Rabu, 15 September 2021

 

Korupsi Bupati dan Paradoks Demokrasi Lokal

Umbu TW Pariangu ;  Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

DETIKNEWS, 13 September 2021

 

 

                                                           

Hasrat korupsi para elite kita tak pernah padam. Mereka terus menggarong uang negara tanpa punya rasa malu dan takut.

 

Beberapa waktu lalu (30/8) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan OTT terhadap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin, anggota DPR. Mereka terjerat kasus suap terkait jual-beli jabatan kepala desa. Konon uang-uang tersebut dikumpulkan untuk pembiayaan politik pada pilkada mendatang. Kasus ini memperpanjang kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dengan menggunakan mesin politik dinasti.

 

Sulit untuk tidak mengakui bahwa pragmatisme politik lokal masih terus mewarnai paradoks demokrasi lokal. Dulu Jefrey Winters pernah mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia mengarah pada demokrasi manipulatif --kalau tidak dibilang demokrasi kriminal-- di mana para elite menggunakan kekuasaan dan kekayaannya untuk membujuk ataupun mengintimidasi (Winters 2011:210). Sebagian mengatakan hal tersebut berlebihan. Namun melihat tren penyimpangan kekuasaan oleh para elite selama ini, rasanya konstatasi Winters ada benarnya.

 

Pertanyaannya, mengapa habituasi korup di kalangan elite lokal selalu berulang dengan pola sama? Padahal pemberitaan minor terhadap mereka yang tertangkap karena rasuah sangat kencang. Arahan tegas Presiden, Kemendagri agar para kepala daerah tidak main-main dengan pelayanan publik selalu dilakukan. Transparansi fiskal dan pengawasan finansial juga gencar dilakukan berkolaborasi dengan auditor nasional maupun internasional.

 

KPK belakangan juga rajin turun ke daerah melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap kerja birokrasi daerah.

 

Ruang Kosong

 

Saya menduga, ada ruang kosong yang belum disentuh maksimal untuk memutus sistem korup selama ini khususnya di birokrasi lokal. Ruang itu kemudian disebut sebagai ruang kekuatan sistem dan kepemimpinan antikorupsi (Quah, 2003, 2009). Ruang itulah yang selama ini digunakan oleh para elite lokal untuk bersikap aji mumpung dan menghalalkan segala cara dengan proyeksi mereka tak bakal diganjar hukuman berat karena institusi hukum sudah dijadikan bagian dari status quo perebutan keuntungan politik (political gain) secara sinergis antara elite politik, birokrasi, hukum, dan swasta.

 

Tidak sulit untuk menelanjanginya. Simak bagaimana koruptor dengan mudah memperoleh korting atas perilaku korupnya. International Corruption Watch (ICW) mencatat pada 2019-2020 ada134 koruptor yang dibebaskan atau dikorting hukumannya. Koruptor sekelas Djoko Tjandra misalnya yang memperdayai hukum (menyuap pejabat tinggi Polri dan jaksa) memperoleh potongan hukuman dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun. Jaksa Pinangki pun ketiban "durian runtuh" pemotongan hukuman dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun penjara, meskipun terbukti melakukan korupsi miliaran rupiah dan kejahatan pencucian uang.

 

Para koruptor ikut diuntungkan oleh sistem penegakan hukum plasebo, seolah-olah ada hukum tapi sejatinya tidak ngefek. Sehingga para elite yang bermata menyala kalau melihat fulus itu semakin merdeka dan arbitrer merampok uang negara tanpa rasa malu dan bersalah.

 

Kalau merujuk profil koruptor berdasarkan basic human values (Schwartz, 1994, Yuwanto, 2015), yang dilakukan para koruptor selama ini kebanyakan tergolong praktik kuasa hedonisme (hedonism power), bukan sekadar konformitas keamanan (conformity security) atau untuk terhindari dari ancaman status sosial-ekonomi, sehingga ia tak peduli lagi dengan soal moral atau jeruji besi yang menghantui diri dan keluarganya. yang ia 'gergaji'. Serupa yang dilakukan Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo misalnya dalam kasus korupsi ekspor benur yang menggunakan uang rasuahnya untuk berpelesir ke luar negeri, berbelanja barang-barang mewah bersama istri.

 

Contoh tersebut membuktikan perilaku korupsi sudah mengeras menjadi "peradaban destruktif" yang menjadikan pengetahuan, etika, moral, sebatas lip service. Demokrasi yang sudah tumbuh sejak rezim Orde Baru tumbang, yang diharapkan mereduksi korupsi dan ketidakadilan, justru terkoreksi oleh banalisasi pementingan diri. Korupsi di berbagai daerah, yang dilakoni para kepala daerah yang notabene lahir dari proses pilkada memperlihatkan paradoks demokrasi.

 

Di satu sisi demokrasi menerbitkan optimisme membongkar watak kekuasaan yang sentralistik sekaligus korup, namun di saat sama demokrasi menjadi arena politik kongkalikong, tempat simpang-siurnya uang sebagai alat meraih kekuasaan. Lantas banyak yang mempertanyakan secara "frustrasi" manfaat demokrasi di Republik ini jika setiap pilkada langsung hanya melahirkan bos-bos lokal yang justru memakai demokrasi untuk mengakumulasi kekayaan sebanyak-banyaknya sambil menepikan kesejahteraan rakyatnya.

 

Martabat dan Hukum Tegas

 

Namun apakah itu berarti demokrasi hanya mendatangkan mudarat seperti kritik Socrates dan Plato? Jelas tidak! Demokrasi sampai saat ini masih menjadi sistem terbaik dari yang terburuk. Masalahnya kemudian pada mentalitas, karakter individu. Pada aspek ketidakmampuan bangkit dari karakter yang sekian lama dibunuh oleh imperialisme Belanda, yakni martabat.

 

Bangsa sebesar Amerika Serikat konsisten memperjuangkan dan meraih martabat mereka dengan kesuksesan materiil, mental maupun moral karena di situlah dignity (martabat) mereka terletak. Dari studi sosiologi, ternyata selama 200 tahun, mereka yang memimpin Amerika Serikat sekarang adalah keturunan mereka yang memerintah Amerika Serikat selama 200 tahun. Mereka muncul dari keberhasilan kolektif menjaga moral dan martabat keluarga besar dengan integritas (Muhadjir, 2014).

 

Artinya untuk sampai pada level bermartabat seperti sekarang mereka sudah melewati jalan panjang yang "berdarah-darah". Di kita, tidak sedikit politisi instan yang mendadak muncul di podium politik tanpa back ground bermartabat. Baru lihat sedikit tumpukan uang saja, langsung lupa martabat keluarga. Tak heran, jika mereka mudah terjerembap dalam lubang korupsi.

 

Kasus korupsi yang marak melibatkan para kepala daerah beserta keluarganya mestinya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk merintis pembangunan martabat diri, dimulai dari bangku pendidikan. Kurikulum pendidikan kita harus didesain untuk memupuk karakter unggul dan akhlak yang memuliakan kejujuran.

 

Peta jalan pendidikan 2020-2035 yang direvisi oleh Kemendikbud dengan menekankan pentingnya agama sudah tepat. Tinggal dioperasionalisasi secara konsisten dan bertanggung jawab oleh tiap elemen pendidikan. Mentalitas korup harus didekonstruksi oleh komitmen kuat kepemimpinan (di level negara, sektor pendidikan) lewat "proyek" pembangunan karakter warga negara secara masif.

 

Dan tak kalah urgen, bagaimana mengisi ruang kosong sistem antikorupsi dengan penguatan hukuman terhadap para koruptor. Institusi KPK, pengadilan terhadap koruptor harus berani dan tegas menjatuhkan hukuman yang maksimal untuk memproduksi rasa jera dan kesadaran bagi para elite koruptor, bahwa menggarong uang negara sangat dibenci oleh moralitas publik dan merusak peradaban.

 

Masyarakat juga bukan hanya mencemooh korupsi (public disdain), tetapi juga harus serentak menolaknya (public resistance) dengan tidak memberikan hormat terhadap mereka bahkan mengucilkan mereka. ●

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5721180/korupsi-bupati-dan-paradoks-demokrasi-lokal

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar