Senin, 22 Desember 2014

Mufakat Budaya dan Universalisme Guyub

Mufakat Budaya dan Universalisme Guyub

Jean Couteau  ;  Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
KOMPAS,  21 Desember 2014

                                                                                                                       


Apakah Anda sudah dengar tentang ”Mufakat Budaya Indonesia?” Mungkin belum. Kelompok cendekiawan yang berkumpul di bawah bendera ini menawarkan perubahan drastis paradigma kebudayaan Indonesia. Sebagai salah satu peserta diskusinya, saya berupaya memahami problematikanya serta menawarkan interpretasi atas arah pemikirannya.

Pada awalnya terdapat suatu diagnosis. Globalisasi meresapi dan merombak segala segi kehidupan kita: tanah kita injak dan udara kita pakai bernapas; cara dan tempat kita bekerja dan bersenang-senang; apa yang kita pelajari dan pikirkan; apa yang kita konsumsi dan butuhkan; apa dan siapa kita kagumi dan benci. Lebih berat lagi, tersirat di dalamnya suatu rumus budaya masa depan yang tampil semakin sarat hegemoni luar. Maka, meski globalisasi itu jelas mempunyai pemenangnya–kaum kosmopolit yang kehidupannya terbagi antara Wall Street, Silicon Valley, dan Marbella atau antara Kemang, Singapura, dan Bali–tidak sedikit juga orang yang khawatir atau bahkan geram: mereka yang kondisi riil hidupnya guncang, serta mereka yang menyaksikan memori budaya, kepercayaan, dan sistem nilainya terserang langsung dan kadang terancam musnah. Melihat dampak globalisasi ini, apakah mengherankan bila ia direspons dengan radikalisme–apakah etnis, religius, atau ideologis? Jelas tidak, meski kita wajib menemukan respons lain, yang lebih manusiawi.

Instrumen yang selama ini digalang untuk menangkal disfungsi globalisasi adalah HAM. Itu baik! Tetapi apakah cukup? Bukankah naïf memercayai hukum? Hukum modern dan HAM adalah buah dari universalisme Barat, yang lahir dari dinamika kapitalisme Barat. Di situlah letak masalahnya, oleh karena ”kemajuan” yang terbawakan kapitalisme ini senantiasa bak pisau bermata dua. Sejarah di sini berbicara: kapitalisme awal memang melahirkan kebebasan berpikir, bermula dari kritik agama, tetapi hal itu juga memicu perang Katolik-Protestan (abad 16); lalu ekspansi Barat melahirkan universalisme modern, namun serentak muncul pula kolonialisme dan rasisme (abad 18-19); pada fase kapitalisme nasional berikutnya, dari kontradiksi internalnya lahirlah utopia komunisme (abad 20), sedangkan dari kontradiksi eksternalnya lahirlah ultra-nasionalisme dan dua perang dunia yang berturutan (abad 20). Kini, pada fase mutakhirnya, kapitalisme global melahirkan HAM, tetapi disertai pula ”monster-monster” baru berupa aneka radikalisme religius bernuansa mesianis yang kerap haus darah (ISIS, Sionisme radikal, Shiv Sena, dll). Jadi impian indahnya mesin kapital memang senantiasa berpilin dengan impian buruknya.

Melihat itu, (dan itu persepsi saya) tidak heran bila kelompok ”Mufakat Budaya Indonesia”, di bawah arahan Radhar Panca Dahana, ragu terhadap kemampuan hukum untuk memanusiakan kapitalisme global. Mereka sebaliknya meyakini bahwa tersimpan di dalam tradisi-tradisi etnis Nusantara sejenis universalisme lokal yang, bila diaktualisasi dengan tepat, dapat digalang untuk menangkal globalisasi. Di mata mereka (persepsi saya lagi), universalisme modern ”Barat” adalah terbatas keuniversalannya, oleh karena hanya menerima si ”liyan” (the other) secara hukum-dengan pemberian status hukum, dan hukum saja, yang setara. Universalisme Nusantara lebih luas: ia menolak ”melihat” ”keliyanan” (otherness) dan sebaliknya menekankan persamaan dan mufakat, yaitu ”ketidak-liyanan” di segala bidang. ”Universalisme guyub” tersebut diyakini hadir di dalam kedalaman budaya-budaya Nusantara, terutama di dalam sastra, baik lisan maupun tertulis. Sekarang tinggal digali dan diaktualisasikan secara rasional-obyektif, lalu disebarluaskan melalui kebijakan kultural-edukasional yang komprehensif. Bila hal-hal ini berhasil dilakukan, tak ayal lagi bakal tersedialah instrumen yang ampuh untuk menanggulangi dampak tak terduga dari globalisasi…. Tinggal implementasi politiknya.

Apakah realistis? Kita tidak tahu? Tetapi pantas dan harus dicoba. Setuju, kan?

Namun, kita jangan mimpi. Rujukan pada budaya Nusantara di atas hendaknya menjadi suatu instrumen saja, bukan suatu ideologi. Janganlah rekayasa budaya ala Orde Baru terulang lagi, di mana ”tradisi” diagung-agungkan sebagai manipulasi, untuk menjauhkan perhatian masyarakat dari masalah sosial yang sebenarnya. Itulah sebabnya reaktualisasi dan reaktivasi budaya lokal di atas harus berjalan selaras dengan kebijakan sosial yang koheren nan tepat sasaran. Tidak akan ada kebijakan penguatan budaya-budaya Nusantara yang efisien tanpa disertai kebijakan keadilan sosial yang baik. Setuju lagi, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar