Ziarah
Amarzan Loebis ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO,
15 Maret 2014
|
ZIARAH,
bagi saya, sudah merupakan ritual. Paling tidak, setahun sekali, saya
berziarah ke makam orang tua saya, biasanya di sekitar Idul Fitri atau Idul
Adha. Ziarah itu bagi saya agak mustahak, terutama untuk mengontrol apakah
penjaga makam yang saya sewa memelihara makam itu bekerja sebagaimana
mestinya. Alhamdulillah, sampai
ziarah terakhir, makam orang tua saya selalu terpelihara rapi jali.
Makam
yang bukan makam orang tua saya juga sering saya ziarahi. Misalnya makam
Sunan Ampel, makam Sunan Kalijaga, dan makam Sunan Kudus. Pernah juga saya
menziarahi makam yang dipercaya sebagai makam Syekh Siti Jenar di sebuah desa
di tepi Kota Cirebon. Seram suasananya. Makamnya ditutupi kelambu.
Saya
agak kecewa tak berhasil menziarahi makam Sunan Gunung Jati, karena "peraturan"-nya memang tak
mengizinkan. Meski bersahabat dengan Sultan Kasepuhan Cirebon terdahulu,
Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat, saya tetap tak berhasil menziarahi
makam Sunan. "Hanya keturunan yang
boleh menziarahi," kata almarhum Sultan Maulana, meminta kesabaran
saya. Menurut Sultan, Sunan Gunung Jati tak mau makamnya dikeramatkan. Sunan
yang beristrikan putri Cina itu terkenal dengan wasiatnya, "Ingsun titip tajug lan fakir
miskin."
Makam
Kiai Hamam Djafar, yang bukan sunan, juga saya ziarahi. Makam itu terletak di
Desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Tapi, di makam para sunan dan
aulia itu saya tak pernah memohon apa pun. Memohon kok di makam, pikir saya.
Saya juga menziarahi makam sahabat saya, pelukis Saptohudoyo, di kompleks
pemakaman seniman di Yogyakarta. Saya sempat kaget: di samping makam Mas
Sapto ada makam kecil dengan patung ayam jago sebagai pengganti nisan. "Itu makam Philip, ayam jago
kesayangan Mas Sapto," kata Yani Saptohudoyo, yang menemani saya.
Bahkan,
di tempat jauh saya berziarah. Misalnya di makam Sun Yat Sen, presiden
Republik Cina yang pertama, di Nanjing, Cina. Bagus makamnya, ditaburi batu
mulia berwarna-warni. Saya tidak menziarahi makam Deng Xiaoping, karena
ketika saya di sana Deng masih hidup, dan sempat ketemu selama sekitar
setengah jam. Mao Zedong juga masih sehat walafiat ketika itu.
Yang tak
tersangka adalah ziarah saya ke makam Yitzhak Rabin di Yerusalem. Perdana
Menteri Israel itu dibunuh Yigal Amir, seorang pejuang ultranasionalis
Yahudi. Rabin--yang cenderung lunak terhadap Palestina--ditembak di tengah
sebuah rapat umum di Kings of Israel Square, di Tel Aviv, pada 4 November
1995, atau 12 Marchesvan 5756 menurut kalender Ibrani. Saya meletakkan
sebutir batu di tepi makamnya, sesuai dengan tradisi Yahudi.
Dengan
begitu banyak makam yang saya ziarahi, banyak rekan dan sahabat suka
bertanya, mengapa saya belum menziarahi makam Bung Karno. Bukankah di masa
beliau menjabat presiden, pernah juga saya meliput beberapa kegiatan
almarhum? "Panjang
ceritanya," kata saya. Tapi, kalau mau diringkas: saya tak mau mengenang Bung Karno sebagai
orang mati. Begitu melihat
makamnya, saya khawatir ingatan saya tentang "Bung Karno yang
Hidup" ikut terkubur. Mudah-mudahan kekhawatiran saya itu tak
beralasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar