|
RAPAT kerja nasional (Rakernas) PDIP di Ancol, 6-8 September
2013, menyimpan pertanyaan besar. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri hanya
melempar sinyal. Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), diminta membacakan
dedication of life-nya Bung Karno
yang dibuat 10 September 1966, serta semobil dengan Mbak Mega.
Apakah
Jokowi akan didaulatkan Megawati untuk menjadi calon presiden (capres) PDIP
2014? Kemungkinan itu telah terbuka. Dengan demikian, warga DKI Jakarta harus
pasrah seperti warga Solo. Namun, sebelum semua itu terjadi, apakah Jokowi etis
(bukan pantas) menjadi capres 2014? Apakah Jokowi dan PDIP memiliki etika
publik? Secara pribadi Jokowi belum menyatakan diri maju sebagai capres.
Dukungan internal PDIP juga belum solid. Demikian pula sebagian publik yang
diwakili melalui berbagai survei atau yang secara langsung mendukung keduanya.
Bola itu ada di tangan Megawati.
Tidak
mudah untuk mendefinisikan etis dan tidak etis. Kenyataan yang terkadang
kontradiktif ini menjadikan etis dan tidak etis bersifat relatif. Ia akan
dianggap etis dan tidak etis tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Hal
ini dipengaruhi oleh bagaimana persepsi kolektif itu dibangun dan memengaruhi
nalar publik untuk selanjutnya menjadi suatu rujukan bersama.
Etika publik
Dalam
realitas keseharian kita, tidak jarang dijumpai pejabat publik yang harus
berhadapan dengan persepsi etis dan tidak etis itu dalam konteks etika publik.
Persepsi itu cenderung berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman.
Sebab membicarakan etika publik berarti membicarakan persoalan pandangan atau
persepsi individu, atau kelompok yang erat hubungannya dengan upaya menentukan
perbuatan yang dilakukan seseorang dapat dikatakan etis dan tidak etis.
Namun,
etika publik mulai serius dibicarakan pascaskandal Watergate-nya Presiden AS
Richard Nixon. Semenjak itu etika publik diberi batasan dan fokus pada
pelayanan publik. Bahwa etika publik terkait langsung dengan pelayanan publik,
terutama masalah integritas publik para pejabat. Dalam tanggung jawab pelayanan
publik, integritas pribadi itu menjadi dasar integritas publik dengan dua
modalitasnya, yaitu akuntabilitas dan transparansi. Etika publik berawal dari
keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan
korupsi (Haryatmoko, 2011).
Tuntutan
pertama dalam etika publik adalah ‘hidup baik bersama dan untuk orang lain’. Pada
tingkat ini, etika publik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku
politikus atau warga negara. Politikus yang baik itu jujur, santun, memiliki
integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan
untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus
yang menjalankan etika publik adalah negarawan yang mempunyai
keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti
Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas.
Integritas
menuntut suatu kemampuan refleksi untuk membangun konsensus etika. Konsensus
etika mencakup nilai, prinsip, norma, dan bentuk regulasinya, tetapi terutama adalah masalah tanggung jawab.
Etika publik harus mampu membantu pejabat publik ketika menghadapi dilema
antara akuntabilitas terhadap atasan atau lebih menjawab kebutuhan publik,
bicara benar atau menjaga kerahasiaan, dan kepentingan politik partainya atau
kepentingan publik (ibid, 12). Dalam etika publik, pemenuhan kebutuhan publik
adalah prioritas. Dengan demikian, etika publik berkaitan dengan masalah
struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengondisikan tindakan
kolektif.
Pencatatan
Tindakan kolektif itu bisa dipahami sebagai kesepakatan yang
akan diambil PDIP terhadap Jokowi atau masyarakat Jakarta yang akan permisif
dengan ambisi PDIP untuk memenangi kontestasi presiden 2014. Jika demikian
adanya, sesungguhnya tanpa disadari nilai etis politik kita sedang mengarah
pada kompetisi yang mengabaikan etika publik dan mungkin hal seperti ini
merupakan berita duka bagi etika publik itu. Atau etika publik itu memang tidak
patut dibicarakan dalam konteks politik yang penuh dengan pertautan
kepentingan? Saya tidak mau menjawab itu. Saya hanya memberikan beberapa
catatan yang patut dipahami bersama ihwal Jakarta, Jokowi, dan Indonesia kita
ini.
Pertama,
kontrak politik PDIP dengan Gerindra sewaktu mengusung Jokowi-Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur dan wagub DKI Jakarta. Kontrak politik
tersebut jelas menyatakan bahwa mereka harus konsisten memimpin Jakarta hingga
masa jabatannya selesai (pernyataan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Suhardi).
Pertimbangannya, persoalan Jakarta sangat kompleks dan berat sehingga
diperkirakan tidak bisa diselesaikan hanya dalam hitungan bulan saja.
Kedua,
tingkat keterlibatan masyarakat Jakarta secara tulus, ikhlas, dan tanpa bayaran
dalam memperjuangkan Jokowi sampai menjadi gubernur sangat tinggi. Dukungan itu
masih ada hingga kini karena harapan warga akan keinginan terwujudnya Jakarta
Baru.
Ketiga,
Jakarta adalah daerah yang superstrategis dan pintu utama masuk Indonesia.
Fungsi Jakarta bukan hanya sebagai ibu kota negara/pusat pemerintahan, tetapi
juga sebagai pusat perekonomian, perdagangan, jasa, bisnis, politik. Lebih dari
70% uang beredar di Jakarta. Seluruh kedutaan negara-negara sahabat berkantor
di Jakarta. Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar
28 juta jiwa adalah metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di
dunia (Wikipedia). Fasilitas publik
Jakarta dengan fungsi-fungsi tersebut masih jauh panggang dari api. Pintu
gerbang ini perlu dipoles dengan jaminan yang terukur.
Keempat,
potensi korupsi anggaran APBD DKI Jakarta 2013 sebesar Rp50-an triliun, dan
bila dihitung selama 5 tahun jabatan dapat mencapai Rp250 triliun-Rp300
triliun. Belum lagi proyek-proyek kerja sama seperti public private partnership ataupun bantuan negara sahabat. Selama
ini pengelolaan APBD tidak efi sien kalau tidak mau disebutkan korupsi. Warga
Jakarta sangat berharap untuk merasakan hidup yang lebih layak, dan bermimpi
memiliki fasilitas transportasi kelas dunia seperti kota-kota besar lainnya di
dunia. Selama satu tahun ini Jokowi telah memberikan harapan, tetapi pekerjaan
rumah yang strategis dan mendasar yang belum di kerjakan secara tuntas juga
tidak kalah banyaknya.
Kelima,
ganti kepala daerah, ganti kebijakan. Banyak kepala daerah melakukan inovasi yang
monumental dan menjadi wilayah percontohan studi banding daerah-daerah lain.
Namun, pascakepemimpinannya, inovasi tersebut melambat bahkan tidak berjalan
sama sekali. Sebutlah di Solok, Jembrana, Kebumen, Banyuwangi. Kalau mau jujur,
Solo Technopark saat ini pun tidak
seheboh era Jokowi sebagai wali kotanya. Sistem yang dibangun Jokowi di Jakarta
belum ter-install secara mendasar dan
belum kukuh untuk kemudian ditinggalkannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar