Rabu, 01 Februari 2012

Calon Perseorangan dan Adangan Parpol


Calon Perseorangan dan Adangan Parpol
Bawono Kumoro, PENELITI POLITIK THE HABIBIE CENTER
Sumber : SINAR HARAPAN, 31 Januari 2012



Dalam beberapa bulan mendatang DKI Jakarta akan menggelar perhelatan akbar lima tahunan berupa pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur (pilgub). Salah satu isu menarik dalam Pilgub DKI Jakarta kali ini adalah kemunculan bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari luar jalur partai politik (calon perseorangan).

Bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen yang diprediksi turut ambil bagian dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta, antara lain Faisal Basri (pengamat ekonomi) dan Hendardji Supandji (mantan Danpuspom TNI).

Kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) merupakan amanat keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya hanya memperbolehkan kehadiran calon melalui jalur partai politik.

Keikutsertaan mereka dalam pilkada tentu akan menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Hal itu diharapkan dapat membawa perbaikan kondisi politik Indonesia di saat tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik berada pada level terendah seperti saat ini. 

Hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang “Pemilih Mengambang dan Prospek Perubahan Kekuatan Partai Politik” mengonfirmasi hal itu. Melalui survei yang dilakukan pada 15-25 Mei 2011 tersebut terungkap jumlah pemilih yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu hanya 20 persen.

Sementara itu, 78,8 persen pemilih tidak merasa memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu. Keengganan sebagian besar pemilih kit untuk melekatkan diri terhadap partai politik tertentu sangat mungkin disebabkan buruknya kinerja partai politik selama ini.

Dalam konteks itu, kehadiran calon perseorangan dalam pilkada dapat dilihat sebagai ikhtiar politik untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. 

Hambatan 

Namun, dibukanya peluang calon perseorangan dalam pilkada ternyata tidak langsung memberikan jalan lapang bagi mereka yang hendak maju dari luar jalur partai politik itu. Ada sejumlah hambatan yang akan mengadang mereka untuk sampai pada tahap penetapan sebagai calon sah kepala daerah. 

Pertama, jumlah dukungan. Pasal 59 Ayat (2a) poin c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan 4 persen dari jumlah penduduk. 

Dalam konteks Pilgub DKI Jakarta, diketahui jumlah penduduk DKI Jakarta ditetapkan 10.183.498 orang.

Dengan demikian, jumlah dukungan yang harus diserahkan calon independen kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI untuk memenuhi persyaratan pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur 407.340 orang, sebagaimana tercantum dalam Keputusan KPU DKI Jakarta No 04/Kpts/KPU-Prov-010/2011 tentang Persyaratan Dukungan dan Jumlah Sebaran Paling Rendah Pasangan Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012.

Bukan hal mudah bagi para bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari luar jalur partai politik untuk mengumpulkan dukungan sebesar itu.

Kedua, verifikasi dukungan. Hambatan lain yang akan dihadapi calon perseorangan dalam mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur adalah verifikasi dukungan yang akan dilakukan KPU.

Berdasarkan Peraturan KPU No 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, verifikasi faktual dilakukan dengan cara mencocokkan dan meneliti secara langsung setiap nama pendukung untuk seluruh pendukung bakal pasangan calon. 

Untuk keperluan verifikasi faktual itu tim suskes calon independen diminta menghadirkan para pendukung mereka di suatu tempat untuk dilakukan pencocokan dan penelitian oleh Panitia Pemungutan Suara yang telah ditetapkan KPU DKI Jakarta.

Meskipun soal teknis, bukan hal mudah untuk melakukan mobilisasi pendukung untuk berkumpul di suatu tempat. Kendala lain yang mungkin muncul terkait verifikasi dukungan ini adalah kemungkinan ketidaksesuaian antara data dan fakta, serta dukungan ganda terhadap calon perseorangan lain.  

Dua hambatan di atas agaknya dapat menggambarkan tingkat kesulitan yang akan dihadapi bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari luar jalur partai politik dalam menghadapi Pilgub DKI Jakarta nanti.

Meskipun pintu bagi kehadiran calon perseorangan telah dibuka Mahkamah Konstitusi, ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sarat dengan upaya-upaya penjegalan agar calon perseorangan tidak dapat melangkah mulus.

Hal itu dapat dipahami mengingat DPR merupakan kumpulan kader-kader partai politik. Mereka tentu tidak rela bila harus berbagi kavling pencalonan dalam pilkada dengan calon perseorangan.

Padahal, pembatasan calon hanya dari jalur partai politik sesungguhnya merupakan bentuk halus dari penghilangan hak-hak politik warga negara. Memang, partai politik merupakan wahana bagi publik guna menyalurkan hak-hak politik mereka. 

Namun, itu bukan berarti secara otomatis menempatkan partai politik sebagai satu-satunya wahana bagi publik untuk menyalurkan hak politik mereka. Jika partai politik dijadikan sebagai satu-satunya wahana bagi publik untuk menyalurkan hak politik mereka, besar kemungkinan akan terjadi pemasungan  hak politik warga negara yang ingin berpolitik tanpa bergabung dengan partai politik. 

Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan bukti bahwa bukan masalah jika calon perseorangan hadir dalam langgam politik Indonesia. Menjadi ironi ketika partai politik memperbolehkan anggota DPD dipilih tanpa jalur partai, tetapi pada saat yang sama cenderung bersikap resisten terhadap kehadiran calon kepala daerah dari jalur perseorangan. 

Atas dasar itu, penulis berpandangan perlu dilakukan peninjauan kembali secara sungguh-sungguh terhadap sejumlah syarat yang dirasakan sangat memberatkan bagi calon perseorangan untuk maju dalam pilkada sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Partai politik hendaknya dapat menerima sepenuh hati kehadiran calon perseorangan dalam pilkada tanpa disertai niat tersembunyi untuk menjegal mereka melalui penetapan sejumlah syarat memberatkan di dalam undang-undang.

Kehadiran calon perseorangan harus dimaknai sebagai momentum bagi partai politik untuk melakukan self correction agar lebih well organized di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar