Rabu, 15 September 2021

 

Pola Pemikiran dan Pengabdian MUI

Masykuri Abdillah ;  Guru Besar UIN Jakarta

KOMPAS, 14 September 2021

 

 

                                                           

Majelis Ulama Indonesia (MUI) lahir ketika hubungan antara pemerintah dan umat Islam pada awal dekade 1970-an kurang harmonis, terutama karena adanya kebijakan de-ideologisasi politik. Waktu itu di lingkungan umat Islam belum ada wadah yang bisa mewakili dan menyatukan ulama, zuama (tokoh), dan organisasi-organisasi Islam. Pemerintah yang waktu itu merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan berbagai organisasi kemudian mendorong berdirinya MUI pada 26 Juli 1975 sebagai ikhtiar untuk membangun komunikasi yang efektif antara pemerintah dan umat Islam.

 

Fungsi MUI kemudian disebutkan dalam Pasal 4 Pedoman Dasarnya, Pertama, MUI berfungsi sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami. Kedua, MUI berfungsi sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah Islamiyah. Ketiga, MUI berfungsi sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama. Keempat, MUI berfungsi sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.

 

Eksistensi MUI

 

Pada masa-masa awal berdirinya, MUI dinilai kurang independen dan dianggap sebagai perpanjangan kepentingan pemerintah. Karena adanya anggapan ini,  pimpinan MUI pun berusaha untuk menunjukkan independensinya serta perannya dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam dan sekaligus memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Upaya-upaya tersebut telah meningkatkan kepercayaan umat. Menurut hasil survei tentang lembaga paling dipercaya publik yang dilaksanakan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2018, MUI merupakan lembaga nonpemerintah yang paling dipercaya masyarakat dengan nilai 73 persen.

 

Meski sejak berdiri MUI merupakan organisasi nonpemerintah, masih ada yang memanggap MUI adalah lembaga pemerintah atau semi-pemerintah seperti halnya lembaga fatwa (mufti) yang terdapat di sebagian besar negara Muslim. Kedudukan MUI yang demikian ini sebenarnya sangat positif karena fatwa, pemikiran, dan kontrol sosial atau kristisime MUI bisa lebih independen daripada jika organisasi ini merupakan lembaga pemerintah. MUI menyatakan dirinya sebagai pelayan umat (khâdimul ummah) dan mitra pemerintah (shadîqul hukûmah atau syarîkul hukûmah).

 

Dalam melakukan peran tersebut, MUI dihadapkan pada berbagai permasalahan, baik yang terkait dengan persoalan keagamaan, keumatan, kemasyarakatan, maupun kenegaraan dan kemanusiaan. Permasalahan ini pun adakalanya merupakan dinamika masyarakat yang semakin maju dan modern (societal problems), dan adakalanya merupakan permasalahan sosial yang menyimpang dari kondisi normal atau ideal (social problems). Di antara permasalahan ini ada pula yang merupakan bencana, baik bencana sosial seperti konflik sosial dan terorisme, bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, maupun bencana non-alam seperti pandemi Covid-19.

 

MUI dituntut untuk merespons permasalah-permasalahan tersebut dan memberikan jawaban solutif terhadapnya, baik dalam bentuk fatwa, pikiran-pikiran konstruktif, maupun dalam bentuk tindakan nyata, terutama sertifikasi halal makanan dan keuangan syariah. Hal ini kemudian melahirkan penilaian oleh sebagian pengamat bahwa MUI cenderung menjadi ”ormas super” atau lembaga monopoli otoritas dalam hal fatwa dan sertifikasi halal.

 

Selain penilaian tersebut, kini masih ada pihak-pihak yang melihat eksistensi MUI secara kritis. Kelompok tertentu menganggap MUI sebagai lembaga yang cenderung ”fundamentalis”, seperti fatwa MUI tentang Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan fatwa haram terhadap pluralisme dan liberalisme agama. Sebaliknya, ada juga yang menganggap MUI sebagai lembaga yang hanya mengikuti keinginan pemerintah dan kelompok liberal atau pihak asing, seperti dukungan terhadap penanggulangan radikalisme dan terorisme.

 

Kritik tersebut sebenarnya bisa juga berarti bahwa pemikiran dan langkah MUI adalah moderat. Dalam kenyataannya, MUI tidak memasukkan ormas radikal dalam kepengurusannya.

 

Untuk menunjukkan moderasinya, di usianya yang ke-46 ini, MUI memandang perlu untuk merumuskan konsep tentang Metode Pemikiran dan Pengabdian (Manhajul Fikri wal Khidmah) MUI, yang telah diputuskan dalam Mukernas MUI pada 26 Agustus 2021. Sebenarnya konsep ini merupakan rumusan terhadap kebijakan dan praktik organisasi yang sudah dilakukan selama ini, yang dasar-dasarnya sudah dirumuskan dalam konsep Wawasan MUI.

 

Pola pemikiran

 

Perkembangan dunia yang semakin modern pada saat ini telah memunculkan dua fenomena dalam memahamai ajaran agama di kalangan umat Islam. Di satu sisi muncul pemahaman yang cenderung berlebihan (ghuluww), memberatkan (tasyaddud), dan bahkan ekstrem (tatharruf), yang kemudian juga disebut ”konservatif” atau ”fundamentalis”. Di sisi lain, muncul pula kecenderungan sebagian tokoh dan intelektual Muslim yang memahami Islam secara liberal dengan menggunakan logika mereka sendiri.

 

Kedua kecenderungan tersebut terjadi karena mereka tidak menggunakan metodologi standar (mu’tabar) dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Kecenderung kelompok pertama terjadi terutama disebabkan oleh pemahaman teks-teks Al Quran dan hadis secara literal, tanpa melihat konteks kalimat, konteks turunnya (asbâb al-nuzûl) ayat dan konteks munculnya (asbâbul wurûd) hadits, serta tujuan syariah (maqâshid al-syarî’ah). Sedangkan kelompok kedua terjadi karena keinginan seseorang untuk mencocokkan ajaran-ajaran dengan budaya dan logika masyarakat modern yang cenderung liberal.

 

Dengan Manhajul Fikri tersebut, tampak sekali MUI ingin menunjukkan jati diri pemikirannya yang kontekstual dan solutif terhadap perkembangan zaman dan permasalahannya tetapi masih tetap merujuk kepada Al Quran dan hadis. Metode yang dimaksud meliputi pendekatan-pendekatan: manhajiyyah (metodologis), wasathiyyah (moderat), tathawwuriyyah (dinamis), ishlâhiyyah (reformatif), dan tasâmuhiyyah (toleran).

 

Pendekatan manhajiyah menunjukkan bahwa pemahaman MUI terhadap teks-teks agama serta respons terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak terdapat dalam teks dilakukan dengan metode yang diakui oleh mayoritas ulama ahlussunnah wal jama’ah, yakni ’ulumul Quran, ’ulumul hadits, dan ushul fiqh. Dengan demikian, pemahaman MUI tidak hanya secara literal saja, yang dalam beberapa hal bisa menimbulkan pengertian yang menyesatkan, seperti pemahaman tentang jihad perang secara ofensif dan kekerasan atas nama agama.

Dengan pendekatan wasathiyyah atau tawassuthiyyah tersebut MUI bisa menerima NKRI sebagai konsensus nasional (mîthaq wathanî), yang telah disepekati oleh bapak pendiri bangsa yang di antara mereka adalah ulama. Legitimasi terhadap NKRI ini didasarkan pada QS Al-Nisa’: 90 dan praktik nabi di masa-masa awal kedatangannya di Madinah yang melakukan kesepakatan atau perjanjian dengan kelompok-kelompok sosial yang ada dalam bentuk Piagam Madinah (Mîthaq al-Madînah).

 

Kemudian, dengan pendekatan tathawwuriyyah tersebut, MUI juga bisa merespons perkembangan iptek dan modernitas beserta sistem yang dilahirkan oleh modernitas, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, kemajemukan, dan sebagainya. Sementara itu, dengan pendekatan ishlâhiyyah, pemikiran MUI berorientasi untuk melakukan reformasi atau pembaruan (tajdîd) demi kemajuan umat dan bangsa.

 

Adapun dengan pendekatan tasâmuhiyyah, MUI menghargai atau menoleransi (tasâmuh) terhadap perbedaan pendapat dalam hal-hal yang bersifat furû’iyyah (bukan masalah pokok). MUI menolak pemikiran-pemikiran yang absolutis, yang dengan mudah menganggap kelompok lain sebagai bid’ah (tabdî’), sesat (tadhlîl), syirik (tasyrîk), atau bahkan kafir (takfîr). Hanya saja, MUI tetap memegang prinsip bahwa aliran yang bertentangan dengan ajaran-ajaran yang bersifat fundamental (rukun iman dan rukun Islam) tidak bisa dianggap sebagai Islam.

 

MUI juga mendukung perlunya toleransi terhadap perbedaan agama, ras, dan suku, yang dalam konteks kehidupan masyarakat dan negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Demikian pula, MUI juga menghargai perbedaan dalam bidang politik, baik dalam hal pilihan partai politik maupun pilihan kandidat dalam pemilu atau pilkada.

 

Pola pengabdian

 

Sebagai organisasi Islam di Indonesia, MUI memiliki orientasi keislaman dan keindonesiaan. Untuk itu, aktivitas pengabdiannya pun dilakukan dalam rangka perlindungan dan penguatan agama, umat, bangsa, dan negara. Tentu saja, pengabdian ini tidak lepas juga dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia, bahkan masyarakat dunia, seperti persoalan kemiskinan, kekerasan, konflik, ekstremisme, dan sebagainya. Sebagai organisasi wadah ulama, zuama, dan ormas Islam, MUI mempunyai peran kordinatif (tansîq) terhadap program-program ormas, baik di bidang agama, sosial budaya, ekonomi, maupun politik dan hukum.

 

Perlindungan agama (himâyah al-dîn) dilakukan antara lain dengan pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu agama dan pemahamannya secara benar, termasuk penolakan terhadap pemahaman secara ekstrem atau liberal. MUI juga berusaha untuk menjaga eksistensi agama dalam kehidupan masyarakat dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

 

Adapun perlindungan umat (himâyah al-ummah) dilakukan melalui upaya-upaya peningkatan ketakwaan dan kepemilikan akhlak (etika-moral) serta pendidikan dan kesejahteraan umat. Selain itu, perlindungan umat dilakukan dengan memberikan sertifikasi jaminan akan kehalalan makanan dan kegiatan perekonomian.

 

Perlindungan atau bela negara (himâyah al-daulah) saat ini terutama dilakukan dengan pemberian legitimasi teologis kepada NKRI sebagai negara kesepakatan (darul mitsaq) sehingga umat dituntut menjaga dan memperkuat negara ini dari ancaman ideologi-ideologi di luar ideologi Pancasila. Hal ini diperkuat dengan kenyataan historis, bahwa para ulama dan tokoh Islam juga terlibat dalam perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, yang memutuskan Pancasila sebagai dasar negara.

 

Bentuk pengabdian MUI tidak lepas dari permasalahan yang dihadapi umat dan bangsa pada saat ini. Pimpinan MUI menyadari betul bahwa kini terjadi keterbelahan masyarakat, terutama sebagai ekses Pemilu 2019 yang disertai dengan penyebaran berita-berita hoaks dan provokasi serta caci maki terhadap kelompok lain. Bahkan, sebagian umat beragama pun ada yang gemar mencaci maki agama lain.

 

Sementara di kalangan umat Islam kini masih terdapat kelompok ekstrem yang melakukan kekerasan dan teror, terutama Jemaah Islamiyah (JI) yang berideologi Al Qaeda, Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berideologi ISIS, dan Negara Islam Indonesia (NII) yang merupakan kelanjutan dari gerakan DI/TII. Selain itu, kini masih ada pihak tertentu yang ingin mendirikan negara Islam atau negara khilafah dan menganggap bahwa NKRI tidak sesuai dengan Islam.

 

Oleh karena itu, MUI di semua tingkatan dituntut untuk mengimplementasikan pola pemikiran dan pengabdian di atas. Dalam hal ini, terdapat empat hal penting yang memerlukan keterlibatan aktif MUI. Pertama adalah penguatan negara (taqwiyah al-daulah) dengan menegaskan bahwa NKRI adalah sejalan dengan ajaran Islam yang dipahamai secara moderat (wasathiyyah), dan bahwa kekerasan atas nama agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua adalah penguatan kerukunan dan persatuan, terutama dalam bentuk internalisasi dan pembudayaan nilai-nilai persaudaraan umat Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), persaudaraan nasional (ukhuwwah watahniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insâniyyah).

 

Ketiga adalah penguatan akhlak melalui internalisasi dan pembudayaan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab (amânah) sehingga bangsa ini bisa terlepas dari tindak penipuan dan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan. Keempat, peningkatan kualitas dan taraf hidup umat melalui pendidikan dan pemberdayaan ekonomi umat.

 

Sebagai tenda besar ormas Islam, MUI diharapkan bisa melakukan koordinasi terhadap program-program pengabdian yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam sehingga mereka bisa bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi-organisasi nonpemerintah lainnya dalam mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur, yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/14/pola-pemikiran-dan-pengabdian-mui/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar