tersebut dibatasi pada masa penerapan PPKM. Apakah kebijakan ini mudah terlaksana dan memberi dorongan bagi penanganan pandemi Covid-19?

 

Bias pemahaman

 

Akibat minimnya penjelasan, persyaratan menunjukkan sertifikat vaksin bisa mengakibatkan bias pemahaman yang dapat menumbuhkan anggapan keliru di masyarakat, bahwa dengan punya sertifikat bisa bebas beraktivitas di mana saja. Gejala ini terlihat dari antusiasme besar masyarakat untuk memiliki sertifikat tak sebesar kepatuhan masyarakat menjalankan protokol kesehatan (prokes) yang kian hari makin kendur.

 

Vaksin memang terbukti efektif menurunkan angka kasus berat dan kematian akibat Covid-19. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyebutkan angka kematian (case fatality rate/CFR) pada kasus sebelum divaksin 1,7 persen. Sementara pada kasus divaksin dosis pertama, CFR turun ke 0,33 persen dan makin menurun pada kasus divaksin dosis kedua 0,21 persen.

 

Angka kematian menurun drastis pada kasus penyakit dengan pasien yang mendapat dosis lengkap. Namun, berkaca pada evidence base dengan adanya varian Delta yang baru, orang tervaksin masih ada kemungkinan untuk terpapar Covid-19.

 

Dikutip Reuters (24/7/2021), dari 1.096 kasus Covid-19 di Singapura, 44 persen terjadi pada orang yang divaksinasi dosis lengkap, 30 persen divaksinasi sebagian, dan lebih dari 25 persen tidak divaksinasi. Masih belum diketahui persis apa penyebab orang tervaksin masih terpapar korona.

 

Adanya fenomena orang tervaksin terinfeksi, apa pun penyebabnya, tetap harus diwaspadai. Orang yang memiliki sertifikat tanpa melakukan prokes tak benar-benar bebas dari varian baru. Lebih tepat dikatakan, pemilik sertifikat memiliki risiko lebih rendah untuk mempunyai gejala berat Covid-19 daripada dianggap tidak akan tertular atau tidak menulari orang lain.

 

Sulit dalam pengawasan

 

Langkah memperlihatkan sertifikat vaksin yang paling sulit adalah pada tingkat pelaksanaan. Sepintas terdengar sangat mudah untuk dilakukan. Hanya mengunduh (download), mencetak, dan memperlihatkan kepada petugas yang berjaga.

 

Memperlihatkan sertifikat vaksin mungkin tak akan ada masalah jika dilakukan di instansi pemerintah yang punya sumber daya mumpuni. Potensi masalah akan timbul apabila terjadi di institusi nonpemerintah/swasta, seperti restoran, warung, minimarket, dan tukang cukur. Apakah setiap petugas swasta yang berjaga mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengklarifikasi keabsahan sertifikat?

 

Persoalan selanjutnya yang krusial adalah apabila seorang konsumen ingin menikmati makanan/jasa layanan, tetapi ia tak memiliki sertifikat, sedangkan pemilik restoran/jasa layanan membutuhkan pendapatan. Apakah konsumen akan diberikan jasa atau akan ditolak?

 

Menerima konsumen tanpa sertifikat berarti melanggar peraturan penanganan pandemi, lantas siapakah yang dapat mengawasi aturan tersebut setiap waktu?

 

Pelanggaran aturan pandemi tidak semata-mata pelanggaran peraturan, tetapi juga berimplikasi pada naiknya potensi penularan. Pelanggaran peraturan berarti mengkhianati pengorbanan seluruh masyarakat yang mematuhi PPKM.

 

Sementara, jika ditolak, bagaimana dengan potensi konflik di masyarakat. Penolakan dari penyedia jasa dapat memicu emosi konsumen yang marah karena merasa tak dihargai. Penyedia jasa juga bakal kehilangan pendapatan. Sampai di mana komitmen penyedia jasa untuk mematuhi aturan dan menanggung kerugian?

 

Penguatan peraturan berbasis pengawasan

 

Ide untuk memperlihatkan sertifikat vaksin merupakan ide cemerlang, tetapi perlu perhitungan matang terkait pelaksanaan di lapangan. Karena itu timbul pertanyaan, mengapa tak mematangkan aturan yang sudah ada dengan memperkuat pengawasan dibandingkan melahirkan aturan baru yang rentan konflik dan pelanggaran.

 

Konsep menjaga jarak telah terbukti di berbagai penelitian ilmiah signifikan menurunkan tingkat penularan. Aturan lama pembatasan kapasitas orang dan ruang masih menjadi cara yang dianggap paling mudah dalam pengawasan.

 

Aturan lama ini masih harus diperkuat dengan berbagai strategi, dibarengi penegakan hukum yang terukur. Contoh, restoran/warung yang memilih melakukan dine-in diwajibkan dan dipantau untuk mengurangi jumlah tempat duduk dan mengatur penempatan kursi agar pengunjung tak mudah melakukan kontak dekat kurang dari dua meter.

 

Plus, kewajiban melakukan kontrol sirkulasi aliran udara di luar dan dalam ruangan. Jika tak sanggup memenuhi, penyedia layanan diwajibkan memberlakukan take away.

 

Pengawasan fisik bersifat statis lebih mudah dibandingkan pengawasan dinamis, seperti mengawasi orang untuk menunjukkan sertifikat. Pelaksanaan prokes seyogianya tak cukup hanya dengan mengawasi perilaku manusia, tetapi juga merancang kondisi agar perilaku manusia dipaksa secara alamiah menjalankan prokes.

 

Aturan untuk menunjukkan sertifikat vaksin harus dipahami sebagai upaya untuk mengakselerasi jumlah orang yang divaksin, melalui pembatasan kegiatan pada orang yang tak mau divaksin. Vaksinasi dosis lengkap terbukti mengurangi angka kematian akibat Covid-19. Untuk itu, vaksinasi mutlak diperlukan dan percepatan vaksinasi perlu mendapat dukungan penuh guna mencapai kekebalan komunal.

 

Adanya pemahaman keliru di masyarakat atas penggunaan sertifikat vaksin perlu jadi perhatian pemangku kebijakan agar tak menghasilkan perilaku negatif di kemudian hari. Pemahaman salah bisa memicu naiknya kembali penularan.

 

Pelaksanaan aturan yang mewajibkan masyarakat menunjukkan sertifikat vaksin harus tetap dibarengi kewajiban melaksanakan prokes secara ketat. Menjalankan prokes dengan vaksinasi masih merupakan cara terbaik saat ini untuk mempercepat akhir pandemi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar