|
“BRO, BI rate
naik terus nih, ekonomi bakal turun nih, terus pengangguran naik deh,” bunyi surat elektronik dari seorang sahabat penulis, suatu
sore, akhir pekan lalu. Well, setelah
BI rate dipertahankan pada level 5,75% sejak 9 Februari 2012, Bank Indonesia
(BI) telah menaikkan BI rate pada 13 Juni 2013, 11 Juli, 29 Agustus, dan
terakhir 12 September menjadi 7,25%. Secara total dalam kurun 3 bulan terakhir,
BI telah menaikkan BI rate sebesar 150 bps. Kebijakan BI tersebut ditempuh
untuk memastikan inflasi yang meningkat pascapenaikan harga BBM bersubsidi agar
dapat segera kembali ke dalam lintasan sasarannya. Selain itu, kebijakan
tersebut merupakan respons atas tekanan terhadap sistem keuangan seiring dengan
meningkatnya ketidakpastian ekonomi global serta masih tingginya ekspektasi inflasi
dan persepsi terhadap kesinambungan transaksi berjalan.
Efek kenaikan BI rate terhadap tingkat pengangguran
merupakan topik yang sangat menarik. Pertama, tentunya kita perlu mengenal
lebih dulu beberapa tipe pengangguran. Tipe pertama pengangguran adalah
pengangguran struktural (structural
unemployment), yaitu pengangguran akibat adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara pekerjaan dan tenaga
kerja. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh faktor geografis, skill, dan faktor lainnya. Sebagai
contoh, Joko, pemuda lulusan teknik sipil yang berdomisili di Yogyakarta, saat
ini belum mendapatkan pekerjaan di daerahnya. Sementara itu, lulusan teknik
sipil banyak dibutuhkan perusahaan konstruksi di Jakarta. Faktor location mismatch menyebabkan Joko belum
mendapatkan pekerjaan. Contoh sederhana lainnya, Hendra, pemuda lulusan SMA,
belum berhasil mendapatkan pekerjaan di bagian administrasi karena belum
memiliki skill dasar mengoperasikan Microsoft Word dan Excel. Skill mismatch merupakan faktor utama
yang menyebabkan Hendra harus menganggur.
Tipe kedua pengangguran adalah pengangguran friksional (frictional unemployment) yang terkait
dengan pengangguran sementara (temporary
unemployment) akibat tenaga kerja berpindah pekerjaan ataupun berpindah
lokasi pekerjaan. Ciri khas tipe pengangguran ini adalah tenaga kerja secara
sukarela tidak bekerja sementara waktu hingga bekerja kembali. Pada saat
resesi, tingkat pengangguran friksional cenderung kecil. Hal ini cukup
beralasan mengingat pada saat resesi sisi permintaan tenaga kerja akan lebih
ketat sehingga memperkecil kemungkinan tenaga kerja untuk sukarela untuk tidak
bekerja dalam rangka transisi ke pekerjaan baru (in-between jobs).
Tipe terakhir pengangguran adalah pengangguran siklikal (cyclical unemployment) yang merupakan
tingkat pengangguran terkait dengan siklus bisnis (business cycle) periode booms
dan resesi. Pada periode booms dengan
permintaan tenaga kerja yang tinggi, jumlah tenaga kerja yang terserap di pasar
tenaga kerja juga akan cenderung tinggi. Dengan demikian, tingkat pengangguran
siklikal akan cenderung turun pada saat periode booms.
Sementara itu, pada periode resesi, jumlah tenaga kerja
yang terserap di pasar tenaga kerja akan cenderung rendah disebabkan rendahnya
permintaan tenaga kerja oleh dunia usaha. Thus,
tingkat pengangguran siklikal akan cenderung naik pada saat periode resesi.
Secara teori dan pakem yang berlaku, kenaikan suku bunga
akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan by Okun's law pada akhirnya berdampak pada kenaikan tingkat pengangguran.
Konsensus para ekonom cenderung berpendapat bahwa kebijakan moneter (dalam hal
ini perubahan suku bunga) akan memengaruhi aggregate
demand dan selanjutnya tingkat pengangguran dalam jangka pendek. Laurence
Ball, profesor dari Johns Hopkins University, USA, berpendapat lebih jauh bahwa
pergeseran dalam aggregate demand
juga akan memengaruhi pergerakan tingkat pengangguran tidak hanya dalam jangka
pendek, tapi juga dalam jangka panjang. Jordi Gali (2010) bahkan berpendapat
bahwa bank sentral perlu merespons secara langsung atas pergerakan tingkat
pengangguran. Apabila terjadi kenaikan tingkat pengangguran, bank sentral perlu
menurunkan tingkat suku bunga dalam rangka ekspansi perekonomian. Pendapat Ball
dan Jordi konsisten dengan konsensus para ekonom bahwa kebijakan moneter akan memengaruhi
tingkat pengangguran.
Bukti empiris
Bagaimana dengan data empiris di Indonesia? Hasil kajian
penulis berdasarkan bukti empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Sejak 2006
tingkat pengangguran terus menurun dari 10,45% per Februari 2006 hingga menjadi
5,92% per Agustus 2013. Itu berarti dalam kurun waktu 7 tahun tingkat
pengangguran di Indonesia menurun hingga hampir setengahnya. Sementara itu,
dalam kurun waktu yang sama, tingkat pertumbuhan ekonomi berfluktuasi mengikuti
siklus bisnis booms dan resesi. Pada
periode 2006 hingga 2007 (periode sebelum krisis 2008), pertumbuhan PDB riil
meningkat hingga kisaran 6,8%. Pada periode krisis 2008, pertumbuhan PDB riil
melambat hingga kisaran 4%. Setelah krisis 2008, pertumbuhan PDB riil
berfluktuasi pada kisaran 6%.
Dalam kurun waktu 2006-2013, tingkat pengangguran terus
menurun, walaupun pertumbuhan PDB tidak menunjukkan tren kenaikan. Bahkan bukti
empiris memperlihatkan bahwa pertumbuhan PDB menunjukkan tren penurunan akibat
resesi pada 2008-2009, sementara tingkat pengangguran justru menunjukkan tren
penurunan. Hal ini tidak konsisten dengan pakem yang berlaku di antara ekonom
yang berpendapat adanya korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat
pengangguran. Di atas ini bukti empiris menunjukkan adanya anomali dalam
korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.
Bukti empiris ini menunjukkan tingkat pengangguran di
Indonesia tidak secara signifikan mengikuti siklus bisnis booms dan resesi. Hal ini mengindikasikan pengangguran siklikal dan
pengangguran friksional bukan merupakan komponen utama dalam tingkat
pengangguran. Dengan kata lain, tingkat pengangguran di Indonesia lebih
didominasi oleh pengangguran struktural.
Apa implikasinya dalam perumusan kebijakan moneter? Implikasi
utama adalah kebijakan moneter BI diperkirakan tidak berpengaruh signifikan
pada pergerakan pengangguran. Kebijakan moneter tetap akan berdampak pada
pergeseran aggregate demand. Namun,
sebagaimana dibahas sebelumnya, pergeseran aggregate demand sesuai dengan
siklus bisnis terindikasi tidak terlalu berpengaruh pada pergerakan tingkat
pengangguran mengingat tingkat pengangguran di Indonesia lebih didominasi
pengangguran struktural.
Dalam konteks perekonomian terkini, kebijakan pengetatan
Bank Indonesia dengan menaikkan BI rate diperkirakan tidak berpengaruh
signifikan pada pergerakan tingkat pengangguran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar