|
Dalam beberapa hari ini terjadi
balas-berbalas pernyataan antara Kapolri dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Di
sebuah acara diskusi coffee morning
Komisi Pemilihan Umum, pemimpin KPK menyampaikan data sebuah survei yang
kemudian di beberapa media ditulis, ”Polri sebagai salah satu lembaga
terkorup”. Tanggapan Kapolri, ”Kami menerima kritik dan bersedia berubah.”
Sebuah respons positif. Namun, cukupkah komitmen lisan itu?
Yang
disampaikan pemimpin KPK sebenarnya bukan data yang benar-benar baru. Transparency International secara rutin
memublikasikan dalam produk yang disebut Global
Corruption Barometer (GCB). Terakhir, pada 2013, lima sektor terkorup dari
107 negara yang disurvei adalah partai politik, polisi, petugas pelayan publik,
parlemen, dan pengadilan.
Kecenderungan
data global itu juga terlihat di Indonesia. Berdasarkan GCB tahun 2003-2013,
parlemen, partai politik, polisi, dan pengadilan bergantian berada pada posisi
institusi yang dipersepsikan paling korup di Indonesia. Polisi beberapa kali
berada pada nilai terendah, berkejar-kejaran dengan parlemen.
Rekening gendut
Tren satu
dasawarsa, yang tak banyak berubah, tentu pertanda buruk yang menunjukkan
komitmen berubah masih sebatas lisan, belum nyata. Menyerahkan inisiatif dan
kerja pembenahan sepenuhnya kepada Polri secara internal sulit diharapkan. Apa
yang perlu dibenahi?
Satu hal yang
tidak mudah dilupakan terkait dengan Polri adalah temuan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan tentang transaksi keuangan mencurigakan sejumlah
perwira tinggi Polri. Ini persoalan yang tak pernah bisa selesai meskipun telah
melewati lebih dari tiga era Kapolri. Bahkan, putusan Komisi Informasi Pusat
(KIP) Nomor 002/X/KIP-PS-A/2010 yang diucapkan secara terbuka pada 8 Februari
2011 tidak dipatuhi Polri.
Saat itu KIP
menyatakan dan memerintahkan agar Polri membuka informasi tentang 17 nama dan
jumlah rekening mencurigakan yang sebelumnya dinyatakan wajar oleh Polri (23
Juli 2010). Sampai sekarang kita tidak pernah tahu, siapa perwira tinggi yang
memiliki rekening gendut itu, berapa jumlahnya, dan apa dasar Polri menyatakan
17 perwira pemilik rekening tersebut wajar.
Sampai kasus
korupsi pengadaan simulator di Korlantas Mabes Polri mencuat, resistensi Polri
ketika KPK menggeledah kantor Korlantas Polri dan menetapkan seorang jenderal
aktif, Irjen Djoko Susilo, sebagai tersangka, terbukalah mata kita semua bahwa
banyak hal yang masih harus diselesaikan di institusi penegak hukum ini.
Apalagi, kemudian KPK menggunakan Undang-Undang Anti-Pencucian Uang. Terkuaklah
harta sekitar Rp 118,36 miliar, yang diduga diperoleh Irjen Djoko Susilo (DS)
dalam kurun 2003-2012. Angka yang jelas tidak sebanding dengan kekayaan yang
dilaporkan secara resmi dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN).
Pada
persidangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang memberikan
kewajiban kepada DS sebagai terdakwa untuk membuktikan kekayaan tersebut bukan
hasil korupsi. DS gagal. Hakim tidak meyakini bukti yang diajukan tersebut.
Jika dicermati, alat bukti yang diajukan memang tidak cukup kuat karena
cenderung bersandar pada keterangan saksi, jual beli permata (tanpa surat), dan
sempat menyinggung hobi jenderal mengoleksi keris pusaka. Akhirnya, DS divonis
10 tahun penjara, didenda Rp 500 juta, dan harta yang terbukti pencucian uang
dirampas untuk negara.
Apakah perwira
Polri dengan kekayaan tak wajar tersebut hanya terjadi pada DS? Banyak orang
berkeyakinan: tidak! Apalagi jika melihat temuan PPATK tentang transaksi
keuangan mencurigakan yang tidak pernah selesai hingga saat ini.
Kita berharap
bahwa cap ”wajar” yang diberikan tim pemeriksa internal Polri terhadap para
perwiranya itu bukan pembuktian yang mudah patah seperti yang diajukan pada
persidangan DS di pengadilan tipikor beberapa waktu lalu. Namun, di tengah
krisis kepercayaan terhadap Polri terkait dengan penuntasan rekening gendut
atau kasus-kasus sejenis seperti Djoko, pernyataan Wakil Kepala Polri Komisaris
Jenderal Oegroseno menarik dicermati.
Dia berkata,
”Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi.” Perkataan ini kita catat dan harus
ditagih pada tindakan konkret pembenahan kepolisian. Jika Wakapolri konsisten,
tentu kasus rekening gendut yang ditutup-tutupi sejak lama akan dibuka, dan
sejumlah perbaikan institusional di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia
itu dapat dilakukan.
Tolak gratifikasi
Kombinasi
pelaporan LHKPN yang benar dan pembangunan perangkat antigratifikasi di
kepolisian seharusnya dilakukan segera karena kekayaan tak wajar yang dimiliki
sejumlah perwira Polri, jika tidak bisa dibuktikan berasal dari penghasilan
sah, tentu saja kemungkinan besar terkait dengan gratifikasi. Hal ini yang
perlu dipotong dari dalam oleh pemimpin Polri. Sudah tidak zamannya lagi Polri
atau penegak hukum lain menerima setoran dalam melaksanakan tugas.
Pola sederhana
pengendalian gratifikasi yang dapat dilakukan di tahap awal oleh Polri adalah
mekanisme pelaporan penerimaan dan penolakan gratifikasi. Karena UU No 30/2002
memberikan mandat kepada KPK untuk menjalankan tugas pengendalian gratifikasi
ini, Mabes Polri dapat duduk bersama dengan KPK melakukan pembenahan ke dalam.
Bagaimana
membuat mekanisme ini efektif? Tentu butuh komitmen penuh pemimpin Polri.
Selain itu, menyinkronkan pelaporan dengan penilaian kinerja, sanksi bagi yang
melanggar, penghargaan bagi yang menjalankan, dan sistem pemberian remunerasi,
akan memberikan efek yang kuat ke dalam.
Namun, sekali
lagi, tentu program ini hanya akan seperti menggantang asap jika para perwira
tinggi Polri tidak memperlihatkan keteladanan. Mari bersama-sama melihat apakah
Kepolisian Negara Republik Indonesia benar-benar serius berbenah dan menjadi
bagian dari kerja keras melawan korupsi? Ataukah mereka masih nyaman menjadi
”juara bertahan”? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar