Ekonomi
Inklusif Pesantren Ahmad Sahidah ; Kepala Staf Pimpinan Pondok Pesantren Nurul
Jadid Paiton Jawa Timur |
REPUBLIKA, 6 Agustus 2021
Dalam sebuah pengukuhan pengurus Himpunan Ekonomi
Bisnis Pesantren (Hebitren) Wilayah Jawa Timur (5/5), Kiai Hasib Wahab
sebagai ketua umum menegaskan, Hebitren adalah persatuan pesantren yang tidak
dibatasi aliran mazhab dan pemikiran. Mengingat organisasi berskala nasional,
kehadiran pondok Muhammadiyah dan Hidayatullah adalah penyangga yang akan
kian mengukuhkan Hebitren. Hebitren adalah wadah kemandirian pesantren demi
percepatan ekonomi berbagai unit usaha di pondok. Tentu, ini tak semata-mata pengumpulan
keuntungan, tapi juga peningkatan kemampuan pondok mengelola aset, jaringan,
dan potensi usaha mikro warga sekitar. Wadah ini lebih luwes daripada
Himpunan Pengusaha Nahdliyyin (HPN) yang bergerak di arena sama. Bahkan, MUI yang selama ini dipandang sebagai
institusi fatwa juga membentuk Komite Pemberdayaan Ekonomi Umat. Komisi ini
berusaha menjadikan halal bukan hanya stempel sertifikasi, melainkan juga
nilai tambah agar usaha ekonomi menjadi bagian dari ibadah. Karena itu, berjamaah tidak hanya di masjid,
tetapi juga 98 persen peternak sapi kecil yang belum menyatukan diri agar
bekerja sama, sebagai satu kekuatan yang saling berjejaring. Potensi Harus diakui, kini hubungan pesantren dengan
pemerintah begitu dekat. Sebagai pengusung ekonomi syariah, pesantren
mendapatkan dukungan banyak pihak. Namun, sebesar apa pun sokongan, kerja
ekonomi modern menuntut profesionalisme dan manajemen prima. Selain itu, dua institusi memberikan perhatian
pada penguatan ekonomi Islam, Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES). Keduanya secara berurutan dipimpin Menteri Keuangan
Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir. Belum lagi, Komite Nasional Ekonomi dan
Keuangan Syariah (KNEKS), yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo juga
menjadi bagian dari orkestrasi pengembangan ekonomi keumatan. Secara
struktural, dorongan menguatkan ekonomi berbasis nilai agama sangat kokoh. Secara kultural, keberadaan 31.383 pesantren
secara ideal penopang teologis, ideologis, dan praktik ekonomi syariah yang
selama ini dipandang sebagai institusi pendidikan semata-mata. Padahal, sepanjang sejarahnya, banyak pondok
berdiri tak hanya atas dasar kehendak pengembangan ilmu keagamaan, tapi juga
pemberdayaan warga sekitar. Kini yang terakhir, makin berkembang seiring
kesadaran bahwa perubahan masyarakat sejalan dengan peningkatan pendapatan
dan akses ekonomi. Dengan jumlah santri 4,29 juta, potensi pasar dan pelaku
usaha ini begitu besar jika dikelola dengan baik. Untuk itu, ekosistem perlu dibangun secara
terukur. Bila tidak, potensi itu disergap pemodal besar. Belum lagi,
tantangan internal terkait pola kepemimpinan pondok yang hierarkis. Akar masalah Banyak pesantren belum sepenuhnya di bawah
payung yang sama untuk menaungi kegiatan ekonomi. Bahkan, banyak pondok yang
berada di bawah Nahdlatul Ulama memilih membangun bisnis hilir, sehingga
mereka menjadi kepanjangan industri besar. Usaha mengembangkan UMKM masih menjadi
retorika dan catatan di atas kertas. Kisah sukses Pondok Sidogiri mengelola
koperasi masih terbatas di wilayah Jawa Timur dan belum merupakan bagian
jaringan lebih besar. Kalau kita lihat, banyak minimarket dikelola
pesantren menjual produk pabrik besar atau perusahaan multinasional.
Kehadirannya tak jauh berbeda dengan minimarket lain. Dalam diskusi dengan aktivis PMII, seorang
mahasiswa menyebut kehadiran usaha ini justru mematikan toko warga sekitar. Kritik ini bisa diletakkan dalam konteks lebih
luas, bagaimana kitab kuning sebagai basis pengetahuan tidak dilihat sebagai
teks keagamaan yang hanya berurusan dengan ibadah, tetapi juga muamalah
(ekonomi), siyasah (politik), dan shinaah (industri). Dalam beberapa kesempatan mengikuti kegiatan
penguatan ekonomi terkait pesantren, penulis masih melihat agenda itu masih
berkutat pada acara seremonial. Dalam sebuah kegiatan di Surabaya, sebuah
organ yang diinisiasi barisan gus dan santri menggelar acara yang hendak
memajukan niaga, hanya dua pondok menyodorkan produk yang secara langsung
dihasilkan, seperti wajan dan kopi. Setelah diperiksa, produk kopi itu tak dijual
di minimarket yang dikelola banyak pondok. Kenyataan di atas menunjukkan,
kalangan internal pondok belum menjadikan jaringan juga rasional, tetapi
semata-mata rasional. Tanpa dorongan pimpinan pondok, produk santri
dan warga hanya bergaung di seminar, pameran, dan pengukuhan pengurus
organisasi. Kehendak penguatan masih angan-angan, meski sejauh ini kegiatan
ekonomi antarpondok nilai transaksinya cukup besar. Pengertian inklusif di atas juga tak hanya
memasukkan pondok beraliran pemahaman berbeda, tetapi juga institusi ekonomi
lain berorientasi sama, yakni penguatan usaha kecil dan menengah. Sementara itu, mata rantai nilai halal tidak
berhenti pada kehalalan produk, tetapi juga kebaikan terkait kelestarian alam
dan kesejahteraan manusia. Jika kegiatan ekonomi pondok tak menimbang
keberlangsungan ekosistem lingkungan dan menjangkau warga yang betul-betul
memerlukan, ia menjadi bagian sistem ekonomi yang jauh lebih dominan, yaitu
neoliberalisme. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar