Gerakan
Perubahan dengan Etika Masa Depan
Thomas Koten ;
Direktur Social Development Center
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Maret 2014
SETIAP kali memasuki pemilu,
masyarakat selalu menaruh harapan yang besar, bahwa dari momentum sakral
pemilu itu dapat lahir pemimpin baru yang dapat membawa perubahan bagi
kehidupan bangsa. Pemimpin baru yang diimpikan lahir dari pemilu adalah
pemimpin yang tidak menghamba pada kekuasaan, tetapi setulusnya memikirkan
masa depan bangsa dan tak jemu-jemu berjuang untuk memperbaiki nasib
rakyatnya yang diimpit berbagai kesulitan. Pemimpin yang tidak hanya
mengumbar janji kemudian menelan janji-janjinya dan membiarkan rakyat terus
hidup dalam kenestapaan.
Disayangkan, pemimpin bangsa
kita yang lahir dari pemilu yang satu ke pemilu yang lain hingga kini masih
jauh dari harapan masyarakat. Pemimpin bangsa selama ini bukan saja selalu
menghamba pada kekuasaan dan mengkhianati janji-janji politiknya, tetapi juga
gampang berkeluh kesah saat dirinya dikepung masalah. Pemimpin kita juga
tidak tampil sebagai figur yang siap mengorbankan segala-galanya dan bahkan figur
pejuang yang siap kehilangan nyawa. Pemimpin kita selama ini juga selalu
goyah oleh kegalauan sendiri, dan lupa bahwa di pundaknya rakyat selalu
menggantungkan harapannya. Pemimpin tidak tahu bahwa dari hari ke hari ada
rakyat bunuh diri akibat berkecil hati menatap masa depannya.
Yang benar, bangsa Indonesia
saat ini masih sangat mendambakan lahirnya pemimpin yang benar-benar membawa
perubahan yang mendasar bagi Republik ini, dan bukan perubahan yang hanya
hidup dalam wacana atau slogan yang diluncurkan pada saat kampanye. Ini juga
mengingat pemimpinpemimpin yang lahir pascareformasi ternyata tidak memiliki
karakter yang kuat yang mampu mendesain sistem dan membangun motivasi untuk
melakukan perubahanperubahan mendasar itu.
Menanti datangnya Ratu Adil
Oleh karena itu, tidak heran hingga
kini rakyat kecil, kaum miskin-papa yang putus asa, bahkan rakyat banyak
masih selalu berharap akan datangnya `Sang Juru Selamat' atau `Satria
Piningit' alias `Ratu Adil', yang konon akan merajut dan memandu bangsa ini
meniti jembatan emas menuju hari esok yang lebih bersahaja dan berkeadaban.
Penyelamat yang dengan bijak menuntun orang banyak menghadapi tantangan dan
mengurai cobaan untuk merengkuh hidup yang lebih baik dan lebih sejahtera.
Dari sekian kali pemilu, belum
juga lahir pemimpin yang diharapkan itu, dus yang ada hanyalah badut-badut
politik, seperti acuh tak acuh dengan segala jeritan rakyat kecil, kaum
miskin papa, sehingga segala kemungkinan bisa saja terjadi. Siapa berani
menyangkal jika figur mitis yang mistis itu sungguh muncul ibarat meteor atau
bagaikan deus ex machina dari reruntuhan dan puing-puing harapan yang
tersisa?
Memang, situasi yang masih belum
menentu, di tengah kehidupan rakyat yang masih diimpit kesulitan demi
kesulitan, para budayawan masih kerap mengatakan, itu mungkin pantulan
prahara Nusantara akhir abad ke-19 seperti dilukiskan Ronggowarsito (Pujangga
Kesultanan Surakarta) beberapa saat sebelum meninggal pada 1873, ia
menorehkan potret murung dari zamannya lewat puisi, Serat Kala Tida (puisi
zaman kegelapan). “Kegemilangan
kerajaan sirna dari pandangan atau dalam keruntuhan pengajaran jalan
kebajikan atau karena tidak ada teladan yang tersisa.“ Maksud
Ronggowarsito dengan ramalannya, “tak
ada teladan yang tersisa”, tidak lain adalah bahwa model-model lama tak
bisa lagi diturunkan.
Model-model baru, pemimpin
pemimpin baru dengan gaya kepemimpinan baru, harus segera lahir dan/atau
diturunkan, dengan misi dan karya nyata yang agung dan membumi. Di seantero
Nusantara, khususnya Tanah Jawa, rakyat tidak jemu-jemu menantikan kedatangan
tokoh baru, tokoh ‘Satria Piningit’ (teladan dan tatanan model baru) yang
diharapkan, dan tentu akan datang pada waktunya, di ujung harapan-harapan
yang tersisa.
Harapan akan datangnya ‘Ratu
Adil’ pembawa perubahan mendasar bagi bangsa ini, juga tidak lain sebagai
bentuk cita-cita seluruh anak bangsa ini tatkala bersepakat membangun negeri
ini, seperti yang dilantunkan Benedict Anderson. Kata sang begawan Anderson,
terbentuknya sebuah negara bangsa, selalu dilandasi sebuah utopia bersama
untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik, lebih sejahtera, dan
berkeadaban. Itulah yang ia sebut bangsa (nation)
sebagai komunitas imajiner, sebuah komunitas yang dibayangkan. Dan bagi
bangsa Indonesia, state building and nation building yang semestinya dimaknai
sebagai proyek penciptaan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa
dengan keadaban yang lebih maju, ternyata belum juga menemukan sosok
sejatinya.
Yang ada saat ini, bangsa
Indonesia masih diselimuti kegalauan atau kegelisahan yang berkepanjangan.
Harapan-harapan seperti masih saja bertepi. Jiwa bangsa yang galau
menyaksikan dan mendengarkan betapa jelas dan nyata kekacauan moral dan
hipokrisi para pemimpin dan kaum elite negeri, baik di bidang politik, moral,
ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan lain-lain. Dan tatkala para pemimpin
dan kaum elite negeri, terutama para agamawan dan para punggawa moral
terjerembab ke dalam kekacauan moral dan hipokrisi, bangsa ini kehilangan
nyaris segalanya untuk berdiri tegak meraih hari esok yang gemilang seperti
yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.
Lalu, apakah kita saat ini cukup
menunggu saja datangnya pemimpin baru penuh harapan, yang terpatri dalam sosok
‘Satria Piningit’, atau ‘Ratu Adil’ sebagai ‘Juru Selamat’ yang membebaskan
bangsa ini dari berbagai kesulitan ekonomi, yang dibaluti kekacauan moral dan
hipokrisi para pemimpin dan elite negeri? Tentu saja tidak. Bangsa ini harus
terus aktif mengerjakan politik, dan tak kenal lelah untuk menentukan
perjalanan sejarahnya sendiri lewat garis-garis politik yang dilakukannya. Prahara dan kepemimpinan politik bisa menjadi
prakondisi menuju kemajuan suatu bangsa. Demikian kesimpulan pemikir
kelas dunia, Samuel Huntington dan Lawrence E Harrison (2000).
Perubahan yang beretika
Karena itu, yang dibutuhkan kini
adalah suatu gerakan perubahan yang terprogram, terencana, dan terukur, yang
kerap disebut juga sebagai gerakan restorasi. Adalah suatu gerakan yang ditujukan
untuk mengembalikan nilai-nilai etika dan moralitas kebangsaan yang merupakan
basis-basis kebangsaan yang telah lama pudar tergerus perilaku bangsa yang
tak terkontrol. Dan, gerakan perubahan itu diharapkan dapat membawa Indonesia
kepada suatu perubahan bangsa yang lebih baik, yang menyangkut peradaban
politik, ekonomi, dan sosial.
Sebuah gerakan perubahan yang
dibangun dengan tekad merehabilitasi dan mentransformasi masa depan dengan
landasan perubahan perilaku dan pembaruan sikap dan mental melalui refleksi
terhadap nilai-nilai manusiawi yang telah lama terabaikan, yaitu etika masa
depan. Sebuah etika yang menghendaki tanggung jawab yang didorong keberanian
untuk menjawab tantangan apa pun.
Pada tataran ini, pemimpin
perubahan yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berani dan mampu merumuskan
nilai-nilai dan norma-norma dengan prioritas yang menjamin
perubahan-perubahan yang diinginkan. Adalah pemimpin yang tanpa lelah, terus
berjuang bersama rakyat melintasi zaman edan, zaman kegelapan, zaman yang
tidak menentu menuju zaman emas penuh kebanggaan. Adalah pemimpin yang siap
kehilangan nyawa untuk negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar