|
Bulan haji sudah tiba. Para jemaah
yang dinyatakan memenuhi persyaratan telah diberangkatkan. Jemaah calon haji
yang terganjal sistem kuota maupun lainnya mesti bersabar.
Barangkali ada
hikmah yang bisa dipetik dari kondisi yang tidak nyaman ini. Jemaah yang kini
sudah mulai tiba di Tanah Suci perlu memahami makna filosofis dan sosiologis
dari setiap rangkaian rukun yang berlangsung di dalamnya.
Haji dalam
pandangan Ali Syariati merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan suatu
pertunjukan banyak hal yang dilakukan secara masif untuk menghayati filosofi
tentang penciptaan makhluk, sejarah peradaban, keesaan Tuhan, ideologi agama,
dan kesatuan ummah.
Berbagai rukun
yang bersifat wajib ataupun sunah dalam haji tak terlepas dari pergulatan
simbolis yang melingkupi setiap sendinya. Semisal melempar jumrah, sai antara
Shafa dan Marwah, berteduh di Padang Arafah di tengah malam, melakukan tawaf
dengan mengelilingi Kabah, menggunakan pakaian ihram, mencukur rambut, dan lain
sebagainya merupakan sarana pertunjukan yang tak hampa makna. Namun, setiap
tindakannya mempunyai definisi tersendiri mengapa setiap rukun tersebut harus
dilakukan sebagai syarat pemenuhan ibadah haji.
Interaksi simbol
Menarik jika
mencermati berbagai rukun dalam haji, yang sarat demonstrasi simbolik,
menggunakan teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead. Bagi Mead,
sebuah tindakan yang dilakukan setiap orang tak lepas dari imajinasi dalam
menciptakan dunianya, sesuai kreativitas dan kemampuan dirinya. Dunia permainan
bagi anak-anak, dunia belajar kerja bagi pendidik dan terdidik, dunia kerja
bagi orang dewasa, dan dunia haji bagi orang yang ingin menyempurnakan rukun
Islamnya adalah sarana untuk mengekspresikan proses interpretasi dua arah:
antara subyek-obyek, antara pelaku dan lakon yang dimainkan.
Pada tiap-tiap
dunia tersebut punya ciri sendiri. Antara satu dan yang lain tidak bisa saling
mengintervensi berdasarkan kapasitas dirinya. Sebab jika ada pihak luar yang
mengintervensi berdasarkan ukuran diri yang tidak selaras dengan
karakteristiknya akan merusak tatanan presentasi diri yang dimainkan dalam
dunianya.
Mencermati
dunia haji, yang menurut Ali Syariati sarat dengan demonstrasi simbolik, harus
dipahami sebagai arena presentasi diri yang mencoba untuk mengenali jejak-jejak
perjalanan spiritual dan kultural yang dilakukan Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan
Nabi Muhammad.
Tindakan
melempar jumrah maupun sai antara Shafa dan Marwah yang menjadi salah satu
rangkaian ibadah haji, misalnya, tak bisa dilihat melalui cara pandang linear.
Namun, ia harus melibatkan analisa yang dialektis bahwa dalam dunia haji setiap
orang punya hak dan kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol
di dalamnya sebagai tindakan dan presentasi diri untuk berserah.
Dengan
demikian, demonstrasi simbol dalam dunia haji punya ciri tersendiri yang
mencoba memusatkan perhatiannya pada proses-proses subyektif dan proses-proses
interaksi tingkat mikro. Ia pada gilirannya akan menghasilkan definisi-definisi
subyektif bersama kenyataan sosial yang terdapat di dalamnya.
Kenyataan
sosial yang terdapat dalam dunia haji adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan
untuk menunjukkan kerelaan dan kebaktiannya kepada yang Maha Kuasa, tanpa harus
menunjukkan egoisme berdasarkan kapasitas diri yang berada di luar
karakteristik dunia haji. Misalkan, sikap mempertanyakan mengapa harus melempar
jumrah, harus berdingin-ria di Padang Arafah, lalu coba menggantikannya dengan
tindakan yang lain, maka—menurut George Herbert Mead—akan meruntuhkan keasyikan
sebuah tindakan dalam dunianya yang sebenarnya bisa menuntun kita pada sebuah
kepuasan dan kebahagiaan.
Konstruksi
citra diri
Dalam
menjalankan ibadah haji, sering kali setiap orang bertemu dengan berbagai peristiwa
yang tidak bisa dinalar. Misalkan, tiba-tiba yang bersangkutan ditolong orang
yang tak dikenal atau justru dijahati dengan tanpa alasan yang mendasarinya.
Sekilas,
peristiwa ini aneh jika diukur dengan hukum kausalitas secara langsung. Namun,
dalam teori tindakan, hal ini tidak lepas dari alokasi makna yang
menginterpretasikan sebuah keberlanjutan sikap antara satu orang dan orang lain
berdasarkan labelitas kebaikan dan keburukan yang pernah bersarang di
pundaknya.
Dengan kata
lain, setiap kebaikan dan keburukan yang ditampilkan dalam keseharian, menurut
Erving Goffman (Presentation of Self in
Everyday Life), akan jadi faktor penentu bagaimana asosiasi baik atau buruk
akan melekat pada dirinya melalui penafsiran orang lain.
Dalam hal ini,
peristiwa ”aneh” yang hadir dalam dunia haji tersebut menjadi cerminan simbolik
bahwa tiap orang harus melakukan peningkatan diri dan evaluasi diri dalam
kesehariannya. Ini agar kepuasan dan kebahagiaan yang menjadi citra diri yang
paling luhur dalam kehidupan bisa dikonstruksi dengan baik.
Haji yang sarat
dengan demonstrasi simbolik mempunyai definisi-definisi yang berkaitan erat
dengan peran amaliah yang dimainkan bersama yang lain, tindakan ibadah yang
diekspresikan dalam keheningan ataupun keramaian, ruang interaksi yang
digunakan sebagai simpul pemersatu jemaah, atau presentasi diri berwujud
kepasrahan untuk mengakui sebuah keesaan.
Ibarat sebuah
permainan yang digandrungi anak-anak, haji adalah sebuah dunia yang digunakan
sebagai ajang ekspresi dan kreasi simbol spiritualitas untuk mencapai kepuasan
dan kebahagiaan. Di dalamnya terdapat persuaan dua arah, terjalin secara
emosional, yang bisa mengakibatkan pelakunya menangis, terharu, termenung, atau
mungkin tersenyum sambil membayangkan betapa permainan ini sangat mengasyikkan.
Dalam
perspektif ini, wajar jika banyak orang ingin berhaji berulang-ulang. Karena,
bisa jadi mereka tertarik dengan ”pertunjukan” yang menyajikan suguhan
spiritualitas yang bisa mengajaknya kepada obyek-obyek material dan
non-material yang menakjubkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar