Aku
Menuduhmu
Buni Yani ;
Dosen LSPR Jakarta
|
TEMPO,
15 Maret 2014
Paris,
akhir abad ke-19. Penulis kenamaan Émile Zola menulis surat terbuka yang
diterbitkan oleh koran L'Aurore
berjudul J'accuse (Aku Menuduhmu), yang isinya menuduh
pemerintah Prancis telah memenjarakan Alfred Dreyfus, seorang serdadu
berpangkat letnan kolonel keturunan Yahudi, bukan didasari kebenaran dan
keadilan, tapi karena etnisnya.
Dreyfus
dipenjara karena tuduhan menjadi mata-mata dan membocorkan rahasia negara ke
Jerman yang menjadi musuh Prancis pada waktu itu. Bagi Zola, tuduhan ini
tidak didukung cukup bukti. Dua tahun kemudian, terbukti bukan Dreyfus
pelakunya, melainkan orang lain.
Manila,
1967. Koran berpengaruh The Manila
Times membuat teras berita menggemparkan mengenai penangkapan terduga
pemerkosa artis mestiza cantik
berdarah Spanyol, Maggie de la Riva. Teras berita disertai foto yang
dramatis: sang artis menunjuk dengan
tangan kiri mata pemerkosanya dengan caption yang tak kalah panas,
"J'accuse."
Di
pengadilan, keempat pelaku pemerkosaan terbukti melakukan tindak kejahatan.
Tiga pelakunya dihukum mati di atas kursi listrik, satu lagi tewas akibat
overdosis narkoba di dalam penjara.
Émile
Zola di Paris menggema lebih setengah abad kemudian, di tanah yang jauh di
Asia Tenggara, di tanah yang sebagian besar penduduknya berbahasa Tagalog,
untuk menunjukkan betapa telanjangnya fakta yang bisa dijadikan alat bukti
untuk menuduh para pelaku kejahatan. Émile Zola adalah hati nurani yang tak
pernah padam di tengah merebaknya anti-semitisme di Prancis pada waktu itu.
Jakarta,
hari-hari ini pada 2014. Politikus ramai-ramai ingin "merevisi" Undang-Undang KPK dengan maksud
melumpuhkannya agar tak bisa menangkap para pelaku kejahatan korupsi. Bukan,
mereka tidak sedang merevisi, karena merevisi artinya memperbaiki menjadi
lebih baik. Mereka justru sedang "merusak"
undang-undang tersebut yang selama ini cukup efektif menangkap pelaku korupsi
dari berbagai kalangan, termasuk DPR dan pemerintah.
Mewakili
pemerintah, penegasan seorang dirjen dari Departemen Hukum dan HAM yang juga
seorang guru besar hukum tak mampu meredam kecurigaan banyak kalangan.
Meskipun sang dirjen meminta KPK "tak
usah galau" dengan menjelaskan duduk persoalan revisi UU KPK ini,
kepanikan dan rasa curiga telanjur menyebar.
Masyarakat
yang sudah muak dan jijik terhadap perilaku korupsi para pejabat dan
politikus kontan berseru, seperti menirukan Émile Zola, "Aku menuduhmu." Masyarakat menuduh bukan tanpa bukti,
karena selama ini pihak yang amat dirugikan dengan adanya KPK adalah dua
lembaga tinggi tersebut. Masyarakat mencium ada semacam "solidaritas sesama penjahat" untuk melumpuhkan KPK.
Bukti
tuduhan sudah banyak, mengapa telunjuk harus diarahkan ke DPR dan pemerintah.
Masyarakat menuduh DPR dan pemerintah anti-pemberantasan korupsi karena
selama ini dua lembaga negara ini telah menikmati keistimewaan yang besar.
Upaya untuk menghentikan keistimewaan tersebut akan dilawan dengan segala
cara.
Dalam acara klub pengacara di sebuah stasiun TV swasta, dua anggota DPR
muda-belia yang menjadi politikus sejak zaman reformasi tanpa rasa takut dan
malu-malu menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap KPK yang dianggap
sewenang-wenang. Mereka melecehkan seorang aktivis pemantau korupsi dan juru
bicara KPK. Dari nada bicara dan ekspresi muka, mereka dengan tegas mengirim
pesan kepada masyarakat bahwa mereka tidak suka rekan sejawat koruptor mereka
ditangkap.
Berdasarkan
hasil pantauan si aktivis, pada setiap kasus korupsi yang melibatkan para
pejabat pemerintah, terselip ada nama anggota DPR di sana. Artinya, ada
semacam persekongkolan jahat yang tidak tertulis antara dua lembaga tinggi
negara ini, baik secara institusional maupun individual. Ini bisa jadi
penjelas mengapa mereka akan melawan dengan segala cara langkah pemberantasan
korupsi.
Namun,
sikap resmi DPR yang kritis, yang bisa ditafsirkan sebagai anti-pemberantasan
korupsi, bisa dilihat pada newsletter
DPR Info Singkat Vol. V, No. 03/I/P3DI/Februari/2013 berjudul Penangkapan dan
Penetapan Tersangka Kasus Dugaan Suap Impor Daging Sapi. Penangkapan terduga
kasus impor daging sapi ini, yang di kemudian hari pelakunya terbukti
bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara, menurut DPR, diwarnai "kejanggalan."
Langkah
seperti ini jelas merupakan upaya delegitimasi KPK agar masyarakat tak lagi
percaya kepadanya. Karena itu, KPK harus direstrukturisasi, dan salah satu
caranya adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.
Bila
Undang-Undang KPK telah "dirusak",
kelak, dengan berlindung di balik kata "revisi,"
seperti dilansir situs web KPK, "pencekalan,
penyadapan, dan pemblokiran rekening bank" tidak bisa dilakukan,
yang artinya, "KPK tidak dapat
menelusuri [dugaan korupsi] dengan meminta keterangan serta mengumpulkan dua
alat bukti."
Implikasinya
jelas, KPK akan menjadi macan ompong. Melihat ketidakadilan ini, suara Émile
Zola lebih satu abad lalu kini terdengar di mana-mana. Hari-hari ini, jangan
salahkan masyarakat jika mereka menudingkan telunjuk kepada DPR dan
pemerintah seraya berujar penuh amarah, "Aku
menuduhmu." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar