Selasa, 28 November 2017

Menstimulasi Ekonomi Lima Persenan

Menstimulasi Ekonomi Lima Persenan
Umar Juoro ;  Ekonom Senior Center for Information and Development Studies (Cides) dan The Habibie Center
                                                 REPUBLIKA, 27 November 2017



                                                           
Ekonomi Indonesia dapat dikatakan sebagai “ekonomi lima persenan” yang dicirikan oleh pertumbuhan sekitar 5 persen. Pertumbuhan konsumsi dari sisi pengeluaran dan industri dari sisi sektoral yang semestinya menjadi tulang punggung ekonomi tumbuh di bawahnya.

Kecenderungan pertumbuhan ekonomi adalah pada tingkatan 5 persen, tidak lagi 6 persen seperti masa sebelumnya. Pertumbuhan di 2017 ini diperkirakan hanya 5,1 persen. Pada 2018 kemungkinan lebih baik tetapi tidak akan lebih tinggi daripada 5,3 persen, begitu pula pada tahun 2019 masih di lima persenen.

Pertanyaannya, apakah pertumbuhan ekonomi lima persenan adalah sementara atau permanen? Begitu pula, apakah pertumbuhan kredit dan bisnis ritel barang konsumsi satu digit bersifat sementara atau permanen? Sebelumnya kenormalan adalah pertumbuhan kredit dan ritel konsumsi adalah dua digit.

Pertanyaan selanjutnya apakah kondisi ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sudah masuk pada jebakan pendapatan menengah (middle income trap) ataukah karena kebijakan ekonomi yang kurang dapat memfasilitasi dalam menstimulasi ekonomi untuk tumbuh 6 persen apalagi 7 persen seperti negara Asia lainnya Malaysia, Filipina, India, dan Vietnam.

Jika melihat negara Asia lainnya masih dapat tumbuh 6-7 persen maka ini berarti Indonesia merupakan kekecualian dengan pertumbuhan yang hanya lima persenan. Melihat potensi ekonomi sebenarnya pertumbuhan 6 persen tidaklah sulit untuk dicapai. Dari sisi pengeluaran konsumsi dan investasi masih dapat tumbuh lebih tinggi.

Dengan pertumbuhan hanya lima persenan maka terdapat indikasi kurang memfasilitasinya kebijakan ekonomi untuk pertumbuhan dan adanya ketidakpastian yang dihadapi pelaku ekonomi baik perusahaan maupun individu.

Sekalipun pemerintah telah meluncurkan enam belas paket kebijakan ekonomi namun belum memberikan pengaruh signifikan dalam perkembangan ekonomi. Permasalahannya adalah peraturan yang menghambat yang sudah diganti muncul kembali dalam bentuk lain. Begitu pula peraturan daerah yang sudah dihapuskan, muncul kembali dalam bentuk lain yang tidak lagi dapat dicabut oleh pemerintah pusat kecuali melalui pengadilan.

Apa yang tampaknya mencolok adalah adanya hubungan terbalik (trade off) antara upaya mengejar penerimaan pajak dengan pertumbuhan ekonomi. Memang, rasio pajak terhadap PDB tergolong rendah, sekitar 11 persen.

Namun dengan mengenjot penerimaan pajak secara agresif membuat perusahaan dan individu menghadapi ketidakpastian seberapa besar pajak yang harus mereka bayar, dan apakah mereka akan selalu menjadi target aparat pajak. Akibatnya, mereka menahan diri dalam pengeluaran. Hal ini juga menjelaskan melemahnya pertumbuhan konsumsi masyarakat.

Kelihatannya pemerintah masih akan terus mengejar penerimaan pajak sebisa mungkin. Sementara itu, perusahaan dan individu juga semakin khawatir terhadap pajak ini. Dapat dikatakan pada waktu sebelumnya kurang taatnya pembayar pajak sebagai insentif untuk berbelanja.

Sedangkan, pengejaran wajib pajak menjadi pengekang bagi belanja perusahaan dan individu. Tentu saja kepatuhan danpenerimaan pajak harus ditingkatkan dengan konsekuensi memperlambat pertumbuhan. Tantangannya adalah melakukan reformasi pajak yang tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun hal ini tidak mudah untuk melakukannya.

Belakangan ini terlihat adanya indikasi perbaikan ekonomi yang diperlihatkan oleh peningkatan pertumbuhan ekspor. Ekspor mengalami pertumbuhan cukup tinggi sekitar 17 persen. Namun, dengan keterbatasan produk ekspor dan belum pulihnya ekonomi dunia maka keberlanjutan pertumbuhan ekspor ini masih menjadi pertanyaan.

Harga komoditas terutama batubara dan CPO juga mengalami peningkatan. Namun, jika kembali mengandalkan pada komoditas dengan harga yang siklikal, sebenarnya tidak memperkuat struktur ekonomi ke depannya.

Indikasi perbaikan lainnya adalah meningkatnya pertumbuhan impor terutama untuk barang antara. Hal ini sejalan dengam pertimbuhan investasi yang cukup tinggi sekitar 7 persen. Jika pertumbuhan investasi dapat lebih tinggi lagi maka ada harapan pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi. Namun, dengan masih lemahnya konsistensi kebijakan dalam memfasilitasi investasi pertumbuhan investasi tampaknya belum akan terlalu tinggi.

Begitu pula kredit perbankan hanya tumbuh sekitar 8 persen. Pertumbuham ekonomi yang lebih tinggi membutuhkan pertumbuhan keedit dua digit. Perbankan masih menunggu permintaan kredit yang berkualitas dan masih khawatir jika pertumbuhan kredit didorog lebih tinngi alan berkaibat pada naiknya kredit macet NPL lagi.

Secara sektoral pertumbuhan tinggi masih pada sektor telekomunikasi, transportasi dan juga konstruksi. Namun, perusahaan telekomunikasi menghadapi tantangan berat akan kebutuhan investasi yang besar, sementara margin berkurang karena persaingan yang ketat. Pertumbuhan sektor konstruksi yang tinggi baik bagi perekonomian, seiring dengan pembangunan infrastruktur.

Namun, pengaruh berantainya kurang memadai untuk mendorong perkembangan ekonomi yang lebih tinggi. Begitu pula konstruksi yang berkaitan dengan perumahan terlihat mengalami perlambatan. Padahal, permintaan perumahan akan mendorong permintaan kredit KPR yang bisa lebih tinggi lagi.

Jadi belum ada //leading sector// yang dapat mendorong perkembangan ekonomin lebih tinggi lagi. Jika demikian maka ekonomi lima persenan akan menjadi kenormalan. Pertumbuhan lima persen tidaklah buruk, namun kurang memadai dalam menciptakan kesempatan kerja yang produktif.

Membandingkan negara-negara Asia lainnya yang dapat tumbuh 6-7 persen pada umumnya mereka mengalami dari sisi pengeluaran mengalami peryumbuhan investasi dan ekspor yang lebih tinggi. Mereka lebih dapat memanfaatkan perbaikan di ekonomi global yang sekali belum optimal namun memberikan peluang cukup baik.

Secara sektoral sektor manufaktur mereka tumbuh tinggi dengan orientasi ekspor yang cukup besar. Menariknya rasio pajak terhadap PDB mereka juga lebih baik dari Indonesia sehingga lebih leluasa dalam memberikan stimulasi perkembangan sektor riil.

Indonesia dapat saja meniru kebijakan negara-negara Asia tersebut. Namun, kembali tidak mudah secara bersamaan meningkatkan rasio pajak PDB dengan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Kita membutuhkan keseimbangan antara upaya meningkatkan penerimaan pajak dengan memberikan stimulasi pada perekonomian.

Begitu pula ekspor manufaktur Indonesia masih sangat terbatas pada elektronika, tekstil, garmen, dan alas kaki dengan nilai tambah yang juga lebih rendah. Jadi. dibutuhkan transformasi sektor manufaktur yang tidak saja memperkuat strukturnya tetapi juga dapat mendukung ekspor yang lebih besar.

Apa yang tidak kalah penting adalah memberikan kepercayaan dan kepastian kepada perusahaan dan individu untuk membelanjakan dananya, tidak hanya disimpan, sehingga mendukung langsung perkembangan ekonomi. Bagi golongan bawah mereka membutuhkan peningkatan daya beli yang bisa dilakukan dengan transfer yang lebih besar kepada mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar