Senin, 22 Desember 2014

Rela

Rela

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
KOMPAS,  21 Desember 2014

                                                                                                                       


Di dalam lift seorang pria jangkung berkata kepada seorang teman wanitanya yang baru saja masuk ke dalam lift itu. ”Wuiz..., dah lama, nih, kita enggak ketemuan. Kok, elo jadi tambah pendek, sih?”

Saya yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum sambil teringat kepada percakapan saya dengan seorang pria, yang beberapa minggu lalu berkomentar setelah lama tak berjumpa. ”Kok, elo kelihatan jadi tambah tua gitu sih, bro.”

Fisik                                  

Sudah lama saya mengerti bahwa orang dengan mudah menilai penampilan luar seseorang. Terutama buat saya yang fisiknya ya gitu deh itu, maka penilaian penampilan luar menjadi pemikiran yang tak bisa dianggap remeh. Maka acap kali mendengar orang berkomentar seperti kalimat di atas, saya seperti mendapat serangan jantung.

Kalau mendengar komentar semacam itu, saya selalu berusaha menganggapnya sebagai penyemangat hidup dan bukan untuk meluluhlantakkan jiwa raga. Tak bisa dimungkiri bahwa penampilan luar itu dinilai dan diberi bobot yang luar biasa oleh sesama manusia.

Beberapa jam sebelum saya menulis artikel ini, saya datang ke rumah ibadah untuk mengadakan sesi curhat dengan Sang Maha Pencipta. Salah satu dari sejuta isi curhat itu adalah soal kondisi fisik atau penampilan luar saya. Curhatnya begini.

Mengapa saya ini tidak dilahirkan dengan tinggi badan lebih dari seratus delapan puluh sentimeter. Saya suka keder dan tidak percaya diri kalau berdiri atau berpapasan dengan orang yang jangkung.

Mengapa saya diciptakan sebagai pria yang tidak tampan sehingga tidak mampu memesona orang. Dengan hanya mengenakan atasan kaus yang superbiasa dan celana jins, mereka yang masuk ke dalam kelompok tampan dan cantik serta tinggi semampai sudah bisa membuat orang geleng kepala dan berdecak kagum.

Sementara saya ini, kalau hanya mengenakan pakaian semacam itu, saya juga mendapat gelengan kepala dari banyak orang. Geleng-geleng kepala karena kebingungan bukan karena decak kagum.

Mereka yang masuk dalam kategori mengagumkan juga dengan mudah dapat memiliki pasangan. Kalaupun hubungan asmaranya tak berlangsung lama, mereka dengan cepat mendapat yang baru. Putus lagi, dapat yang baru lagi. Saya? Sama saja. Juga suka putus. Putus harapan, maksudnya.

Nonfisik

Kalau teman-teman saya bisa berpacaran atau berakhir dalam sebuah perkawinan karena diperkenalkan oleh seseorang, maka dalam seluruh perjalanan hidup saya, bisa dikatakan orang enggan memperkenalkan saya kepada orang lain. Sampai saya berpikir apakah saya ini mirip seperti barang rongsokan yang memalukan untuk diperkenalkan?

Maka suatu hari saya memutuskan menyewa personal trainer agar fisik saya menjadi indah. Baru saja menjalani program dua minggu, saya KO. Berkeinginan memiliki badan indah itu sah-sah saja, tetapi menjalankannya menjadi persoalan yang berbeda. Maka saya memutuskan berhenti dan menerima untuk menjadi seperti sekarang ini.

Mengapa saya berpikir untuk berhenti dan menerima? Bukan karena akhirnya saya bersyukur bahwa menerima keadaan dengan lapang dada adalah jalan yang terbaik. Sama sekali bukan. Dengan menjadi lajang selama setengah abad lebih, saya tak bisa lapang dada sampai sekarang.

Saya hanya melihat bahwa banyak teman saya yang jauh dari tampan dan cantik bisa memiliki pasangan yang tampan dan jelita. Maka saya mau mencoba keberuntungan dan berharap bisa seperti mereka yang tidak tampan dan tidak cantik itu. Alhasil sampai hari ini, yang beruntung hanya mereka dan bukan saya.

Maka saya mulai berpikir untuk merombak keadaan fisik dan mendaftarkan diri di sebuah seminar perombakan raga yang sungguh membuat saya tercengang. Ketika saya menceritakan semua kejadian ini kepada seorang teman, ia mulai berkicau.

”Yaahh, maaf-maaf aja ya, kayaknya itu emang nasib elo aja, bro. Eh, ngomong-ngomong kalau sekarang elo operasi dan terus bisa jadi tampan, emang elo mau apa? Mang nasib elo bisa jadi beda?”

Saya tak bisa menjawab apakah saya akan beruntung setelah ”renovasi”. Saya, sih, mengharap saya akan beruntung. Dalam keadaan masih tak bisa menjawab, teman saya bernyanyi lagi. ”Eh, maaf ya, setahu gue nih, pisau dokter bedah kecantikan tuh enggak berbanding lurus ama nasib elo,” jelasnya.

Sebelum ia pergi meninggalkan pertemuan itu, ia memberi pesan. Begini. ”Gue percaya elo udah berusaha pakai segala cara. Nah, coba elo pake cara yang kayaknya belum pernah elo coba. Belajar rela. Rela menerima bahwa kondisi elo emang kayak gini.”

Benar, selama ini saya tidak rela dan sekarang mengerti mengapa mereka yang tidak tampan dan cantik itu bisa mendapatkan yang tampan dan cantik, karena mereka menjalani keberadaan mereka dengan rela hati. Rela itu sebuah ketampanan dan kecantikan jiwa yang sesungguhnya. Ia yang mungkin menjadi daya tarik yang utama. Sesuatu yang tidak terlihat oleh saya, yang terlihat oleh mata orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar