Budaya
Parlemen Artis
Chusmeru ;
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
|
SUARA
MERDEKA, 14 Maret 2014
PEMILIHAN
Umum Legislatif (Pileg) 2014 tinggal menghitung hari. Para calon anggota
legislatif (caleg) makin intensif tebar pesona, untuk lebih memperkenalkan
diri kepada publik. Tidak ketinggalan sejumlah artis yang turut meramaikan
pentas politik lima tahunan itu. Akankah masyarakat secara sadar, rasional,
dan cerdas memilih caleg artis untuk duduk di kursi parlemen? Ataukah artis
itu hanya menjadi kosmetika politik yang mewarnai etalase gedung parlemen?
Adaptasi
artis di lingkungan yang baru bukanlah proses mudah. Mereka terbiasa hidup
dalam lingkungan dengan kerangka kerja menghibur, dan harus beradaptasi dalam
lingkungan dengan kerangka kerja politik. Artis harus beradaptasi dari
lingkungan ”budaya selebriti” yang sarat hiburan ke dalam ”budaya parlemen”
yang penuh intrik politik.
Perbedaan
adaptasi antarbudaya tersebut merupakan proses panjang penyesuaian diri untuk
memperoleh kenyamanan berada dalam lingkungan baru. Elingswoth serta
Gudykunst dan Kim (dalam MC Ninik Sri Rejeki, 2007:5 ) menyebut, perilaku
adaptasi dalam interaksi antarbudaya berkaitan dengan unsur adaptasi dalam
gaya berkomunikasi.
Komunikasi
antara artis dan khalayaknya berbatas media, baik film layar lebar maupun
layar kaca. Kalau pun terjadi proses komunikasi interpersonal dengan
khalayak, itu hanyalah sekadar jumpa penggemar yang bertujuan mendekatkan
secara emosional penonton dan produk aktingnya.
Adapun
komunikasi legislator dengan konstituen terjadi secara sosial dengan tujuan
menggali input dalam pengambilan kebijakan politik. Meski tak jarang anggota
legislatif dari kalangan bukan artis pun kemudian meniru pola komunikasi
selebriti dengan lebih banyak tampil di media ketimbang mengunjungi
masyarakat.
Dimensi
aksiologis kurang dianggap penting dalam lingkungan hiburan. Selama peran,
lakon, dan akting yang dijalani artis dapat menghibur dan meledak di pasaran
maka ia tak perlu lagi bertanya manfaat secara moral. Baik dan buruk kerja
keartisan sangat ditentukan oleh kemauan sutradara dan produser. Sementara
produk politik legislatif selain bersandar pada pijakan yuridis dan politis,
juga mempertimbangkan aspek moral etis.
Artis
yang terbiasa berperilaku dan berkomunikasi dengan pola hubungan sutradara,
produser, dan pasar akan memandang produk perundangan sebagai komoditas yang
perlu merujuk pada arahan sutradara dan produsernya. Maka, seorang artis bisa
akan lebih taat kepada ketua umum partai --sebagai sutradara-- dan tentu saja
pemilik modal. Persoalan manfaat
secara aksiologis menjadi tidak penting.
Kredibilitas
Terpilih
tidaknya caleg artis, seperti halnya caleg nonartis sangat bergantung pada
kredibilitasnya sebagai komunikator politik. Popularitas yang dimiliki hanya
hadir dalam peta kognitif khalayak. Walau tidak tertutup kemungkinan ada
masyarakat memilih caleg karena faktor histeria media. Caleg yang sering
tampil dan dielu-elukan media itulah yang dipilih.
Kredibilitas
biasanya tercipta antara lain karena faktor pengetahuan dan kejujuran
seseorang. Pengetahuan caleg artis yang diperlukan ketika duduk di kursi
legislatif bukan hanya soal seni peran melainkan juga pemahaman dan wawasan
ketatanegaraan. Masalah ini menjadi serius, karena dari beberapa debat atau
dialog interaktif caleg artis di televisi, pengetahuan mereka soal hukum,
politik, dan ekonomi sangat memprihatinkan. Bahkan ada caleg artis mengatakan
akan belajar tentang proses legislasi setelah duduk di kursi parlemen.
Kejujuran
menjadi modal penting mendapat kredibilitas caleg di mata para pemilih.
Stigma kehidupan artis yang bertolak belakang antara panggung depan dan panggung
belakang akan menjadikannya sulit meraih kredibilitas itu. Di depan kamera
bisa saja artis bercucuran air mata, meratapi
kehidupan yang melarat, namun di panggung belakang, dalam realitas
kehidupannya ia bisa menjadi orang hedonis dan tak peduli pada derita orang
lain.
Sebagai
wakil rakyat, artis tak boleh lagi bermain dengan manipulasi panggung depan
dan belakang. Ia mesti konsisten antara kata dan perbuatan, antara ruang
parlemen dan kehidupan sosial politiknya. Empatinya terhadap derita
kemiskinan masyarakat atau penegakan supremasi hukum mesti lahir dari
ketulusan dan kejujurannya, bukan sekadar pengelolaan kesan (impression management) demi menghibur
khalayak. Jangan sampai artis yang duduk di parlemen tampil dalam iklan
layanan masyarakat, ìKatakan Tidak pada Korupsiî, namun beberapa waktu
kemudian menjadi terpidana kasus korupsi.
Caleg
artis hanya sebagian kecil dari daftar caleg pada Pemilu 2014. Sebagian besar
diisi petahana (incumbent), anggota
legislatif periode 2009-2014 yang kembali mencalonkan. Bila kinerja wajah
lama anggota legislatif saja banyak digugat masyarakat, akankah caleg artis
mampu bekerja lebih baik dari pendahulunya. Ataukah mereka akan menjadi
bagian dari wajah lama yang memiiliki rapor merah sebagai wakil rakyat? Masyarakat tentu lebih cerdas menentukan pilihannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar