Minggu, 01 April 2018

Kamu

Kamu
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 31 Maret 2018



                                                           
Hari kemudian dari Tanah Air kita terletak pada hari sekarang, hari sekarang itu adalah kamu.     (Tjipto Mangoenkoesoemo, 1927)

Jangan ragu dengan masa depan Indonesia. Ia takkan bubar. Indonesia adalah mega- entitas yang hidup. Indonesia adalah ibu yang menghidupi putra-putrinya. Bung Karno kerap melukiskan begini: ”Ibumu Indonesia teramat cantik. Cantik langit dan buminya, cantik gunung dan rimbanya, cantik laut dan sungainya, cantik sawah dan ladangnya, cantik gurun dan padangnya. Ibumu Indonesia teramat baik, airnya yang kamu minum, nasinya yang kamu makan. Ibumu Indonesia teramat kaya. Ibumu Indonesia teramat kuat dan sentosa, dari dulu melahirkan pujangga, pahlawan, dan pendekar”.

Lukisan itu terjadi pada masa pencerahan akal budi pada awal abad ke-20 ketika mimpi-mimpi indah membangun sebuah bangsa. Tekad, komitmen, konsensus akhirnya mampu membidani sebuah bangsa besar yang secara geopolitik mengeratkan dua benua: Asia dan Australia, juga menyambungkan dua samudra: Pasifik dan Hindia (Indonesia). Para putra bangsa berjuang tanpa pamrih, tentu tanpa memikirkan kursi kekuasaan. Mereka lebih memikirkan hal yang lebih besar dan lebih mulia: bangsa yang merdeka. Mereka adalah generasi terbaik negeri ini yang membangkitkan jiwa bangsa dan mewarisi negara-bangsa (nation state).

Seabad kemudian mimpi-mimpi indah itu mungkin terkubur di dalam timbunan sejarah. Seakan-akan ditelan bumi, tak berbekas lagi. Hampir tiada lagi menemukan warisannya dalam pikiran putra-putra bangsa sekarang. Karena, mimpi-mimpi generasi sekarang tidak lagi indah. Hari-hari ini bukan lagi mimpi tentang bunga-bunga bermekaran, melainkan mimpi-mimpi tentang bunga-bunga layu dan berguguran. Inilah mimpi buruk pada awal abad ke-21 tatkala generasi yang memimpin negeri ini lebih memperlihatkan jiwa-jiwa kerdil.

Apa yang paling mencolok pada zaman sekarang? Syahwat kuasa sulit dikendalikan. Partai politik terus bermunculan karena demokratisasi (terutama di daerah-daerah pascaotonomi daerah) menyediakan banyak kursi kekuasaan. Tahun 2018 ini ada 151 pesta pilkada serentak. Kursi-kursi wali kota, bupati, atau gubernur diperebutkan begitu keras. Bagaimanapun caranya, semua calon ingin merebut kursi-kursi tersebut. Dalam sistem demokrasi, cara-cara demokratis, terhormat, persaingan sehat, sportif, adu program, justru tak dipercaya.

Hari ini mereka lebih percaya pada kekuatan uang. Mulai dari mencari kendaraan partai politik, menghimpun tim sukses, membangun pencitraan, hingga membeli suara rakyat. Tak heran, korupsi di kekuasaan seperti lingkaran setan. Sepanjang 2004-2017 ada 313 kepala daerah yang terseret kasus korupsi. Kalau banyak pemimpin korupsi, itu artinya negeri ini sedang menukik ke tubir jurang. Namun, kita tak boleh menyerah. Memberantas korupsi adalah agenda utama reformasi 1998. ”You can run, but you can’t hide,” kata jaksa KPK, Irene Putrie, saat membaca tuntutan terdakwa Setya Novanto dalam perkara korupsi proyek KTP elektronik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3).

Tabiat lain yang hari ini marak adalah perilaku cakar-cakaran. Padahal, kerap digambarkan bangsa ini ramah, toleran, tepa selira. Jangan-jangan itu cuma ada di text-book saja. Kosakata yang terserap di pikiran saat ini didominasi diksi ”korupsi, politik uang, kebencian, pengaduan ke polisi, juga pengibulan, atau bangsat, dan sejenisnya”. Kosakata yang hanya memancing kegaduhan dan sangat tidak produktif. Di bawah rezim media sosial, watak-watak seperti itu makin kalap. Sungguh hanya membawa pesimisme dan dampak negatif. Beda sekali dengan generasi seabad silam yang dipenuhi dengan pemujaan terhadap ”bangsa, jiwa, kemerdekaan, pembebasan, persatuan, ibu pertiwi, cinta tanah air”. Itulah yang menyuburkan tanah, bibit-bibit unggul, jiwa-jiwa bergelora, optimisme, dan harapan yang melampaui zamannya.

YB Mangunwijaya (1997) menggambarkan, ”Indonesia ini memang negeri yang unik, penuh dengan hal-hal yang seram serius, tetapi penuh dagelan dan badutan juga. Mengerikan tapi lucu, dilarang justru dicari dan amat laku, dianjurkan, disuruh tetapi malah diboikot, kalah tetapi justru menjadi amat populer dan menjadi pahlawan khalayak ramai, berjaya tetapi keok celaka,.. aman tertib tetapi kacau-balau, ngawur tetapi justru disenangi, sungguh misterius tetapi gamblang bagi semua orang.” Begitulah gambaran absurd saat ini.

Dan, Indonesia itu bukan cuma pilkada atau pilpres. Indonesia itu adalah mimpi negeri makmur gemah ripah loh jinawi. Indonesia bukan cu- ma di panggung nasional di Jakarta, yang selalu berisik dengan mimpi-mimpi tak indah lagi. Indonesia adalah puzzle-puzzle yang saling melengkapi dari ujung timur di Skouw, Papua, sampai ujung barat di Sabang; dan dari ujung utara di Pulau Miangas, Sulawesi Utara, hingga tepi selatan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Indonesia bukan cuma milik mereka yang ada di panggung politik nasional. Dan, di seantero negeri ini begitu banyak mimpi indah tentang Indonesia. ”Hari kemudian dari Tanah Air kita terletak pada hari sekarang, hari sekarang itu adalah kamu,” tulis Tjipto Mangoenkoesoema dalam suratnya kepada kaum pergerakan sebelum dibuang ke Banda, 1927. Kini, kamu itu, ya, kita semua. Kita tolak mimpi yang tak indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar