|
Bank Indonesia (BI) mencatat
penurunan cadangan devisa (cadev) sebesar 7,1 miliar dolar AS, dari 105,2
miliar dolar AS per akhir Mei 2013 menjadi 98,1 miliar dolar AS per Juni 2013.
Ini lantaran besarnya arus modal keluar yang mencapai Rp 40,1 triliun atau 4,1
miliar dolar AS, terdiri dari 2 miliar dolar AS di saham dan 1,98 miliar dolar
AS di pasar SUN (surat utang negara). Keluarnya dana-dana investor asing itu,
mau tak mau, menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah yang terus berlangsung
sejalan dengan pelemahan mata uang di kawasan.
Untuk mendongkrak posisi cadev,
pemerintah perlu menggenjot ekspor lebih baik lagi dan sekaligus mengurangi
impor, khususnya barang-barang konsumsi. Beberapa negara yang perekonomiannya
membaik--seperti AS, Jepang, dan Korsel--dapat dijadikan destinasi ekspor.
Jika memungkinkan, bisa pula
dilakukan rescheduling (penjadwalan ulang) atas pembayaran utang luar negeri
pemerintah maupun swasta. Tak kalah pentingnya, pemerintah harus terus
mengupayakan terciptanya iklim investasi yang baik agar foreign direct
investment (FDI/investasi langsung) masuk (capital inflow). Terakhir, jika
terpaksa, kebijakan stop kredit dalam dolar AS untuk sementara waktu juga bisa
dilakukan.
Hal yang tak kalah pentingnya, BI
tidak harus menjaga kurs rupiah pada level tertentu, tetapi dijaga agar
fluktuasi atau volatilitasnya tidak liar. Banyak orang berpandangan bahwa kurs
rupiah tidak boleh melampaui Rp 10.000 per dolar AS tanpa ada dasar pijakan
teori atau justifikasinya.
Bagi bank sentral, dan juga bagi
para pelaku usaha pada umumnya, yang penting kestabilan kurs rupiah. Bukan soal
level berapa. Akan sangat menyesatkan kalau kurs rupiah dipatok pada level
tertentu, misalnya Rp 10.000 per dolar AS, karena akan memberatkan bank sentral
untuk mencapai level itu. Yang penting, nilai tukar rupiah sebaiknya
mencerminkan fundamental ekonominya.
Jadi, tidak ada level psikologis
Rp 10.000 per dolar AS sebagai patokan, tetapi level ideal yang sesuai dengan
fundamental ekonomi negara. Pasar akan memberikan penilaian atau valuasi
tingkat kurs mata uang suatu negara dengan mengacu ke fundamental ekonominya.
Dengan pandangan seperti ini, maka BI akan mengupayakan untuk menciptakan
kestabilan moneter guna mendukung kestabilan makroekonomi secara keseluruhan.
Di sisi pemerintah harus terus
diupayakan agar pertumbuhan ekonomi terus membaik. Koreksi proyeksi pertumbuhan
ekonomi tahun ini oleh Bank Dunia dari 6,2 persen ke 5,9 persen hendaknya tidak
menyurutkan ambisi pemerintah untuk mencapai level pertumbuhan ekonomi 6,3
persen sebagaimana tertuang dalam asumsi RAPBNP 2013.
Dari gambaran di atas, terlihat
ada pembagian tugas antara bank sentral dan pemerintah. Sebagai lembaga
independen, BI akan mengupayakan laju inflasi yang terkendali serta kurs rupiah
yang stabil. Sedangkan pemerintah akan mengupayakan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi setinggi mungkin.
Janganlah BI sebagai otoritas
moneter diberi tugas menjaga inflasi rendah dan kurs rupiah yang stabil
sekaligus juga mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Ini tiga buah
pekerjaan yang sulit. Sekali lagi, harus ada pembagian tugas antara BI dan
pemerintah agar ketiga target makroekonomi itu dapat diraih sebaik-baiknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar