|
"Buruk
muka, cermin dibelah."
Pepatah itu agaknya tepat menggambarkan kegaduhan pendidikan baru-baru ini dari
kalangan guru yang marah hendak merobek-robek karya sastra pada lampiran buku
ajar Kurikulum 2013. Sastra Indonesia sudah dibuat gaduh di sekolah menengah
pertama (SMP), bukan heboh penuh dengan pembelaan.
Bukan karena dituduh menodai agama,
melainkan karena diduga bakal menodai budi pekerti anak, cerpen Gerhana karya
Muhammad Ali dibuang dari lampiran buku Kurikulum 2013 (SMP kelas VII) yang
berjudul Bahasa Indonesia: Wahana Pengetahuan. Anehnya, penolakan kehadiran
karya sastra ini dilakukan oleh guru yang mesti mengapresiasi dan membela
keberadaan sastra di sekolah.
Protes dari kalangan guru memperlihatkan
ketidaksanggupan pelaksana pendidikan memasukkan sastra ke pelajaran bahasa.
Padahal integrasi bahasa dan sastra Indonesia membentuk ruang imajinasi yang
diperlukan anak untuk berlatih menerapkan perilaku ilmiah. Pendekatan sains,
yang menjadi doktrin Kurikulum 2013, sulit diamalkan guru dan anak sekolah
tanpa cukup ruang imajinasi.
Ruang imajinasi itu sekarang terbuang
percuma setelah karya sastra Muhammad Ali dibiarkan dirobek-robek atau
dibredel. Dengan mendekonstruksi dan merekonstruksi cerpen Muhammad Ali
tersebut, seharusnya anak dapat dilatih untuk menciptakan teks sesuai dengan
harapan Kurikulum 2013 untuk SMP kelas VII. Proses penciptaan teks telah
diarahkan dalam pembelajaran bahasa secara saintifik.
Pelajaran bahasa Indonesia sebagai
teks-termasuk di dalamnya unsur kesastraan-membuka ruang pengamatan melalui
tahap pembangunan konteks dan pemodelan teks untuk memperoleh data. Tanpa
adanya data, tidaklah mungkin sebuah teks dapat dikonstruksi. Dalam contoh
pelajaran SMP itu, pada tahapan lebih lanjut, anak (baik secara kelompok maupun
mandiri) memerlukan data verbal yang menggunakan penghubung sebab dan akibat
untuk membangun teks eksplanasi.
Guru yang siap melaksanakan pembelajaran
teks dalam pendekatan sains akan menggiring anak untuk bertanya-tanya.
Misalnya: menurut cerita Gerhana, apa akibat tuturan sarkastis yang dilontarkan
kepada Sali? Mengapa istri Sali-pada akhir cerita itu-mengaku sebagai pelaku
yang menebang pohon pepaya kesayangan suaminya? Dengan diajak berpikir kritis,
anak tidak mudah bosan. Guru perlu membuat anak terpukau dan merugi kalau
meninggalkan pelajaran bahasa Indonesia.
Pohon celaka itulah gara-gara semua ini.
Beginilah jadinya. Akulah yang menebangnya semalam, karena anak-anak sering
memanjatnya.... Itulah tuturan istri Sali sebagai penutup cerita untuk
menyatakan penyebab atau alasan mendasar mengapa pohon pepayanya ditebang. Bagi
istri Sali, pekerjaan sang suami menanam pohon pepaya itu sama halnya dengan
perbuatan menebar benih jiwa korup, maling, atau rampok ketika banyak anak
memanjatnya tanpa izin.
Penebangan pohon pepaya tersebut bisa jadi
simbol pencegahan korupsi bagi anak. Apabila cerpen garapan Muhammad Ali
diamati secara cermat-melalui pendekatan sains-hingga ujung cerita, anak-anak
SMP dapat terdidik menjadi cerdas dan berakhlak mulia, sekurang-kurangnya dalam
konteks mengamalkan ajaran meminta izin dan berbuat jujur. Untuk mendidik anak
agar menjadi jujur dan antikorupsi, perlu ditunjukkan perbuatan bohong, culas,
atau tindakan lain yang tidak boleh ditiru.
Demikian pula, agar anak berbudi bahasa
santun, tuturan bahasa yang tidak santun pun perlu diketahui akibat-akibat
buruknya. Pencarian pengetahuan sebab dan akibat dari fenomena sosial dalam
cerita tokoh protagonis Sali tersebut merupakan kegiatan belajar berpikir
kritis dan logis. Pendekatan sains tidak bisa diterapkan di ruang hampa tanpa imajinasi.
Kurikulum
pembaruan
Untuk menjaga eksistensi sastra di
sekolah, tak usahlah para guru (disuruh) merobek-robek lembaran lampiran pada
buku ajar siswa SMP itu. Pembredelan sastra-yang menurut Taufiq Ismail (dalam
komunikasi pribadi, awal 2013) sudah berlangsung di dunia pendidikan sekolah
sejak 1950-an-perlu dihentikan sekarang. Kurikulum terbaru ini tak seperti
kurikulum sebelumnya, menghadirkan sastra terintegrasi dengan bahasa.
Kompetensi berbahasa Indonesia, terutama aspek sikap spiritual dan sosial,
dibangun melalui sastra dengan paradigma pembelajaran teks.
Pembaruan kebijakan pendidikan bahasa
dalam Kurikulum 2013 bisa menjawab kecaman Taufiq Ismail dengan
menyelenggarakan pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak lagi dominan sebagai
pelajaran tata bahasa tanpa konsep pengajaran tata sastra atau paramasastra.
Dalam kasus buku SMP itu, cerpen Gerhana dengan sengaja dimasukkan semata-mata
untuk memperkaya proses pembelajaran. Tentu, jauh dari niat penulis buku untuk
menodai budi pekerti anak.
Bangsat! Kurang ajar! Bajingan! Sambar
geledek lu! Kiramu aku pokrol bambumukah? Ini adalah tempat paling sopan di
muka bumi. Dan sekali-kali bukan tempat untuk mengadukan hal yang bukan-bukan.
[...] Itu hanyalah cuplikan dari serangkaian peristiwa berbahasa (teks) untuk
menceritakan tokoh protagonis Sali yang gagal memperkarakan pohon pepaya
kesayangannya. Jika guru siap mengajarkan bahasa sebagai teks sesuai dengan
tujuan sosialnya, cerita tragedi komedi itu sesungguhnya tidak hanya akan menghibur,
tapi juga mendidik.
Memang, terasa sangat kasar dan getir
setiap bentuk bahasa yang sarkastis. Ketika mengenai Sali dan-mungkin-siapa
pun, sarkasme seperti itu bakal melukai dan menyakitkan. Muhammad Ali bercerita
bahwa Sali akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Kasus kematian Sali sangat
menantang untuk dijelaskan secara logis melalui rekonstruksi cerita itu menjadi
pelajaran teks eksplanasi. Dalam pembaruan pendidikan ini bahasa Indonesia
diajarkan utuh sebagai teks, tidak dalam kepingan bahasa seperti butiran
kosakata yang lepas konteks.
Demi pembaruan pendidikan, Goenawan
Mohamad telah ikut serta mempromosikan implementasi Kurikulum 2013 dengan
bersedia tampil sebagai bintang iklan pada layar televisi. Kesediaan sastrawan
Indonesia itu tentu bermakna membela sastra agar eksis di dunia pendidikan
sekolah. Sayangnya, selama ini belum ada pakem penggunaan sastra sekolah untuk
jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Belum semua guru siap menjalankan
Kurikulum 2013 untuk menerapkan pendekatan sains dan teks dalam pengajaran
bahasa dan sastra Indonesia. Penyalahgunaan sastra bisa saja terjadi karena
ketidaksiapan guru. Karena itu, sastra tidak heboh dipelajari anak di sekolah.
Ruang pelajaran bahasa itu justru gaduh menolak kehadiran sastra. Ih... berisik, deh! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar