|
"Teroris
tidak akan pernah mati", demikian pernyataan Abraham Milasovi (2010) mengingatkan setiap
pemimpin negara dan perangkatnya. Teroris akan selalu hidup seiring dengan
bentuk dan dinamika kehidupan masyarakatnya. Watak dan ideologi serta agama
teroris berpangkal pada watak, ideologi, dan agama masyarakat tempat teroris
itu bergaul dan terlibat pergulatan.
Teroris menjadi gambaran riil wajah negara. Ketika rezim Orde Baru menggunakan paradigma ideologi represif dan monolitik, teroris nyaris tidak pernah mencuat ke permukaan. Paradigma rezim yang sangat eksklusif dan militeristik telah berdampak menutup keran bagi tumbuhnya gerakan-gerakan radikalistik. Begitu sedikit muncul gerakan yang berbau “beda” dengan ideologi negara, kelompok seperti ini langsung ditumpas atau disumbatnya.
Kosa kata “melawan negara, aliran kiri, organisasi tanpa bentuk, atau bertentangan dengan Pancasila”, nyaris selalu diidentikkan dengan gerakan berpola subversi yang notabene menjadi ancaman utama bangsa yang wajib dibasmi atau dihabisi sejak dini. Dalam konstruksi negara versi rezim Orba, stabilitas sosial dan keamanan negara menjadi tujuan utamanya.
Dari sisi orientasi harmonisasi atau tertib sosial (social order), rezim Orba memang sukses dalam mengeliminasi atau mengalahkan terorisme. Akan tetapi, dari ranah demokrasi yang berbasis kemerdekaan berpikir, berpendapat, berorganisasi, dan beroposisi, paradigma negara yang berpola monolitik dan eksklusif justru diidentikkan oleh rakyat sebagai state terrorism (terorisme oleh negara). Ketika rezim telah bergeser ke Orde Reformasi, keran demokratisasi terbuka lebar. Segala hasrat rakyat dan “nafsu” untuk atas nama meluruskan, memperbaiki, dan membawa negara ke jalan yang benar, berkeadilan, dan berkeadaban, bergulat di masyarakat.
Di satu sisi terjadi euforia dalam berebut kekuasaan atas nama daulat rakyat, sementara di sisi lain, kelompok yang termarjinalisasikan, berideologi menghalalkan kekerasan sebagai instrumen jihad, dan kekuatan yang berbeda kepentingan mencoba mencari dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Dari situlah, di antaranya teroris, berhasil membangun wajah dan menjalankan serta menikmati keran terbuka gerakannya.
Teroris menjadi sisi negatif euforia elemen bernegara, yang sibuk berebut kekuasan, mengabaikan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan, kegagalan mengonstruksi kesalehan keberagaman, dan klaim kebenaran yang dimenangkan. Teroris akhirnya tampil sebagai salah satu “penguji”serius kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Teroris mendapatkan pengakuan sebagai elemen sosial sebagai kekuatan yang seolah tidak bisa ditinggalkan. Teroris terus tampil membuat kreasi historis dalam belantara kehidupan Republik ini.
Kreasi teroris itu berlandaskan pada kontemporerisme problem akumulatif negara sebagai kurikulumnya, sehingga logis jika selain teroris tidak pernah mati, juga terus menunjukkan akselerasinya. Semakin banyak dan beragam problem yang menjadi virus dalam konstruksi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, teroris menunjukkan eksistensinya. Jika dibaca dari target yang sudah terumus dalam gugus strategi teroris selama ini, “kurikulum” terorisme yang dikembangkan oleh para elite terorisme di antaranya berpangkal pada problem ketidakadilan internal dan global yang direstui atau ditoleransi oleh rezim Era Reformasi.
Kekuatan asing yang dalam beberapa sisi mencengkeram bangsa, dan bahkan dinilai menjadi monster dengan wajah neokolonialisasinya, telah diperlakukan oleh kekuatan sosial tertentu sebagai penyakit yang harus dibasmi. Kata Usman Ghifari (2011), kekuatan asing yang tidak kenal titik nadir dalam mengambil banyak keuntungan ekonomi dan politik dari negara-negara tak berdaya, diperlakukan oleh kaum radikalis dan ekstremis tertentu sebagai penghancur negara yang sesungguhnya sehingga tidak bisa didiamkan atau dibuat menjadi tidak nyaman dan superior. Mereka ditempatkan sebagai target gerakan supaya tidak berlamalama menjadi penjarah atau perampok atas negara-negara kecil.
Perlakuan berpola terorisme itulah yang di satu sisi mampu menjadi kekuatan penyeimbang keadidayaan negara asing, namun di sisi lain membuat keberlanjutan hidup rakyat secara umum terancam. Tidak sedikit warga yang tidak berdosa yang kehilangan keberlanjutan hidupnya akibat sepak terjang teroris. Sudah puluhan ledakan bom dan senjata digunakan oleh teroris untuk menunjukkan eksistensinya. Bisa dijadikan refl eksi bagaimana seandainya tanda-tanda aksi teror di berbagai wilayah tidak tercium Polri? Negeri ini bisa jadi sudah terkena “hujan bom” di mana-mana.
Keniscayaan akselerasi radikalisme bisa spektakuler. Pasalnya, kelompok teroris itu hidup dan beradaptasi dengan baik di tengah-tengah masyarakat yang bersifat heterogen yang sedang disibukkan mengamati sepak terjang elemen negara dan bergulat dalam memenuhi kebuhan pokok sehari-harinya. Terbelahnya konsentrasi rakyat terebut dimanfatkam dengan sebaik-baiknya oleh teroris. Teroris sangat cerdas membaca kondisi masyarakat yang sedang lemah atau meredup daya baca keamanan lingkungannya.
Rakyat bukan tidak menjadikan teroris sebagai musuhnya, tetapi rakyat merasa masih ada banyak “teroris”lain yang wajib dijadikannya sebagai objek jihadnya, di antaranya bernama teroris “kelaparan, kurang gizi, kurang cadangan pangan, tagihan buku di sekolah, dan ancaman berbagai penyakit ganas yang sangat seperti kanker, tumor, AIDS, dan lainnya”. Meski beragam jenis teroris itu harus dijadikan objek jihadnya, tetapi teroris yang memproduksi dan bermaksud meledakkan bom di mana-mana juga wajib dijadikan objek jihadnya. Menyerahkan urusan terorisme semata-mata kepada polisi adalah suatu kekeliruan.
Indonesia dengan lebih dari 17 ribu pulau dan 230 juta rakyat ini terlalu luas untuk hanya dikawal sekitar 400 ribu personel polisi. Negara berkewajiban membangkitkan atau merekonstruksi semangat jihad rakyat supaya menjadikan teroris sebagai musuh bersama. Penempatan teroris demikian bisa diawali dengan cara mewaspadai dan melakukan tindakan dini terhadap elemen keluarga terdekatnya. Terbukti, tidak sedikit keluarga atau orang tua yang kaget ada di antara anak-anaknya yang ditemukan oleh pihak yang berwajib di lokasi penggerebekan jaringan terorisme. Mereka (anak-anak) ini berdalih dirinya diajak oleh tetangga atau orang yang sudah sering ditemuinya untuk menjalankan aktivitas kerja atau melakukan tugas suci agama.
Tindakan dini dari keluarga ini akan menjadi daya prevensi untuk memutus mata rantai kaderisasi teroris. Selain itu, tanggung jawab mendekonstruksi atau mengikis akar tunjang terorisme jelas bukan semata di pundak aparat penegak keamanan (Polri), apalagi hanya diserahkan kepada Densus 88 Antiteror. Terorisme merupakan kejahatan terorganisasi dengan sistem kaderisasi terhebat, yang memunyai ahli pencari dan perekrut bibit-bibit unggul. Selain itu, negara juga tidak boleh lagi mendiamkan akar kriminogen atau embrio terorisme yang bermula dari aksi kekerasan sporadis atau kekerasan jalanan (street violence).
Apologi atau dalih apa pun kekerasan itu diproduksi, negara tidak boleh lagi apatis dan serbapolitis. Negara harus tampil aktif untuk memberantasnya. Negara tidak boleh direduksi terus-menerus kewibawaan dan kedaulatannya oleh kekuatan teroris yang tidak pernah teredeuksi militansinya dalam mengonstruksi gerakannya yang berlandaskan kontemporerisme problem kenegaraan dan kemasyarakatan.
Selain itu, secara khusus, saat ini sedang dibutuhkan rekonstruksi semangat jihad antiterorisme dengan sikap peka lingkungan sosial atau tidak menutup mata terhadap perkembangan berbagai bentuk dinamika aliran, perbedaan, dan berbagai jenis penyakit seperti kampanye pemaksaan doktrin tertentu yang potensial tumbuh menjadi ancaman disharmonisasi dan inklusivitas keberagamaan, yang rekonstruksi ini harus digerakkan oleh negara sebagai mesin utamanya.
Hanya dengan upaya mengonvergensikan kekuatan antara negara dan kekuatan sosial-lah, upaya kaderisasi dan akselerasi terorisme bisa dihentikan. Kontemporerisme kurikulum juga tidak sepatutnya hanya menjadi milik terorisme, tetapi juga harus menjadi milik negara dan masyarakat. Artinya negara dan masyarakat tidak boleh mengenal titik nadir dalam mempelajari virus yang menjangkiti dirinya sendiri. ●
Teroris menjadi gambaran riil wajah negara. Ketika rezim Orde Baru menggunakan paradigma ideologi represif dan monolitik, teroris nyaris tidak pernah mencuat ke permukaan. Paradigma rezim yang sangat eksklusif dan militeristik telah berdampak menutup keran bagi tumbuhnya gerakan-gerakan radikalistik. Begitu sedikit muncul gerakan yang berbau “beda” dengan ideologi negara, kelompok seperti ini langsung ditumpas atau disumbatnya.
Kosa kata “melawan negara, aliran kiri, organisasi tanpa bentuk, atau bertentangan dengan Pancasila”, nyaris selalu diidentikkan dengan gerakan berpola subversi yang notabene menjadi ancaman utama bangsa yang wajib dibasmi atau dihabisi sejak dini. Dalam konstruksi negara versi rezim Orba, stabilitas sosial dan keamanan negara menjadi tujuan utamanya.
Dari sisi orientasi harmonisasi atau tertib sosial (social order), rezim Orba memang sukses dalam mengeliminasi atau mengalahkan terorisme. Akan tetapi, dari ranah demokrasi yang berbasis kemerdekaan berpikir, berpendapat, berorganisasi, dan beroposisi, paradigma negara yang berpola monolitik dan eksklusif justru diidentikkan oleh rakyat sebagai state terrorism (terorisme oleh negara). Ketika rezim telah bergeser ke Orde Reformasi, keran demokratisasi terbuka lebar. Segala hasrat rakyat dan “nafsu” untuk atas nama meluruskan, memperbaiki, dan membawa negara ke jalan yang benar, berkeadilan, dan berkeadaban, bergulat di masyarakat.
Di satu sisi terjadi euforia dalam berebut kekuasaan atas nama daulat rakyat, sementara di sisi lain, kelompok yang termarjinalisasikan, berideologi menghalalkan kekerasan sebagai instrumen jihad, dan kekuatan yang berbeda kepentingan mencoba mencari dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Dari situlah, di antaranya teroris, berhasil membangun wajah dan menjalankan serta menikmati keran terbuka gerakannya.
Teroris menjadi sisi negatif euforia elemen bernegara, yang sibuk berebut kekuasan, mengabaikan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan, kegagalan mengonstruksi kesalehan keberagaman, dan klaim kebenaran yang dimenangkan. Teroris akhirnya tampil sebagai salah satu “penguji”serius kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Teroris mendapatkan pengakuan sebagai elemen sosial sebagai kekuatan yang seolah tidak bisa ditinggalkan. Teroris terus tampil membuat kreasi historis dalam belantara kehidupan Republik ini.
Kreasi teroris itu berlandaskan pada kontemporerisme problem akumulatif negara sebagai kurikulumnya, sehingga logis jika selain teroris tidak pernah mati, juga terus menunjukkan akselerasinya. Semakin banyak dan beragam problem yang menjadi virus dalam konstruksi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, teroris menunjukkan eksistensinya. Jika dibaca dari target yang sudah terumus dalam gugus strategi teroris selama ini, “kurikulum” terorisme yang dikembangkan oleh para elite terorisme di antaranya berpangkal pada problem ketidakadilan internal dan global yang direstui atau ditoleransi oleh rezim Era Reformasi.
Kekuatan asing yang dalam beberapa sisi mencengkeram bangsa, dan bahkan dinilai menjadi monster dengan wajah neokolonialisasinya, telah diperlakukan oleh kekuatan sosial tertentu sebagai penyakit yang harus dibasmi. Kata Usman Ghifari (2011), kekuatan asing yang tidak kenal titik nadir dalam mengambil banyak keuntungan ekonomi dan politik dari negara-negara tak berdaya, diperlakukan oleh kaum radikalis dan ekstremis tertentu sebagai penghancur negara yang sesungguhnya sehingga tidak bisa didiamkan atau dibuat menjadi tidak nyaman dan superior. Mereka ditempatkan sebagai target gerakan supaya tidak berlamalama menjadi penjarah atau perampok atas negara-negara kecil.
Perlakuan berpola terorisme itulah yang di satu sisi mampu menjadi kekuatan penyeimbang keadidayaan negara asing, namun di sisi lain membuat keberlanjutan hidup rakyat secara umum terancam. Tidak sedikit warga yang tidak berdosa yang kehilangan keberlanjutan hidupnya akibat sepak terjang teroris. Sudah puluhan ledakan bom dan senjata digunakan oleh teroris untuk menunjukkan eksistensinya. Bisa dijadikan refl eksi bagaimana seandainya tanda-tanda aksi teror di berbagai wilayah tidak tercium Polri? Negeri ini bisa jadi sudah terkena “hujan bom” di mana-mana.
Keniscayaan akselerasi radikalisme bisa spektakuler. Pasalnya, kelompok teroris itu hidup dan beradaptasi dengan baik di tengah-tengah masyarakat yang bersifat heterogen yang sedang disibukkan mengamati sepak terjang elemen negara dan bergulat dalam memenuhi kebuhan pokok sehari-harinya. Terbelahnya konsentrasi rakyat terebut dimanfatkam dengan sebaik-baiknya oleh teroris. Teroris sangat cerdas membaca kondisi masyarakat yang sedang lemah atau meredup daya baca keamanan lingkungannya.
Rakyat bukan tidak menjadikan teroris sebagai musuhnya, tetapi rakyat merasa masih ada banyak “teroris”lain yang wajib dijadikannya sebagai objek jihadnya, di antaranya bernama teroris “kelaparan, kurang gizi, kurang cadangan pangan, tagihan buku di sekolah, dan ancaman berbagai penyakit ganas yang sangat seperti kanker, tumor, AIDS, dan lainnya”. Meski beragam jenis teroris itu harus dijadikan objek jihadnya, tetapi teroris yang memproduksi dan bermaksud meledakkan bom di mana-mana juga wajib dijadikan objek jihadnya. Menyerahkan urusan terorisme semata-mata kepada polisi adalah suatu kekeliruan.
Indonesia dengan lebih dari 17 ribu pulau dan 230 juta rakyat ini terlalu luas untuk hanya dikawal sekitar 400 ribu personel polisi. Negara berkewajiban membangkitkan atau merekonstruksi semangat jihad rakyat supaya menjadikan teroris sebagai musuh bersama. Penempatan teroris demikian bisa diawali dengan cara mewaspadai dan melakukan tindakan dini terhadap elemen keluarga terdekatnya. Terbukti, tidak sedikit keluarga atau orang tua yang kaget ada di antara anak-anaknya yang ditemukan oleh pihak yang berwajib di lokasi penggerebekan jaringan terorisme. Mereka (anak-anak) ini berdalih dirinya diajak oleh tetangga atau orang yang sudah sering ditemuinya untuk menjalankan aktivitas kerja atau melakukan tugas suci agama.
Tindakan dini dari keluarga ini akan menjadi daya prevensi untuk memutus mata rantai kaderisasi teroris. Selain itu, tanggung jawab mendekonstruksi atau mengikis akar tunjang terorisme jelas bukan semata di pundak aparat penegak keamanan (Polri), apalagi hanya diserahkan kepada Densus 88 Antiteror. Terorisme merupakan kejahatan terorganisasi dengan sistem kaderisasi terhebat, yang memunyai ahli pencari dan perekrut bibit-bibit unggul. Selain itu, negara juga tidak boleh lagi mendiamkan akar kriminogen atau embrio terorisme yang bermula dari aksi kekerasan sporadis atau kekerasan jalanan (street violence).
Apologi atau dalih apa pun kekerasan itu diproduksi, negara tidak boleh lagi apatis dan serbapolitis. Negara harus tampil aktif untuk memberantasnya. Negara tidak boleh direduksi terus-menerus kewibawaan dan kedaulatannya oleh kekuatan teroris yang tidak pernah teredeuksi militansinya dalam mengonstruksi gerakannya yang berlandaskan kontemporerisme problem kenegaraan dan kemasyarakatan.
Selain itu, secara khusus, saat ini sedang dibutuhkan rekonstruksi semangat jihad antiterorisme dengan sikap peka lingkungan sosial atau tidak menutup mata terhadap perkembangan berbagai bentuk dinamika aliran, perbedaan, dan berbagai jenis penyakit seperti kampanye pemaksaan doktrin tertentu yang potensial tumbuh menjadi ancaman disharmonisasi dan inklusivitas keberagamaan, yang rekonstruksi ini harus digerakkan oleh negara sebagai mesin utamanya.
Hanya dengan upaya mengonvergensikan kekuatan antara negara dan kekuatan sosial-lah, upaya kaderisasi dan akselerasi terorisme bisa dihentikan. Kontemporerisme kurikulum juga tidak sepatutnya hanya menjadi milik terorisme, tetapi juga harus menjadi milik negara dan masyarakat. Artinya negara dan masyarakat tidak boleh mengenal titik nadir dalam mempelajari virus yang menjangkiti dirinya sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar