Vatikan
dan Skandal Seks
Tom Saptaatmadja ;
Alumnus Seminari St Vincent de Paul
|
TEMPO,
15 Maret 2014
|
Belakangan
ini takhta suci Vatikan terus dikecam, baik oleh PBB maupun berbagai
organisasi HAM, terkait dengan penanganan skandal seks oleh kardinal, uskup,
atau pastor. Vatikan dianggap lebih mementingkan citra dan reputasinya
daripada kepedihan dan trauma psikologis para korbannya, yang kebanyakan
anak-anak. Vatikan dianggap mencoba menutupi fakta dengan menyembunyikan para
pelaku dan tidak melaporkan kasus ini ke polisi.
Selama
ini, fokus kita hanya yang terjadi di Amerika atau Eropa, padahal skandal ini
juga terjadi di banyak kawasan lain, termasuk Indonesia. Maka, seperti saran
PBB, penulis sangat setuju agar para pejabat gereja yang melakukan tindakan
tidak terpuji ini dilaporkan ke polisi dan kasusnya tidak dipetieskan.
Jika
kita runut ke belakang, skandal seks di lingkup gereja mencuat pertama-tama
berkat laporan majalah Newsweek pada Februari 2002. Menurut Newsweek, dalam
kurun waktu 75 tahun terakhir, sekitar 2.000 pastor di AS telah menjadi
pelaku kejahatan seks terhadap sekitar 46 ribu anak. Salah satu yang terheboh
adalah kasus pastor John Geoghan dari Keuskupan Boston, yang dalam kurun
waktu 30 tahun telah menyodomi sekitar 130 anak. Syukur, pada 1998 pastor itu
sudah divonis penjara 10 tahun. Masih banyak kasus lain terjadi di Amerika
Serikat yang berpenduduk 61 juta Katolik (23 persen dari seluruh warga Amerika)
dengan jumlah pastor sekitar 47 ribu orang.
Saking
besarnya peristiwa itu, A.W. Richard Sipe, ahliterapi ratusan pastor pelaku
pelecehan dan penulis buku A Secret
World: Sexuality and the Search for Celibacy, berkomentar bahwa setelah
peristiwa reformasi Martin Luther pada1517, beragam skandal seks para pastor
atau uskup di ASmenjadi peristiwa kedua paling kritis dan krusial dalam
sejarah gereja Katolik. Malah ada yang menyebut ini merupakan "Catholic
Church's Watergate", seperti diungkapkan Willliam Donohue, pimpinan Liga
Katolik Amerika. Tidak mengherankan jika sampul depan majalahTime (edisi 1
April 2002) sampai memuat judul: "Dapatkah Gereja Katolik Menyelamatkan
Dirinya?".
Selama
ini penyelesaian tentang skandal ini tidak memuaskan para korbannya. Korban,
setelah mendapat dana kompensasi dari gereja, biasanya dilarang berbicara di
media. Sedangkan pelaku hanya dipindah tugaskan ke paroki atau keuskupan
lain. Namun, di era keterbukaan sekarang, media punya kontribusi besar agar
korban mau berbicara. Maka, di negeri ini, media perlu lebih berani lagi
untuk mengekspos, melakukan investigasi, bahkan memberitakan kasus ini,
seperti media di Barat.
Vatikan,
di bawah Paus Fransiskus, sebenarnya mulai melakukan langkah berani.Simak
saja, Paus berani mencopot Dubes Vatikan untuk Republik Dominika, Uskup Agung
Josef Welowoski, pada September 2013, karena kasus pencabulan terhadap anak
dibawah umur atau lebih dikenal dengan pedofilia. Lalu, selama berkuasa
setahun ini, Paus jugasudah memberhentikan 400 pastor yang terlibat skandal
seks, termasuk seorang pastor di Keuskupan Surabaya. Namun, mohon skandal ini
tidak menjebak kita dalam generalisasi naif. Mari memilah antara ajaran mulia
agama dan tokoh agama yang telah melakukan skandal. Maka, demi menjaga kesucian
agama sekaligus penderitaan korban, media perlu terus kritis memerankan
fungsi kontrolnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar