Kesalahan
Fatal Penggunaan Kata ”Meneladani” Amin Iskandar ; Penyelaras Bahasa Kompas |
KOMPAS, 7 Agustus 2021
Kita
tentu sering melihat baliho besar di pinggir jalan dalam rangka peringatan
hari keagamaan ataupun hari kelahiran tokoh-tokoh besar nasional. Baliho
tersebut biasanya berisi ajakan mencontoh keteladanan tokoh-tokoh agama atau
pahlawan nasional. Kata yang banyak tertera pada baliho-baliho itu adalah
meneladani. Kata
meneladani juga lazim digunakan
dalam berbagai kesempatan tanpa ada yang mempersoalkan. Pada momen Idul Adha
belum lama ini, misalnya, para pemuka agama mengangkat kisah Nabi Ibrahim.
Mereka dalam ceramah-ceramahnya mengajak umat untuk ”meneladani” keikhlasan
Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya atas perintah Tuhan. Demikian
halnya dalam peringatan Maulid Nabi, nasihat untuk mencontoh akhlak mulia
Nabi Muhammad SAW juga disampaikan oleh para pemuka agama. Pada spanduk
perayaan hari kelahiran Nabi tersebut kerap tertulis kata meneladani, contohnya: ”Mari Kita
Meneladani Akhlakul Karimah Nabi Muhammad SAW”. Saat
peringatan Hari Pahlawan, para pejuang bangsa diangkat namanya untuk
dijadikan contoh atau teladan dalam rangka cinta Tanah Air. Instansi
pemerintah dan swasta berlomba-lomba mengajak masyarakat untuk ”meneladani”
kepahlawanan para pejuang bangsa yang telah berjasa bagi Republik. Kata
meneladani juga dipakai dalam
berbagai judul buku, tema diskusi, dan acara televisi. Saking
seringnya kata meneladani muncul, kita terus memaknai kata tersebut apa
adanya tanpa menyadari bahwa sebenarnya penggunaan kata itu tidak tepat.
Kesalahan berulang ini sesungguhnya fatal karena makna katanya melenceng dari
yang dimaksudkan. Mencontoh Mari
kita telusuri dari mana awal mula kesalahan yang sudah sangat umum ini. Kata
meneladani dipakai dengan anggapan kata tersebut bermakna ’mengambil
teladan’, ’mencontoh’, atau ’meniru’ seseorang atau tokoh yang memiliki
perilaku mulia atau berjasa besar terhadap banyak orang. Padahal,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata meneladani bermakna
’memberikan teladan’. Meneladani berasal dari kata dasar teladan yang
mendapat imbuhan meng-i. Adapun teladan bermakna sesuatu yang patut ditiru
atau baik untuk dicontoh, yakni tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan
sebagainya. Untuk
lebih memahami perbedaannya, kita ambil contoh kalimat dalam berita di sebuah
media daring berikut ini. ”Dalam
peringatan Maulid Nabi, Presiden mengajak umat Islam untuk meneladani akhlak terbaik Nabi
Muhammad SAW yang sangat relevan dalam situasi pandemi saat ini, yaitu peduli
terhadap lingkungan sekitar”. Dalam
berita ini disebutkan bahwa Presiden mengajak umat Islam untuk mengambil
pelajaran dari sosok Nabi Muhammad yang menjadi suri teladan. Akhlak Nabi
Muhammad, salah satunya peduli terhadap lingkungan sekitar, dijadikan contoh
terbaik untuk menghadapi masa pandemi Covid-19 yang tidak bisa diatasi secara
individual karena memerlukan ikhtiar bersama. Jelas
bahwa penggunaan kata meneladani dalam berita tersebut memiliki makna: umat
Islam diharapkan mengambil teladan atau mencontoh Nabi Muhammad. Namun,
jika kita kembali melihat arti kata meneladani dalam KBBI, yakni ’memberikan
teladan’, kalimat dalam berita tersebut justru bermakna kebalikannya. Kalimat
di atas berarti Presiden mengajak umat Islam ’untuk memberikan teladan’
kepada Nabi Muhammad. Tentu
hal itu sangat tidak mungkin. Bagaimana mungkin umat memberi contoh kepada
Nabi, yang sifat dan perbuatannya lebih mulia. Sebaliknya, Nabi-lah yang
memberikan teladan kepada umat. Oleh karena itu, kalimat dengan menggunakan
kata meneladani di atas sungguh
melenceng dari maksud sebenarnya. Contoh
lainnya: ”Generasi
muda diajak untuk meneladani pahlawan bangsa dalam mencintai Tanah Air”. Sama
seperti kalimat sebelumnya, kalimat di atas menyimpang dari maksud
sebenarnya. Tentu tidak sesuai logika bahwa generasi muda yang memberikan
teladan kepada para pahlawan yang telah tiada dan berjasa besar terhadap
bangsa. Meneladan Setelah
memahami kesalahan fatal ini, jadi sesungguhnya kata apa yang sesuai untuk
konteks kalimat-kalimat di atas? Jawabannya tentu dengan melihat kembali
makna yang tepat di kamus. Dalam
konteks menjadikan seorang tokoh sebagai teladan, kata yang semestinya digunakan
adalah meneladan alih-alih meneladani. Meneladan, sesuai dengan KBBI,
bermakna ’mencontoh’ atau ’meniru’. Dengan demikian, perbaikan kalimat dapat
dilakukan dengan mengganti kata meneladani menjadi meneladan: ”Generasi
muda diajak untuk meneladan pahlawan bangsa dalam mencintai Tanah Air”. Kalimat
itu berarti yang menjadi teladan adalah pahlawan bangsa, sedangkan yang
mengambil teladan adalah generasi muda. Dengan demikian, makna kalimat
tersebut sesuai dengan maksudnya. Begitu
pula untuk contoh kalimat sebelumnya, perbaikannya menjadi: ”Dalam
peringatan Maulid Nabi, Presiden mengajak umat Islam untuk meneladan akhlak
terbaik Nabi Muhammad SAW yang sangat relevan dalam situasi pandemi saat ini,
yaitu peduli terhadap lingkungan sekitar”. Untuk
meyakini perbaikan yang kita lakukan itu tepat atau tidak, kata meneladan
bisa diuji menggunakan sinonim atau persamaan katanya, seperti mencontoh atau meniru. Meneladani Mengenai
kata meneladani, bagaimana penggunaan kata tersebut yang benar? Untuk
membedakan penggunaan kata meneladan dan meneladani, kita ambil contoh dua
kalimat sederhana berikut. 1. Anak
meneladan 2. Orangtua
meneladani Kalimat
pertama berarti seorang anak mencontoh orangtuanya. Adapun kalimat kedua
bermakna orangtua mencontohi (memberi contoh kepada) anaknya. Nah,
mulai sekarang, jika ada orang memberikan nasihat untuk meneladani orangtua,
sudah selayaknya kita menolak. Sebab, tentu saja, yang tepat adalah kita
harus meneladan orangtua. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar