Menunggu
Perubahan
Toeti Prahas Adhitama ;
Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Maret 2014
DETIK-DETIK menuju pileg makin
dekat. Baik konstituen maupun caleg sama-sama menunggu perubahan. Mungkinkah
konstituen mampu memilih para caleg yang bisa mewujudkan aspirasi rakyat?
Mungkinkah para caleg mampu menghayati aspirasi orangorang yang mereka
wakili? Pertanyaan itu timbul setelah mengikuti berbagai analisis tentang
kinerja parlemen yang dianggap mengecewakan.
Pihak legislatif, seperti
tersirat dalam kata-kata Ketua DPR RI belum lama ini, meragukan objektivitas
penilaian dalam berbagai analisis. Bisa dimengerti karena jajaran pimpinan
DPR RI pastinya telah berupaya menyukseskan kerja lembaga mereka. Namun,
fakta bahwa hasil sorotan publik memberi testimoni lain.
Akan tetapi, bahwa publik belum
paham benar fungsi perwakilan rakyat tak bisa dimungkiri. Sebaliknya pun
belum seluruh anggota badan legislatif menghayati kewajiban mereka sebagai
abdi negara demokrasi. Kurang pencerahan. Ini menimbulkan gambaran negatif
dan rasa tidak percaya publik pada lembaga pemerintah itu. Maka, kabar bahwa
90% orang lama akan maju kembali sebagai caleg menimbulkan tanda tanya besar:
apakah badan deliberatif pemerintah yang berkuasa membuat hukum, yang selesai
masa tugasnya tahun ini, mungkin akan mengulang perilaku kinerja lama dalam
periode baru mendatang?
Tidak ada yang sempurna, tetapi
sistem demokrasi yang lamban dan kadang-kadang serong selama ini perlu
perubahan. Partai-partai politik yang mengirim kader-kader, jajaran pimpinan
parlemen, dan para anggota parlemen perlu mawas diri. Pembekalan dan
pembelajaran menjadi tuntutan yang tidak kenal henti; bila kita ingin membarui
sistem demokrasi kita.
Spirit pembaru
Keinginan untuk mengubah
situasi, merestorasi, dan membaruinya membahana di mana-mana. Siapa yang akan
memeloporinya? Perlu spirit pembaru. Gambaran spirit itulah yang ditawarkan
buku biografi Surya Paloh (SP), gara pan Usamah Hisyam. Buku yang terbit
Februari 2014 itu menyiratkan semangat membarui sistem. Penulis dalam
pengantar Trilogi Restorasi Indonesia menyatakan bahwa judul Surya Paloh
Sang
Ideolog: Matahari Restorasi mungkin mengundang kontroversi. Itu suatu
kemungkinan mengingat dalam alam demokrasi siapa pun berhak memberikan opini
sesuai pengalaman sosial politiknya.
SP sendiri pada sampul bagian
dalam buku ini menulis, “Kalau ingin
mutiara, menyelamlah ke dasar laut yang dalam. Kalau ingin mendapatkan rasa
keadilan, kehidupan yang penuh dengan rasa sejahtera, bergabunglah dengan
arus Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia.” Bagaimana pola gerakan ini?
Pada malam peluncuran buku awal minggu ini di Jakarta, Rektor UIN Dr
Komaruddin Hidayat dalam urun rembuknya mengatakan ideologi perlu diwujudkan.
Kalau tidak, dia hanya akan berupa gagasan yang pada akhirnya menguap ditelan
waktu.
Pastinya banyak yang ingin
bergabung dalam arus gerakan perubahan yang bisa menyejahterakan semuanya.
Namun, memang diperlukan rumusan pola platform yang bisa diikuti oleh mereka
yang ingin bergabung. Yang mana yang menjadi fokus utama perubahan? Banyak
masalah yang kita hadapi. Mungkin kita pun saling berbeda pendapat tentang
pilihan fokus perhatian. Kebiasaan di negara berkembang: kita ingin mengatasi
segalanya dalam waktu bersamaan, yang rasanya tidak mungkin. Kita perlu
membuat pilihan urutan permasalahan. Memang bukan harus satu demi satu yang
diselesaikan, melainkan bisa susul-menyusul bergantian, seperti estafet.
Paling tidak perlu memilih mana yang sebaiknya diprioritaskan, mengingat
dampaknya yang bersifat sistemis, yang bisa memengaruhi seluruh sistem yang
sedang berjalan.
Kebangkitan Moral
Masalah kemerosotan moral
akhir-akhir ini sering diwacanakan. Sekalipun belum diadakan survei, fakta
bahwa tiada hari tanpa berita gencar tentang korupsi antara lain membuktikan
adanya kemerosotan itu. Apalagi korupsi besar-besaran banyak dilakukan
tokoh-tokoh yang diharapkan menjadi teladan. Jalur politik praktis ataupun
badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tampaknya tak mampu mengelak
dari gejala ini. Mungkinkah masyarakat bisa mengharapkan datangnya perubahan
dengan pemilu tahun ini?
Korupsi merongrong jati diri
bangsa dan menggerogoti wibawa pemerintah karena menipisnya kepercayaan dan
hormat masyarakat. Ketika SBY mengerahkan partainya untuk berkampanye melawan
korupsi, muncul harapan baru. Sayangnya, sebagian yang dipercayainya justru
yang mengkhianati tujuan luhur itu. Itu antara lain ikut menjelaskan mengapa
gairah korupsi yang bersemi sejak negeri ini dibanjiri petrodolar pada tahun
70-an, dibarengi dengan penggiatan pembangunan, terbukti pada masa reformasi
belum juga reda. Mungkin korupsi merajalela sebagai ekses asas kebebasan
berkat bangkitnya demokrasi.
Masyarakat manusia mempraktikkan
korupsi sejak dulu. Hanya masyarakat primitif yang tidak kenal korupsi. Usaha
pemberantasannya pun tidak pernah reda. Banyak tokoh sejarah yang terlibat
dalam usaha ini, termasuk tokoh terkenal dalam ajaran Islam, Ahmad Ibnu
Hanbal (abad VIII-IX), yang sering masuk penjara karena sikapnya itu. Dia
memandang rendah hakim yang waktu itu sering menjadi sasaran sogokan. Di
Indonesia, ekonom Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo (1917-2001) sekitar tiga
dasawarsa lalu pernah mengatakan bahwa terjadi kebocoran 30% dalam
pengeluaran negara. Berarti pada waktu itu pun dia sudah mencurigai terjadi
korupsi di kalangan pejabat negara masa Orde Baru.
Sebenarnya sejak lebih dari tiga
dasawarsa lalu pemerintah Orde Baru pernah melarang pemberian hadiah kepada
pejabat, selain mencanangkan pola hidup sederhana. Operasi tertib waktu itu
digerakkan untuk memberantas korupsi. Di masa Reformasi, sejak lebih dari
satu dasawarsa lalu telah dibentuk KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan
visi mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi, dan dengan misi menggerakkan
perubahan untuk mewujudkan bangsa yang bebas korupsi.
Maka, gerakan perubahan jelas
menjadi tantangan sekarang ini demi pertumbuhan demokrasi bermartabat sesuai
cita-cita rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar