Senin, 22 Desember 2014

Korupsi dan Revolusi Sastrawi

Korupsi dan Revolusi Sastrawi

Naufil Istikhari Kr  ;  Peneliti Psikologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,
UIN Sunan Kalijaga
KOMPAS,  21 Desember 2014

                                                                                                                       


Korupsi bermula dari penghambaan atas diri. Berkat penghambaan pula terjadi revolusi. Namun, ingat, alur keduanya lain sama sekali. Di titimangsa ini, kadang korupsi bisa meledakkan revolusi. Meski demikian, tak ada jaminan setelah revolusi tak akan tumbuh lagi korupsi.

Kita bisa berkaca pada sejarah. Kongsi dagang Hindia-Timur (VOC), misalnya, dibubarkan pada 1799 akibat bangkrut karena korupsi. Revolusi segera terjadi: kata perdagangan diganti penjajahan. Penjajahan adalah penghambaan sehingga meletus konsekuesi turunan untuk pribumi. Akhirnya, pribumi juga melancarkan revolusi.

Pada mulanya korupsi. Lalu revolusi. Namun, dalam tenda revolusi yang sebenarnya, terma korupsi tenggelam. Kaum revolusioner berjuang untuk revolusi itu sendiri. Mereka merumuskan persatuan untuk menolak penjajahan. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Tjokroaminoto, dan seterusnya akhirnya berhasil membebaskan bangsa ini.

Tahun 1945 adalah tanda kesuksesan sebuah revolusi. Ben Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance (1972) menengarai keberhasilan itu dikarenakan adanya sesuatu yang oleh Anderson disebut common enemy (musuh bersama). Soekarno kemudian mendirikan pilar Orde Lama, tetapi sayangnya diruntuhkan oleh Orde Baru. Saat itulah revolusi menemui babak baru. Ia pelan-pelan bersenyawa lagi dengan korupsi.

Setengah abad setelah itu, kita terlempar dalam ruas-ruas demokrasi. Revolusi fisik tak mungkin terjadi lagi. Namun, korupsi, sesuatu yang cukup panjang tersembunyi, kini menjadi isu pasti. Orang ramai tiba-tiba menceletuk, ”Ini warisan pemerintah Orde Baru. Ini adalah kutukan.” Saya pun terpancing bersuara, ”Entah warisan atau kutukan, korupsi tetap harus dilawan!” Dengan apa? Revolusi.  

Revolusi sastrawi     

Banyak orang merasa berutang budi kepada revolusi, termasuk Anda yang membaca tulisan ini. Akan tetapi, saya percaya, kalkulasi itu sedikit ketimbang orang yang lupa pada ”kekuatan tersembunyi” di balik setiap revolusi.  Saya tidak bermaksud mengajak Anda mendadak religius. Kekuatan tersembunyi mungkin akan dimaknai sebagai invisible hand yang sinonim dengan Tuhan. Tidak, Anda jangan salah paham.

Abad ke-18 ditandai dengan perubahan besar: revolusi Inggris 1760, revolusi Amerika 1776, dan revolusi Perancis 1789. Namun, tak jarang orang melupakan bahwa salah satu sumbu penggerak revolusi fisik adalah ”revolusi psikis”. Revolusi jenis ini bergerak dalam wacana sastra dan filsafat. Revolusi selalu digerakkan oleh refleksi, oleh kontemplasi. Sejarawan menyebut masa itu dengan era romantisisme.

Di masa itu kita akan berjumpa Voltaire, Shakespeare, Schopenhauer, Goethe, Schiller, dan Fichte. Schopenhauer mendemonstrasikan kecemasan pada dunia, tetapi ia menyikapinya dengan lantang. Persentuhan filsafat dan sastra benar-benar melahirkan revolusi sastrawi yang ditakuti. Voltaire menulis sastra ”yang pasrah”, tetapi selalu dilumuri ”amarah”. Candide berhasil mengatasi keputusasaan dengan gairah.

Gairah seperti itu yang kita perlakukan hari ini: revolusi sastrawi. Perubahan tak bisa disulap dalam sehari. Sastra Indonesia yang belakangan bercorak—meminjam bahasa Muhammad Al-Fayyadl—narsistik harus direstrukturisasi. Untuk menjawab kekinian, sastra harus ditempa ulang dengan spirit romantisisme. Sastra yang, menurut Achmad Fawaid, mengerti alteritas.

Sastra ”anti korupsi”

 Melawan korupsi harus dengan revolusi, sejauh revolusi dimaknai ”perbaikan besar-besaran”. Artinya, semua lini harus berani bertengkar dengan korupsi. Di titik itulah sastra harus ambil bagian di dalamnya.

Terbitnya buku Puisi Menolak Korupsi (2013) yang memuat puisi-puisi penolakan penyair terhadap korupsi merupakan langkah awal yang patut diapresiasi. Di dalamnya berisi kekecewaan dan ajakan perang melawan korupsi. Buku setebal 450 halaman ini, setidaknya, menjadi saksi betapa Indonesia sudah becek dengan korupsi dan karena itu korupsi wajib diamputasi.

Puisi menjadi suara paling murni yang mengungkapkan isi hati. Namun, puisi saja tidak cukup. Revolusi sastrawi ini harus benar-benar menyeluruh. Novel-novel sudah waktunya beranjak dari momen narsistik menuju alteristik: sebuah cerita yang disusun untuk menggerakkan animo masyarakat dalam membantu tugas negara memberantas korupsi.

Di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer mengawalinya lebih dulu. Pram menulis novel Korupsi (1954) dengan sederhana, tetapi mengena. Pram hanya terlalu simplifistik dalam mengurai praktik korup yang dilakukan Bakir, tokoh utama dalam novelnya. Banyak sekali kejadian hari ini yang jauh lebih canggih dari yang dibayangkan Pram. Namun, Pram cerdas dalam membungkus ide-ide penentangannya.

Usaha Pram perlu dilanjutkan. Sastra-sastra ”anti korupsi” penting segera ditulis dan disebarkan, dengan cerita, dengan cerpen pun tak masalah. Cerpen-cerpen Putu Wijaya sudah banyak yang bertema demikian. Tinggal dilanjutkan dengan karya-karya cerpenis muda.

Cerpen Eko Triono berjudul Pledoi Tikus (2013) mungkin akan membuat kita merinding. Tikus yang diangkap rakus, membatin dalam dirinya, ”Kami hanya mengambil sebagian limpahan kecil dari limpahan anugerah Tuhan kepada manusia. Kepala ikan. Sisa makanan. Atau, makanan yang kelak tak berguna bagi kalian, tapi kami menjadikannya istimewa… Tapi kalian menyamakan kami sesuka hati. Kami hanya tidak mampu menanam ubi sendiri, sebab tanah-tanah hanya boleh bersertifikat atas nama manusia.”  

Eko Triono menyentil, tetapi juga mengusik derajat kemanusiaan yang kerap pongah. Diam-diam kita akan berkata dalam hati, ”Iya, ya!” Begitulah cara sastra bekerja. Revolusi tak selamanya memerlukan besi. Kadang ia bisa bergolak hanya dengan bait-bait puisi. Semoga ini tanda-tanda korupsi akan teratasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar