Selasa, 28 November 2017

Rebutan Supremasi Saudi-Iran

Rebutan Supremasi Saudi-Iran
Smith Alhadar ;  Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
                                                    KOMPAS, 27 November 2017



                                                           
Pertarungan Arab Saudi-Iran memperebutkan supremasi kawasan bereskalasi menuju situasi berbahaya. Sidang darurat Liga Arab di Kairo, Mesir, merekomendasikan membawa isu ini ke DK PBB.

Sebelumnya, Saudi telah bermanuver di Yaman, Qatar, Palestina, dan Lebanon untuk menekan Iran. Hubungan Saudi-Iran memang tak harmonis sejak Revolusi Islam Iran 1979. Rivalitas kian intens pasca-kejatuhan Presiden Saddam Hussein (2003), Arab Spring di Suriah (2011). Puncaknya, awal 2016 Saudi memutuskan hubungan diplomatik setelah Iran memprotes eksekusi mati ulama terkemuka Syiah Saudi, Sheikh Nimr Baqir al-Nimr.

Eskalasi ketegangan Saudi-Iran berkelindan dengan kiprah Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang ingin menciptakan Saudi menjadi negara modern dan pemain utama di kawasan.

Perang Yaman

Maret 2015, dua bulan setelah menjadi menteri pertahanan, MBS menghimpun sejumlah negara Arab berperang di Yaman untuk memulihkan kekuasaan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi yang dikudeta oleh milisi Syiah Houthi dukungan Iran.

Hingga kini tak ada tanda-tanda Houthi akan menyerah. Bahkan, pada 4 November lalu, Houthi menembakkan rudal balistik ke arah bandara Raja Khalid di ibu kota Saudi, Riyadh.

Perang itu telah mencoreng reputasi Saudi di mata internasional akibat serangan serampangan pesawat tempur Saudi terhadap infrastruktur di negara termiskin di Jazirah Arab itu.

Dengan tembakan rudal balistik Houthi, Saudi bermanuver di Lebanon. Setelah bertemu MBS, PM Lebanon Saad al-Hariri mengundurkan diri. Terkesan kuat pengunduran Hariri dipaksa oleh Saudi, yang sangat berpengaruh di Lebanon melalui kekuatan ekonomi. MBS kecewa kepada Hariri karena tak mampu mendepak Hezbollah pro-Iran dari panggung politik Lebanon.

Pemerintahan Hariri adalah pemerintahan koalisi banyak partai. Hezbollah adalah salah satu pemain utama. Konstitusi Lebanon membagi kekuasaan menurut garis agama. Golongan Kristen mendapatkan posisi presiden, Syiah sebagai ketua parlemen, dan Sunni mengendalikan jabatan perdana menteri. Hariri, yang eksistensi politiknya sangat bergantung pada Saudi, sulit menolak permintaan MBS.

Terlebih sekitar 400.000 orang Lebanon bekerja di negara-negara Arab Teluk, yang setiap tahun mengirim remiten ke Lebanon 7-8 miliar dollar AS. Jumlah ini signifikan untuk menggerakkan ekonomi Lebanon yang berpenduduk 4,5 juta jiwa.

MBS memang menekan Hariri untuk melucuti pengaruh Iran di Lebanon. Namun, manuver Saudi ini tidak didukung sekutu Barat karena khawatir Lebanon akan kembali perang saudara. 

Saudi juga bermanuver di Palestina. Awal Oktober lalu, Saudi-bersama Mesir dan Uni Emirat Arab-mensponsori rekonsiliasi Hamas dengan Fatah. Saudi ingin mengeliminasi pengaruh Iran di tubuh Palestina. Sejauh ini, Iran mendukung Hamas, padahal Saudi ingin segera berdamai dengan Israel.

Untuk memutuskan tangan Iran di Palestina, pertengahan September lalu MBS diam-diam berkunjung ke Israel. Di sana ia bertemu PM Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat Israel. MBS telah memiliki konsep perdamaian Israel-Palestina sehingga ada kemungkinan kesepakatan damai dalam waktu dekat.

Pertengahan Oktober lalu MBS juga mengundang Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke Riyadh. Pada hari itu juga hadir Mohammad Dahlan. Dahlan adalah musuh besar Abbas di tubuh Fatah. Besar kemungkinan kehadiran Dahlan untuk menekan Abbas agar menerima proposal perdamaian Israel-Palestina. Kalau tidak, Saudi akan mengangkat Dahlan sebagai penggantinya.

Nyatanya, sepulang dari Riyadh, Abbas langsung membersihkan orang-orang Dahlan. Terkait rencana penutupan kantor PLO, Otoritas Palestina mengancam membekukan komunikasi dengan AS sehingga upaya AS memediasi perundingan Palestina-Israel terancam berhenti.

Kalau toh konsep perdamaian direalisasikan, Iran akan memperoleh keuntungan dan Saudi akan terisolasi. Bahkan, posisi MBS di dalam negeri terancam. Masalahnya, dalam konsep perdamaian itu, Palestina dirugikan. Jerusalem Timur akan jatuh ke tangan Israel. Palestina hanya mendapat bantuan finansial dan pembebasan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel. Maka, posisi Iran menentang perdamaian akan mendapat dukungan luas dunia Arab dan Islam.

Krisis Qatar

Krisis Qatar yang pecah 5 Juni adalah bagian dari upaya MBS menekan Iran. Krisis dipicu oleh tuduhan kubu Saudi bahwa Qatar mendukung terorisme dan menjalin hubungan dengan Iran. Untuk menyelesaikan krisis ini, kubu Saudi menuntut Qatar memenuhi 13 tuntutan, termasuk memutuskan hubungan dengan Iran. Doha menolak.

Menanggapi blokade atas Qatar, Iran bergerak cepat. Blokade dan sanksi ekonomi-politik agar Qatar menjauhi Iran justru  mendorong Qatar memperkuat hubungan dengan negara itu.

Beberapa hal ingin dicapai MBS dalam semua gebrakan di atas. Pertama, ia ingin mengalihkan perhatian dari turbulensi politik di Saudi akibat pembersihan orang-orang penting di negara itu. Kedua, ia ingin menyelamatkan Saudi dari ancaman Iran. Ketiga, MBS ingin membentuk tatanan baru Timur Tengah di mana Saudi memainkan peran hegemonik setelah peran AS memudar.

Untuk semua ini MBS mengubah model pengambilan keputusan pemerintahan berbasis konsensus keluarga menjadi one man show yang sangat otoriter. Ini akan mengasingkan sebagian besar pangeran yang jumlahnya mencapai 7.000 orang.

Transformasi sosial, ekonomi, dan budaya yang dilancarkan MBS guna menyesuaikan dengan perubahan zaman perlu diapresiasi. Namun, diperlukan waktu dan proses panjang dengan kebijakan regional yang kondusif.

Konsensus keluarga tak menginginkan konflik dengan Iran, negara kuat yang pemerintahnya didukung rakyat. Namun, MBS malah mengambil jalan keras, bahkan terus memproduksi retorika anti-Iran.

Seharusnya MBS konsentrasi pada reformasi dalam negeri dan menciptakan lingkungan regional yang kondusif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar