Minggu, 01 April 2018

Pemimpin Hedonistik

Pemimpin Hedonistik
Indra Tranggono  ;   Pemerhati kebudayaan dan Sastrawan
                                                        KOMPAS, 31 Maret 2018



                                                           
Berbagai teks yang bersumber dari agama dan budaya (filsafat nilai) selalu meletakkan pemimpin sebagai sosok yang dituntut memiliki kapasitas kemampuan, integritas dan komitmen di atas rata-rata. Ada beban tugas profetik yang diemban. Pasti, pemimpin bukan orang kebanyakan.

Namun kini yang terjadi kebanyakan pemimpin tidak terlalu berbeda dengan orang kebanyakan dalam soal kapasitas kepribadian dan kemampuan. Bedanya mungkin hanya dalam soal kekayaan uang, dekat dengan kekuasaan, gelar akademik dan seringnya tampil di media massa atau media sosial. Begitu kita menelisik sisi-sisi kedalamannya, ternyata mereka cenderung rapuh layaknya benda pecah belah: berkilau tapi ringkih. Keringkihan paling menonjol adalah pada sikap menolak untuk korupsi. KPK pun harus kerja keras untuk menangkap dan memproses banyak penyelenggara negara yang terindikasi korupsi. Sebagian akhirnya mengaku, setelah dibeberkan saksi dan bukti. Sebagian yang lain berlindung di balik kekuasaan politik, tokoh-tokoh kharismatik, sambil mengumbar jurus-jurus kilah.

Setiap hari kita bisa menyaksikan festival pembelaan diri para tokoh elite. Asas praduga tak bersalah sering digunakan sebagai gembok perkara. Tentu hal itu dibarengi pelbagai penyelesaian di luar hukum. Pelajaran yang diserap masyarakat adalah: di republik ini orang kuat tidak bisa salah atau diperkarakan. Hukum ditentukan oleh selera dan kepentingan mereka yang berkuasa. Negara seperti menjadi koloni pribadi dengan pengelolaan berbasis kesepakatan-kesepakatan personal para tokoh elite.

Sering pula para tokoh elite politik membela diri dengan mengumbar narasi-narasi politik demi menggeser perkara dari kasus hukum ke kasus politik. Mereka pun mencitrakan dirinya sebagai orang suci yang dizalimi lawan politik. Rakyat bertanya, jika memang suci dan bersih dari korupsi kenapa tidak berani menempuh proses hukum?

Korupsi abadi

Penyair Sapardi Djoko Damono punya larik lirik yang sangat bagus dalam puisi “Perahu Kertas”: yang fana adalah waktu, kita abadi.  Larik lirik itu mengisyaratkan makna: manusia dengan seluruh cinta yang dimilikinya tak bisa digerogoti waktu.

Menjadi pemimpin bangsa, mengacu pada larik puisi Sapardi, adalah upaya untuk menjadi manusia abadi, dengan bekal cinta, pengorbanan, prestasi dan reputasi. Keabadian manusia ada di dalam martabatnya yang tinggi baik secara personal, sosial maupun kultural. Manusia jenis ini termasuk manusia yang telah menyejarah, (menjadi sejarah) sekaligus ikon kemuliaan yang memberi ilham bangsanya, seperti para pendiri republik ini.

Namun, tampaknya cita-cita menjadi manusia abadi kurang dimiliki oleh para pemimpin sekarang. Mereka memahami bahwa kekuasaan merupakan tambang emas kejayaan yang harus dieksploitasi demi penumpukan kekayaan pribadi, apa pun caranya, termasuk korupsi uang atau korupsi politik. Bagi mereka prinsip nilai yang berlaku adalah: “yang perkasa adalah kekuasaan dan uang, dan korupsi itu abadi.”

Dua puluh tahun reformasi bergulir ternyata belum menghasilkan para pemimpin yang memiliki kapasitas kenegarawanan dan keteladanan. Rakyat selalu kecelik. Para pemimpin yang semula berkilau dan berpotensi menetaskan harapan perubahan yang berpihak pada rakyat, ternyata berubah mandul dan suram. Pusaran kepentingan yang melibatkan uang telah menggerus integritas mereka.

Akhirnya mereka tak lebih dari para pemimpin hedonistik. Naluri mereka untuk memiliki materi, uang dan kekuasaan serta citra ternyata jauh lebih besar daripada cita-cita menjadi negarawan.

Pemimpin hedonistik adalah para penyembah kenikmatan, baik secara biologis/fisik maupun psikologis. Kenikmatan biologis bersumber dari segala hal yang bersifat material dan mampu memenuhi kebutuhan hasrat (nafsu) badaniah. Adapun kenikmatan psikologis berbasis pada pemenuhan nafsu imaterial/kejiwaan berupa kesenangan. Bukan kebahagiaan, karena kebahagiaan bersifat spiritual.

Karena orientasinya kenikmatan material-duniawai, sulit kita berharap para pemimpin hedonistik memproduksi nilai-nilai kebudayaan dan peradaban. Yang menjadi dasar berpikir dan berperilaku adalah pragmatisme sempit: apa pun ditinjau dari segi guna dan manfaat jangka pendek. Segalanya harus cepat jadi uang dan cepat untuk dinikmati. Bukan idealisme profetik layaknya nilai yang digenggam para agen perubahan sosial-kultural.

Demokrasi uang atau demokrasi transaksional yang berbasis pada kuasa modal telah memberi andil besar bagi lahirnya pemimpin-pemimpin hedonistik. Politik pasar hanya akan melahirkan politisi bermental pedagang yang ideologinya keuntungan semata.

Wahana kebudayaan

Kecuali mereka yang mendapatkan cipratan uang, sesungguhnya rakyat sejatinya sedih setiap musim pilkada tiba. Dengan berbagai cara, rakyat  dimobilisasi untuk  memberikan suaranya. Sementara rakyat tahu, umumnya para calon pemimpin yang dipilih itu tidak mencintai mereka. Terbukti setelah jadi penguasa,  banyak pemimpin menutup diri atas aspirasi dan kepentingan publik, bahkan ada yang tega menggasak hak-hak publik dengan penuh gairah.

Penyelenggara negara idealis perlu menghentikan demokrasi berbasis uang jika tidak ingin bangsa dan negara ini hancur. Demokrasi harus dikembalikan pada marwah/martabatnya sebagai wahana politik-kebudayaan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan kaum pemodal dan juragan-juragan politik. Kata kunci demokrasi bukan uang tapi kompetensi, kapabilitas, integritas, komitmen dan dedikasi.

Demokrasi harus memberi hak orang-orang berkualitas dan terpilih yang sanggup dan mampu menjalankan tugas-tugas profetik. Yakni, mengangkat eksistensi sekaligus membebaskan rakyat dari berbagai kegelapan.

Kita sangat membutuhkan pemimpin asketis, idealis, humanis dan nasionalis. Para pemimpin atau penguasa layak merenung: yang fana adalah kekuasaan, kebaikan itu abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar